“Udah kalian bawa aja. Nanti kalo dia udah tidur, kamu bisa nelepon aku. Biar aku bawa pulang lagi. Zia kalo tidur kan ngebo, nggak akan sadar kalo kugedong dibawa pulang.”Begitu kalimat Kak Amy, yang berakhir pada terlelapnya Zia di kasurku malam ini. Awalnya, aku dan Arsyl ragu akan membawa Zia. Takut rewel atau apa. Akan tetapi, demi menghindari drama, Kak Amy berkata seperti itu.Aku bangkit dari ranjang dengan gerakan amat hati-hati. Drama menidurkan Zia tak boleh terulang hanya karena dia harus terbangun karena gerakanku, yang mungkin menimbulkan kasur bergoyang. Meski tadidia sudah berjanji tidak akan menangis, tetapi tetap saja, Zia sedikit melow jika terpisah dari Zaki.Dua saudara kembar itu memang tak terpisahkan sejak kecil. Menurut Kak Amy, salah satunya akan sakit dan rewel jika berjauhan. Meski seharian tak terhitung berapa kali mereka adu mulut dan kadang adu pukulan serta saingan melengkingkan tangis, tetap saja, ketika malam, keduanya akan saling mencari.Namun, mau
“Gimana kalo aku mulai dengan ngelamar kamu?”Pertanyaan Arsyl membuat sesuatu berdesir di dalam dadaku. Seperti ada yang berbunga-bunga ketika dia berkata demikian. Bahkan, aku merasa wajahku menghangat, padahal angin senja di pantai sudah bertiup lumayan dingin.“Masa mulai dari ngelamar? Kamu yakin, nggak ada fase yang kelewat?” Aku menatapnya, sedangkan bibirku mengulum senyum tertahan. “Kalo kamu langsung mulai semuanya dengan ngelamar, aku bayanginnya kamu baru ketemu cewek, ujug-ujug ngelamar aja. Jadi—““Hai, kenalkan, aku Arsyl. Kalo boleh tau, namamu siapa, Nona?”Ah ....Tak selesai kalimat yang akan aku ucapkan,ketika Arsyl menyapa sembari mengulurkan tangan. Sejenak kutatap tangannya, merasakan hatiku yang dipenuhi buncah bahagia. Dia ini ... betul-betul tahu caranya membuat aku tersanjung.Setelah beberapa saat memandang ke arah tangan yang terulur dan wajah itu bergantian, akhirnya aku menyambut telapaktangan itu, membiarkan jemariku digenggam dengan erat. Lebih dari ap
Aku tak tahu, berapa banyak waktu kami habiskan berdua dalam syahdu. Sampai kemudian, aku merasa tubuhku panas dan bergetar hebat. Awalnya aku berpikir ini adalah efek daei gugup, takut dan juga luapan emosi cinta yang membaur jadi satu. Ternyata, aku salah. Desakan mual tak tertahan membuat aku mendorong Arsyl, lalu berlari menuju kamar mandi. Nyaris saja aku terjatuh bila tak segera berpegangan pada tembok. "Rin? Arini?" Sayup-sayup, terdengar panggilan Arsyl di antara aktivitasku di kamar mandi. Entah sebanyak apa aku mengeluarkan isi perut, sampai seluruh tubuhku lemas sekali rasanya. Aku sungguh kepayahan. Sampai terasa pijatan di sekitar tengkuk dan bahuku yang sedikit meringankan segala ketidaknyamanan yang mendera."Kayaknya, kamu masih belum sehat betul." Arsyl masih memijat tengkukku. Sesekali ia menepuk punggungku pelan. "Harusnya, tadi kita nggak di pantai sampai malam." "Cuma masuk angin biasa." Aku berkata setelah berkumur, juga mengusap bibir dengan tisu. Namin,
Hariku berawal dengan kekacauan atas apa yang dilakukan Arsyl semalam. Hingga pagi ini aku harus mengenakan kaus bermodel turtle neck di cuaca Makassar yang cerah dan panas. Bagaimana bisa dia meninggalkan tanda sebanyak ini? Maksudku .... Ah, bagaimana akan bercerita, jika mengingatnya saja aku terlalu malu? Bila saja desakan mual tak menyerangku malam tadi, mungkin ... pagi ini akan berbeda. Ya. Mungkin pagi ini menjadi pagi paling sempurna di antara pagi yang kami habiskan bersama dalam setahun ini. “Yakin, nggak mau minta izin?” Arsyl menatapku lekat, seperti tengah mencari celah di wajah ini.Kalimat yang berhasil mengaburkan anganku entah ke mana. Andai-andai yang tadi memenuhi kepala, langsung berhamburan sudah. “Semalam kamu demam, muntah-muntah lagi, dan sekarang belum sembuh betul.”Dia mendekat ketika melihat aku tengah bersiap di depan cermin. Pagi ini, kami benar-benar seperti pasangan suami istri pada umumnya. Mandi bergantian, lalu saling menggoda satu sama lain, t
