Share

PESUGIHAN LEMBAH MONYET
PESUGIHAN LEMBAH MONYET
Penulis: Sastra Inema

Kalau Kamu Ingin Keluar dari Kesulitan, Ikutlah Denganku

Seorang lelaki muda tampak berdiri dengan gelisah di sebuah jembatan kayu yang berada tepat di atas sungai yang terlihat sedang meluap. Alirannya yang deras membuat orang yang melihat merinding dan seolah akan terbawa arusnya. Jembatan kayu itu pun sedikit bergoyang menahan kerasnya hantaman air.

"Haruskah aku terjun sekarang?" monolog nya dalam hati.

Lelaki muda itu menatap nanar ke dalam air, seperti hendak melompat. Namun, diurungkannya.

"Bagaimana dengan istri dan anak-anakku?"

Kemudian dia berjalan ke pinggir jembatan dan mematung di sana untuk waktu yang cukup lama.

Tergambar jelas di ingatannya percakapan dengan Indah tadi pagi.

"Mas, Ranti panasnya belum turun juga, padahal sudah aku kasih obat penurun panas dari warung Bu Ani," ucap Indah, istrinya.

"Terus gimana, Ndah?" tanya Mario, lelaki muda yang ada di jembatan saat ini.

"Ya, harus dibawa ke dokter, Mas! Kalau tidak, bisa parah," jawab Indah dengan wajah panik. Ranti kecil yang saat itu berada dalam pelukannya sedang merengek menahan sakit.

"Aku belum dapat uang, Ndah. Sudah pinjam sana-sini tidak ada yang percaya," ucap Mario dengan raut wajah sedih. Indah menunduk menatap putri bungsu dalam gendongannya.

"Beras juga sudah habis, Mas. Kasihan Angga sama Ranti kalau harus menahan lapar terus. Apalagi kondisi Ranti juga sedang sakit," ucap Indah lagi, pelan. Air matanya mulai menetes tanpa terasa.

"Ya, Allah," Mario hanya bisa mendesah. Dia sungguh tak kuasa menatap airmata yang mengalir di pipi Indah. Matanya menatap sekilas pada Angga, putra sulungnya yang masih tertidur di atas dipan bambu sambil memegangi perut. Sepertinya dia tertidur sambil menahan lapar.

"Ini aku ada uang lima ribu. Pakai dulu untuk membeli beras! Aku keluar sebentar. Barangkali ada yang butuh tenagaku," Mario mengulurkan lembaran terakhir yang ada di sakunya.

Sekilas dia mencium kening Indah dan Ranti sebelum akhirnya melangkah keluar sambil mengusap bening yang tanpa terasa menitik di sudut matanya.

Dan di pinggir sungai ini lah Mario saat ini. Sejak keluar rumah, dia sudah berkeliling kampung dan mengetuk setiap pintu untuk menawarkan tenaganya. Namun, tak satupun dari mereka yang menerima tenaganya.

Dia sudah tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya saat ini.

"Mario, sedang apa kamu di pinggir sungai yang meluap ini? Mau bunuh diri, ya?" Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya, membuatnya terlonjak kaget.

Mario hanya termangu menatap aliran sungai. Bibirnya bergetar seperti ingin mengucap sesuatu, namun ditelan kembali.

Andi adalah teman sepermainannya sejak kecil. Tapi nasib mereka jauh berbeda. Andi termasuk dalam kelompok orang terkaya di kampung Duren saat ini. Padahal sebelum merantau, temannya itu juga tidaklah kaya. Tapi setelah merantau selama dua tahun, Andi pulang kampung dengan kondisi yang berubah 180 derajat. Dia membangun rumahnya menjadi seperti istana dan mempunyai tiga buah mobil mewah. Tapi, Andi termasuk orang yang mudah berbaur, dia tak pernah menjauhi teman kecilnya dulu. Hanya saja, teman-temannya yang merasa sungkan dan mulai menjaga jarak darinya.

"Sudah, katakan saja, tak usah ragu! Barangkali aku bisa membantu kesulitan kamu," ujar Andi lagi, meyakinkan Mario untuk bicara.

"Ndi, apa kamu bisa pinjami aku uang. Satu juta saja, anakku sakit saat ini, beras di rumah pun habis. Sedangkan aku belum punya pekerjaan lagi sejak di-PHK," akhirnya, Mario bisa mengutarakan maksudnya.

Andi menatapnya dengan prihatin.

"Aku bisa saja memberimu uang lebih dari yang kamu butuhkan itu, tapi ...," Andi menghentikan ucapannya.

"Tapi apa? Kamu takut aku tak akan mengembalikan uang itu?" tanya Mario sedikit tersinggung, namun tak berdaya.

