“Apa aku batalin aja?”Arsyl menatapku yang sedang berkemas. Lebih tepatnya, aku tengah mengemas pakaian dan segala perlengkapan kami. Rencananya, besok kami akan bertolak ke Bali untuk menghadiri acara reuni yang dilaksanakan oleh kampusnya. Reuni akbar yang digelar setelah lebih sewindu kelulusan.Jika biasanya kami bepergian cukup dengan satu kopor kecil, maka kali ini bawaan kami bertambah satu kopor besar lagi. Banyak bawaan yang tak bisa ditinggalkan, utamanya milik Baby Arsha. Bayi yang kulahirkan dua bulan lalu itu bernama Andi Arsha Hanafi. Darah keluarga Arsyl mengalir dalam tubuh bayi gembul itu.Lahirnya Arsha tentu saja disambut penuh sukacita. Selain menjadi cucu pertama laki-laki di keluargaku, Arsha juga bayi yang lahir setelah banyak drama terjadi dalam keluarga kami. Drama yang melibatkan semua orang, menyita waktu dan melelahkan hati.l“Kenapa harus dibatalin? Kamu nggak mau aku ikut?” Aku menjawab dengan sinis. “Sayang ... Baby Arsha kan masih kecil. Kamu tega mau
Jika ditanya apa yang paling kubenci akhir-akhir ini, maka tamu di pagi hari adalah jawabannya. Bukan saja karena masih ingin bermalas-malasan di tempat tidur, tapi karena banyak hal yang harus kubereskan lebih dahulu. Aku tidak suka jika rumah dalam keadaan berantakan lalu ada yang datang. Selain akan dicap jorok, tentu sebagian orang akan menganggap aku istri yang malas. Seperti pagi ini misalnya, kala Kak Amy datang tanpa memberi tahu. Salah Arsyl juga, yang membuka pintu tanpa berpikir panjang.“Ya aku nggak tau, Sayang. Kan kupikir itu Kak Amy, bukan orang lain.” Dia mengelak, sedangkan aku menatapnya dengan memberengut. Mungkin, kali ini wajahku sudah seperti Angry Bird karena alis yang menyatu.“Mau Kak Amy atau bukan, harusnya kamu bisa beresin dulu ruang tamunya.” Aku masih merasa sebal.Bagaimana tidak? Kak Amy datang di akhir pekan, kala kami masih ingin bergelung di balik selimut. Sialnya, Arsyl membuka pintu tanpa membereskan lebih dulu kekacauan yang semalam sempat kam
“Nanti aku ada pameran di mal. Bawa Arsha boleh, nggak?”Aku bertanya kepada Arsyl kala menyajikan sarapan. Ini adalah akhir pekan, tapi aku masih harus menyelesaikan beberapa tugas kantor terkait stand pameran disalah satu mal yang ada di Kota Makassar. Menjelang akhir tahun, berbagai perusahaan otomotif memang gencar melakukan kegiatan seperti ini dengan memberikan banyak potongan dan berbagai bonus.“Mau aku temenin sekalian?” Dia bertanya setelah menyesap air jahe. Hari ini Arsyl tidak ke rumah sakit. Dia bilang, nanti malam juga hanya akan ada di klinik satu jam saja.“Nggak usah. Mau ngapain?”“Ya sekalian belanja. Kamu nggak jaga stand, ‘kan? Cuma ngurus administrasi sama orang mall aja?”Aku mengangguk. “Iya. Tapi kalo kamu ikut, aku malah takut nggak konsen nanti.”Arsyl menimang bayi kami yang ada dalam dekapannya lalu berkata, “Nggak konsen? Emang kamu mau ngapain?”Aku melengos, lalu bangkit menuju wastafel. “Lagian mau ngapain ikut? Emang nggak bosen? Aku sampe jam tiga d
Papa Ciiil!”Dua bocah berambut kriwil itu menyongsong dengan riang ketika aku dan Arsyl sampai di rumah Mama. Sore ini, Mama mengundang kami untuk datang ke acara makan malam keluarga. Berkumpul di sini, lalu nanti sama-sama menikmati hidangan di sebuah tempat di tepi pantai. Bukan tanpa alasan, sebab suami Kak Amy datang dari Manado tengah berulang tahun. Ayah si Kembar itu akan menghabiskan masa cuti beberapa hari di Makassar.Menurut Mama, sudah lama kami tak duduk dalam formasi lengkap. Sebab, selama ini memang kami jarang menemukan waktu yang pas. Biasanya, jika ada suami Kak Amy, maka Arsyl sibuk. Atau kalau tidak, aku yang sedang lembur.“Hey! Sudah makan belum?” Arsyl berjongkok, dan menyambut keponakannya dalam dekapan. Kemesraan yang selalu mampu menghangatkan hatiku sejak dulu. “Zaki udah!” Zaki mengusap perut ketika berkata demikian.“Zia juga udah!” Zia menyahut, tak mau kalah.“Anak pinter!” Arsyl menghadiahkan kecupan pada si Kembar, bergantian.“Papa Cil, nanti kit
