"Hahaha .... Apakah kamu pikir aku akan membiarkan kamu menipuku, Yuda!" desis Pak Parlin menatap sinis kepada Yuda yang masih terombang-ambing di bibir jurang.
"Ampun, Om, ampun!" Suara teriakan Yuda menggema. Lelaki itu nampak sangat ketakutan. Beberapa kali, Yuda melihat ke bawah jurang yang gelap gulita, hanya suara gemericik air yang terdengar mengalir deras
"Maaf katamu, semudah itu aku harus memaafkan penghianat seperti kamu!" pekik Pak Parlin menarik tubuhnya berdekat pada bibir jurang. Sorot matanya tajam menatap pada Yuda yang meramun.
"Om, tolonglah aku! aku benar-benar tidak berniat untuk mencuri uang itu, Om!" bujuk Yuda. Darah segar mengalir pada pergelangan tangannya, luka pada telapak tangan lelaki itu terlihat semakin parah. Uratnya pada pergelangan tangannya memegang dan menonjol.
"Kamu tidak mencuri? Lalu apa artinya uang yang berada di dalam koper kamu itu, Yuda?" sent
"Kurang ajar!"Pak Parlin memundurkan beberapa langkah kakinya menjauh dari pintu kamar mandi. Beberapa bangkai tikus yang berada di dalam kamar mandi membuat perut Pak Parlin semakin terasa mual. Seekor kucing hitam dengan lahap memakan bangkai tikus tangkapannya.Bruak!"Meong ...!"Pak Parlin membanting kasar' pintu kamar mandi. Lelaki itu bergegas melangkahkan kakinya menuju pintu kamar karena sudah tidak tahan dengan bau busuk."Rumah ini benar-benar sudah sangat tidak layak di huni!" monolog Pak Parlin kesal menuruni anak tangga. "Tapi tidak ada pilihan lain selain aku harus tinggal di rumah ini. Agar aku masih bisa terus mengawasi gerak-gerik rumahku sendiri," gumannya.Cuih!"Perutku rasanya mual sekali!" gerutunya kesal.Suara sirine mobil polisi terdengar berhenti di depan rumah Parlin. Dengan langkah
Pak Parlin menyeret tubuhnya duduk pada bibir ranjang. Kemudian membuka tiap lembar buku diary milik Indah. Motif bunga pada bagian sampul buku, menunjukkan sebuah kelembutan pada sang pemiliknya. Tidak ada hal yang menarik dalam setiap lembaran awal buku diary tersebut. Hanya tentang rasa cinta yang bergelora. Mulai halaman tengah buku, gejolak kehidupan Indah' sepertinya baru di mulai. Tentang keinginan yang memiliki keturunan dan beberapa kali ia selalu mengalami keguguran."Sudah tiga minggu aku terlambat datang bulan. Aku yakin kali ini pasti aku sedang hamil. Meskipun aku masih ragu untuk melakukan tes kehamilan, tapi hatiku menyakini bahwa kini ada kehidupan di dalam rahimku."Tulis dalam lembaran yang sudah mulai kusam diikuti gambar ulasan senyuman. Pak Parlin membuka halaman buku diary Indah berikutnya. Tidak ada tulisan di dalam lembaran, hanya ada sebuah gambar makhluk menyeramkan berbulu lebat. Pak Parlin mengernyitkan dah
Gerimis masih terus mengguyur sepanjang jalan menuju Semeru sejak subuh buta. Kabut yang seringkali bergulung-gulung, kini berganti dengan mendung hitam. Mungkin akan datang kembali setelah hujan reda atau bisa jadi akan berganti dengan pelangi yang akan melukis.Zaki menengadahkan telapak tangannya di luar jendela kaca mobil. Ia bisa merasakan butiran bening dari langit yang jatuh membasahi telapak tangannya. Zaki menarik kembali telapak tangannya, lalu menghempaskan tubuhnya bersandar pada bangku mobil."Menurut kamu kemana mereka pergi?" seloroh Angga yang duduk di bangku kemudi.Dimas yang duduk pada bangku belakang hanya mengendikkan bahunya."Entahlah, yang pasti berita kejahatan yang sudah mereka lakukan sudah tersebar di media masa maupun di seluruh kampung di sekitar Ranupani. Jadi sudah bisa di pastikan, jika Yuda dan Pak Parlin pasti melarikan diri," sahut Zaki, di akhir kalimatnya Zaki me
Zaki bergegas turun dari ranjang, begitu juga dengan Angga. Pecahan kaca yang berserakan membuat Zaki dan Angga berjalan pelan menuju ke arah jendela."Apa ini?" desis Angga, wajah lelaki itu nampak terkejut, mantap pada jendela yang berlubang dan pecahan kaca yang berserakan."Sepertinya ada orang yang sengaja melempari rumah ini," tutur Zaki, sekilas menatap pada pecahan kaca yang berada di bawah kakinya."Apa aku bilang, lebih baik kita pulang saja!" gerutu Dimas yang tidak beranjak sedikitpun dari atas ranjang. Wajahnya nampak sangat ketakutan, dengan tubuh yang gemetaran."Diam, dan diam!" Zaki mengacungkan jari telunjuknya ke arah Dimas dengan netra membulat."Kalian tunggu di sini, aku akan memanggil pemilik tempat ini!" Angga menepuk lembut bahu Zaki dan sekilas melihat pada Dimas menenangkan, sebelum akhirnya pemuda itu berjalan menuju ke arah pintu kamar.
"Di gembok, pak!" Lelaki berseragam aparat negara itu mengatakan kepada pria bertubuh tegap yang berdiri di belakangnya.Sementara anjing pelacak itu terus menggonggong di depan pintu pagar rumah Lastri tanpa henti."Kita buka paksa saja!" ucap pria bertubuh tegap itu dengan penuh penekanan. Wajahnya nampak semakin penasaran dengan sesuatu yang berada di dalam rumah Lastri yang membuat anjing pelacak itu terus saja menggonggong.Seorang polisi maju ke dekat pagar. Entah apa yang dilakukannya pada gembok besar itu pun hingga akhirnya terlepas. Segera pawang anjing itu melepaskan hewan yang sering digunakan untuk membantu penyelidikan para polisi itu masuk ke dalam rumah kosong milik Lastri.Semua mengikuti langkah anjing itu. Sesekali ia mengendus dan kemudian berlari mengikuti aroma yang tercium di rumah kosong Lastri."Ini rumah siapa Mas Angga?" tanya kepala penyidik pada Angga
"Apakah anda mengenali gelang ini?" Polisi menjatuhkan tatapan kepada Angga dan Zaki, dengan menggoyangkan sebuah gelang yang ada di tangannya.Untuk beberapa saat wajah ke dua muda itu nampak tercekat tertuju pada gelang yang berwarna coklat yang hampir mirip sekali dengan gelang selama ini Yuda kenakan."Tidak, kami tidak tau tentang gelang itu!" jawab Zaki terbata. Seketika Angga membulatkan matanya pada Zaki."Zak!" desis Angga, dengan wajah kesal."Baiklah jika kalian tidak mengenali gelang ini!" ucap polisi memasukan barang bukti ke dalam sebuah tas yang ia bawa.Jenazah Pak Samsul sudah di masukan ke dalam mobil yang hampir menghilang di ujung jalan. Zaki, Dimas, dan Angga menatap pada kepergian mobil berwarna putih dengan suara sirine yang menggaung. Beberapa anak kos yang tinggal di rumah Pak Samsul pun membubarkan diri masuk ke dalam rumah."Kenapa
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n