"Bukan itu maksudku. Bagaimana kalau kamu ikut saja denganku untuk mendapatkan uang yang jauh lebih banyak?" Andi balik bertanya.

"Hah, apa bisa? Bagaimana caranya?" tanya Mario mulai antusias.

"Udah, ayo ikut saja! Nanti aku jelaskan sambil jalan," ucap Andi sambil menggamit tangan sahabatnya itu. Mario tampak sedikit ragu, namun ketika teringat wajah penuh airmata istri dan anak-anaknya, dia pun mulai membuntuti langkah Andi.

"Kita mau kemana, Ndi?" tanya Mario penasaran saat Andi menghampiri mobil yang diparkir tak jauh dari pinggir sungai. Sahabat nya itu pun membuka pintu mobil dan mempersilakan Mario masuk, duduk di sebelahnya sebagai sopir.

"Ke tempat di mana kamu bisa mendapatkan uang tanpa harus pinjam," jawab Andi singkat dan segera memutar kontak. Mobil pun melaju di jalan desa yang mulai agak sepi karena sebentar lagi akan magrib.

"Ndi, istriku pasti akan khawatir kalau aku tak pulang-pulang, apalagi sampai malam," ucap Mario dengan wajah kusutnya.

"Tenang saja, istrimu pasti akan berterima kasih saat tahu kamu pulang membawa banyak uang. Perempuan mana yang tidak luluh dengan segepok uang?" jawab Andi dengan tenang.

"Baiklah, tapi kita mau ke mana?" Mario tampak makin penasaran.

"Mar, kamu pasti tahu kehidupanku dulu juga hampir seperti kamu saat ini. Saat itu aku memutuskan untuk menemui seseorang yang bisa menolongku keluar dari himpitan kemiskinan. Dia membawaku ke tempat di mana aku akan membawamu saat ini," jawab Andi pelan dan yakin.

"Jangan-jangan ... kamu sudah melakukan persekutuan dengan iblis, ya, Ndi?" Mario menatap wajah Andi dari samping dengan tatapan curiga.

Andi tersenyum samar.

"Aku hanya memenuhi keinginan mereka, dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan," jawab Andi dengan santai.

"Ndi, berhenti sekarang! Aku mau pulang!" sentak Mario yang langsung merasa tertipu oleh sahabatnya itu.

Andi melambatkan laju kendaraannya, tapi mengunci otomatis pintu dan jendela.

"Aku hanya ingin menolong kamu keluar dari masalah yang berputar terus dari uang dan kebutuhan yang tak sanggup kamu pikul, Mar. Aku prihatin. Apa kamu pikir, kalau saat ini aku pinjami kamu uang, itu akan melepaskan kamu dari jeratan kemiskinan kamu! Apa kamu yakin besok sudah tidak ada lagi hal mendesak yang akan kamu alami?" ucap Andi perlahan namun penuh dengan penekanan.

"Ya, tapi ...,"

"Bagaimana kamu menghadapi tangisan anak istrimu saat mereka merintih kelaparan bahkan kesakitan?" Andi kembali memotong ucapan Mario dengan logika yang dimilikinya.

Mario mendesah, merasakan sesak di dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

Kembali terbayang pembicaraan dengan Indah tadi pagi, juga tatapan mengejek para tetangganya saat dia mengetuk pintu rumah mereka. Dia termenung sesaat, jauh di lubuk hatinya dia masih punya Tuhan, dia belum rela mengikat perjanjian dengan setan.

Tanpa disadarinya, mobil yang dikemudikan Andi telah jauh meninggalkan Kampung Duren dan melesat di jalan raya, kemudian berbelok masuk ke wilayah yang asing baginya, seperti sebuah lembah yang rapat ditumbuhi pepohonan hutan. Di bawah sebuah pohon besar, Andi menghentikan mobilnya.

"Ayo turun, Mar! Kita harus berjalan kaki untuk sampai lokasi," ajak Andi membuka pintu mobilnya.

Mario masih tampak ragu, namun akhirnya dia keluar juga dari dalam mobil.

"Kepalang basah, lebih baik berenang saja sekalian," pikir Mario. Sepertinya, dia sudah terpengaruh ucapan Andi

Dengan langkah pelan, dia mulai mengikuti dan berjalan di samping temannya yang memimpin jalan.

"Di sini gelap sekali, Ndi. Suasananya bikin bulu kuduk merinding. Apalagi magrib begini," pelan Mario membuka percakapan.

"Sstt! Jangan banyak bicara, nanti ada yang terganggu!" bisik Andi.

Baru saja Andi mengingatkan, tampak bayangan putih berkelebat di depan mereka dalam kegelapan hutan sambil mengeluarkan suara teriakan keras yang mengejutkan.

"Nguukkk!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunita Miftahul Jannah
Bagusss. Aku suka cerita" kaya gini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status