“Ssst!” Arsyl meletakkan telunjuk ke bibir ketika aku masuk ke kamar. “Boss besar baru aja tidur.” Dia melanjutkan kalimatnya.“Lho, kok bisa? Kan, dia belum ng-ASI?” Aku mendekat.Sepulang dari mal tadi, kami mampir ke rumah Mama sebentar. Sementara itu, Arsyl lanjut ke klinik. Setelah urusannya selesai, baru kami pulang ke rumah bersama. Aku langsung mandi, karena lelah dan berpikir akan langsung tidur saja.“Tadi sudah aku angetin ASIP-nya.” Arsyl masih berbicara pelan. Dia mendekat dan bertanya, “Mau mompa?”Aku hanya mengangguk, dan mulai mempersiapkan alat. Selama menyusui, produksi ASI-ku memang berlimpah. Sebuah hal yang patut disyukuri, karena banyak ibu di luar sana yang mengalami nasib sebaliknya.“Mam, mompanya bisa biasa aja, nggak?”Aku menoleh? Apa katanya? Biasa saja? Aku bahkan belum mulai. Dasar mesum!“Maksudnya?”“Ya ... nggak usah pake baju begitu lagi, kan aku jadi—“Belum selesai kalimat Arsyl kala aku melemparnya dengan sebuah bantal.Suamiku itu hanya terkekeh
"Bagaimana kabarmu?"Aku mengerjap. Dia? Kerongkonganku seketika kering, kepala terasa pening. Tuhan ... apa ini? Apa aku tidak salah lihat?Tangannya masih terulur di hadapanku. Ingin rasanya balas menjabat, tapi aku takut dia bisa merasakan tanganku yang mendadak dingin. Bertemu dengannya setelah terpisah sekian lama ... entah mengapa aku berdebar-debar. Seperti gadis yang baru disapa cinta pertama."Arini?" Panggilannya membuatku tergagap. "Ah, i--iya. Aku ... aku baik." Kemudian, aku mengulurkan tangan dengan ragu. Saat tangan kami bersambut, aku merasa sesuatu bermekaran indah. Di sini, di dalam hatiku. Tatapan kami bertemu. Sesaat, sebab aku segera mengalihkan pandang ke arah lain. Namun, meninggalkan dampak begitu berat. Seperti ada aliran listrik yang membawa efek kejut ringan di tanganku, lalu menyebar sampai ke hati. Membiarkan tangan dalam genggamannya, aku bagai dilempar ke masa lalu. Saat-saat indah yang pernah terlewati di antara kami, ketika menempuh pendidikan di
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanyut dalam buaian indah ini. Meski ada sebagian sisi logika yang menolak, tapi seluruh syaraf di permukaan tubuhku mendamba kelembutan ini. Danar ... lagi-lagi dia berhasil membawaku kembali ke masa lalu. Saat kami melewati setiap hari penuh suka cita dan canda tawa. Saat kami menunjukkan kemesraan kepada semesta.Ini salah. Dilihat dari sisi mana pun tetaplah salah. Namun, entah mengapa aku tak pernah mendapati kesalahan yang begitu dibenarkan oleh hatiku sendiri. Aku mengerjap, ketika kami kembali berjarak. Sementara debaran dalam dada semakin menggila, seperti jantung ini akan lepas dari tempatnya. Untuk sejenak aku memejam. Berusaha memegang kendali atas hati, yang tiba-tiba menyusupkan perasaan aneh.Tampak wajah Danar masih begitu dekat, ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut, khas seseorang yang baru saja melabuhkan rindu. Kenapa Danar tidak bertanya? Bukankah seharusnya dia bertanya tentang h
Danar melepas tautan bibir kami, saat pintu lift terbuka di lantai dua belas. Dengan cepat dia menarikku ke dalam sebuah kamar, yang letaknya berjarak dua kamar dari kamarku sendiri. Entah ini sesuatu yang telah direncanakan atau sebuah kebetulan, aku bahkan tak peduli.Danar mendudukkanku ke tepi ranjang, sedangkan dia sendiri bersila di lantai, dengan menumpu kepala di pahaku. Tak lama kemudian, dia menengadah sembari memegang tanganku.“Maaf.”Aku berpaling, mengarahkan pandangan ke luar dinding kaca. Tatapanku berusaha menembus kelam di luar sana, yang gelap menyerupai perasaanku saat ini. Harusnya aku bahagia bertemu dengannya sekarang. Harusnya hati ini bahagia dan berdebar, seperti saat dia menjabat tanganku di awal jumpa sore tadi.Akan tetapi, entah mengapa justru dada ini bagai ditimpa batu besar sekarang. Sesak, sampai rasanya bernapas saja sulit. Kenapa takdir bermain atas hidupku dengan tidak adil? Kenapa semesta merenggut semua dengan seenaknya, melalui Danar? Berbagai