“Lagi isi kali, Mbak.” Begitu celetuk Lia. Kalimat dari salah satu tim marketing support itu membuatku tersedak. Bagaimana tidak, aku baru saja sadar dengan kondisiku yang memang mencurigkan.Mungkin, Lia dan teman seruangan lainnya mengamatiku sejak pagi tadi, yang memang kata mereka lebih pucat. Ditambah selera makanku yang hilang, beberapa kali mual dan harus beberapa kali ke toilet sepanjang siang ini, maka tak heran jika beberapa teman menyimpulkan demikian.“I-isi?” Aku berkata setelah meneguk setengah gelas air.“Iya, Mbak. Mbak kan bilang sengaja nggak nunda momongan atau KB, ‘kan?” Lia bertanya lagi. Fokus tatapannya benar-benar menancap ke wajahku.Aku mengangguk. Kemudian menyesal dengan anggukan yang ambigu, dan malah menggiring opini itu. Namun, sungguh, aku berusaha menjawab tanyanya.“Coba deh, beli testpack. Siapa tau rezeki, Mbak.” Yang lain menimpali.Kemudian, mereka mendominasi percakapan dengan berandai-andai. Suasana kian ramai, diiringi gelak tawa juga harapan-
“Aku kira kamu nggak datang.” Danar bangkit dari kursinya, lalu menyambutku dengan senyuman khasnya. Senyum yang sejak dulu mampu menggetarkan seluruh sukmaku untuk mendambanya. Senyum yang membuat aku tak bisa beranjak untuk sekadar menolak pesonanya“Aku nggak mungkin ingkar janji, Danar.” Aku langsung menjawab, menatanya dengan sorot yang semoga saja dipahaminya. “Karena menunggu untuk sebuah janji tanpa kepastian itu rasanya nggak enak. Dan kamu mungkin lupa, kalo aku yang paling tau rasanya.”“Kapan kamu berhenti mengungkit itu, Rin?” Danar mengiba, mengutus tatapan yang biasanya berhasil meluluhkanku. Akan tetapi, sekali lagi, aku tidak sedang ingin mengenang apa pun kebiasaan kami di masa lalu. Hari ini, aku datang menemuinya bukan untuk menanyakan kesanggupannya berjuang. Aku menemuinya karena ingin memutus segala hal di antara kami yang memang tak pantas lagi meski hanya seadar untuk dikenang. “Aku nggak mengungkit. Sama sekali nggak. Aku cuma mau jadi orang yang selalu m
“Kamu harus tau, aku memang nggak pernah pergi. Aku nggak sepengecut itu untuk lari dari pertunangan kita, Arini. Hanya saja, aku memang nggak bisa kembali.”Danar masih menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang tak ingin kudengar. Sementara itu, aku hanya menatap nanar kepadanya, berusaha untuk tak kembali luluh dengan semua kalimat yang kian tak masuk akal. “Nyatanya kamu pergi, ‘kan?” Kuhapus lelehan air mata, meski percuma. Sebab, sebanyak apa pun aku melakukannya, air mata ini terus saja membasahi pipi, seiring luka lama yang menggores hati. “Harusnya, kata-kata kamu bikin aku bahagia, Danar. Seperti semua kata-kata kamu yang memang selalu bisa menenangkan aku, dari dulu. Kamu yang selalu berhasil bikin aku bahagia, dan kamu yang selalu berhasil bikin aku ketawa. Tapi ....” Aku berhenti, lalu mengenang semua yang pernah dilakukannya dulu, sebelum menjatuhkan luka untukku sedalam ini.Dengan Danar, aku pernah merasa bahagia tak terkira. Tetapi, dengannya juga aku terpuruk, hingga
Langkah Ibu yang mendekat itu terasa bagai vonis mati. Detik demi detik berada di rumah ini rasanya begitu menyakiti. Bagaimana bisa, orang-orang yang mencintaiku menghancurkan aku sedalam ini?“Kamu kenapa?” Ibu mengulur tangan menyentuh pipiku. Dia tampak heran melihat aku yang menangis seperti anak kecil. “Kamu berantem sama Arsyl?” Kelembutan yang ditunjukkan Ibu membuatku kian tenggelam dalam tangis. Dalam sesal, dalam sesak luar biasa.“Aku ... aku ketemu Danar, Bu.”“D-Danar?” Mata Ibu sedikit membulat, kata-katanya juga sedikit tergagap. Maka, apa boleh jika sekarang aku curiga pada Ibu juga?“Jadi, Ibu juga tau?” Aku mengambil kesimpulan.“Arini ....“Aku melepaskan tangan Ibu yang masih melekat di pipi, lalu mengayun langkah ke halaman belakang. Tak jauh di depanku, tampak Ayah berdiri di tepi kolam ikan. Ayahku itu menaburkan sesuatu ke kolam, memberi makan ikan-ikan lele peliharaannya. Seperti Arsyl, Ayah memang suka memelihara jenis hewan air itu.“Ayah.” Aku mendekat