PETAKA REUNI

PETAKA REUNI

By:  Wanti Arifianto  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 ratings
79Chapters
10.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Arini, yang tak sengaja bertemu kembali dengan mantannya di acara reuni Danar. Setelah enam tahun berpisah, keduanya bertemu dalam keadaan yang telah sama-sama menikah. Arini bimbang. Bagaimanapun, ia adalah seorang istri, meski pernikahannya terjadi karena perjodohan. Arsyl adalah pria yang sangat baik, meski keduanya bersama hanya di atas sebuah perjanjian. Arini mengambil sebuah keputusan. Namun, ketika ia memutuskan menjauh, tanpa diduga, Danar malah menyusulnya. Pria itu tak segan berada di sekitarnya, mengabaikan Arsyl. Bagaimana kisah cinta segitiga mereka? Akankah sang mantan berhasil memenangkan cinta masa lalu mereka?

View More
PETAKA REUNI Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Sri Lestari Asrie
akhirnya ku temukan kisah ini di sini
2023-10-24 13:34:26
0
user avatar
Wanti Arifianto
yuk baca lagi yuuuk
2023-03-07 13:22:37
0
user avatar
yenyen
selalu suka cerita yang memilih bertahan daripada perceraian. Bery very love it
2023-02-05 08:01:16
2
user avatar
Mblee Duos
ceritanya seru kak... suka gaya permainan bahasanya... semangat nulisnya ya,,,...... saling support juga yuk, dicerita aku, MAMA MUDA VS MAS POLISI
2022-11-19 13:39:59
1
79 Chapters
Dia
"Bagaimana kabarmu?"Aku mengerjap. Dia? Kerongkonganku seketika kering, kepala terasa pening. Tuhan ... apa ini? Apa aku tidak salah lihat?Tangannya masih terulur di hadapanku. Ingin rasanya balas menjabat, tapi aku takut dia bisa merasakan tanganku yang mendadak dingin. Bertemu dengannya setelah terpisah sekian lama ... entah mengapa aku berdebar-debar. Seperti gadis yang baru disapa cinta pertama."Arini?" Panggilannya membuatku tergagap. "Ah, i--iya. Aku ... aku baik." Kemudian, aku mengulurkan tangan dengan ragu. Saat tangan kami bersambut, aku merasa sesuatu bermekaran indah. Di sini, di dalam hatiku. Tatapan kami bertemu. Sesaat, sebab aku segera mengalihkan pandang ke arah lain. Namun, meninggalkan dampak begitu berat. Seperti ada aliran listrik yang membawa efek kejut ringan di tanganku, lalu menyebar sampai ke hati. Membiarkan tangan dalam genggamannya, aku bagai dilempar ke masa lalu. Saat-saat indah yang pernah terlewati di antara kami, ketika menempuh pendidikan di
Read more
Terenggut
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanyut dalam buaian indah ini. Meski ada sebagian sisi logika yang menolak, tapi seluruh syaraf di permukaan tubuhku mendamba kelembutan ini. Danar ... lagi-lagi dia berhasil membawaku kembali ke masa lalu. Saat kami melewati setiap hari penuh suka cita dan canda tawa. Saat kami menunjukkan kemesraan kepada semesta.Ini salah. Dilihat dari sisi mana pun tetaplah salah. Namun, entah mengapa aku tak pernah mendapati kesalahan yang begitu dibenarkan oleh hatiku sendiri. Aku mengerjap, ketika kami kembali berjarak. Sementara debaran dalam dada semakin menggila, seperti jantung ini akan lepas dari tempatnya. Untuk sejenak aku memejam. Berusaha memegang kendali atas hati, yang tiba-tiba menyusupkan perasaan aneh.Tampak wajah Danar masih begitu dekat, ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut, khas seseorang yang baru saja melabuhkan rindu. Kenapa Danar tidak bertanya? Bukankah seharusnya dia bertanya tentang h
Read more
Egois
Danar melepas tautan bibir kami, saat pintu lift terbuka di lantai dua belas. Dengan cepat dia menarikku ke dalam sebuah kamar, yang letaknya berjarak dua kamar dari kamarku sendiri. Entah ini sesuatu yang telah direncanakan atau sebuah kebetulan, aku bahkan tak peduli.Danar mendudukkanku ke tepi ranjang, sedangkan dia sendiri bersila di lantai, dengan menumpu kepala di pahaku. Tak lama kemudian, dia menengadah sembari memegang tanganku.“Maaf.”Aku berpaling, mengarahkan pandangan ke luar dinding kaca. Tatapanku berusaha menembus kelam di luar sana, yang gelap menyerupai perasaanku saat ini. Harusnya aku bahagia bertemu dengannya sekarang. Harusnya hati ini bahagia dan berdebar, seperti saat dia menjabat tanganku di awal jumpa sore tadi.Akan tetapi, entah mengapa justru dada ini bagai ditimpa batu besar sekarang. Sesak, sampai rasanya bernapas saja sulit. Kenapa takdir bermain atas hidupku dengan tidak adil? Kenapa semesta merenggut semua dengan seenaknya, melalui Danar? Berbagai
Read more
Berpisah?
Aku memejam, menikmati guyuran air yang menerpa kepala. Dalam hati berharap agar semua ini hanya mimpi di siang hari, dan tidak benar-benar terjadi. Namun, keberadaanku di sini menyentak kesadaran. Bahwa aku benar-benar ada di situasi amat sialan, yang mempertemukan kembali dengan Danar. Dalam balutan dingin yang mulai menusuk, ingatanku lagi-lagi mengembara jauh. Menyusuri lorong waktu, saat aku dan Danar masih bersama dalam sebuah ikatan. Cinta ... dan apa pun itu.“Udah lama?” Danar melangkah cepat melintasi pintu kaca. Senyuman yang ia tampakkan mampu melebur kerinduan yang menggunung dalam hati ini. “Lama!” Aku mencebik, lalu mendekapnya erat. “Tadi delay sejam. Apa mungkin pesawatnya ngerjain kita?” Danar membalas pelukan, dan mengusap-usap kepalaku. Hal yang selalu berhasil menyusupkan syahdu.Tahu apa yang paling membahagiakan saat menjalani hubungan jarak jauh? Yaitu saat bertemu seperti sekarang. Meski hanya bertemu setahun sekali, bagiku ini lebih dari cukup. Kabar bai
Read more
Pengecut
Alunan musik instrumental memenuhi kabin mobil. Irama saksofon milik Kenny G mendayu-dayu, seakan-akan menggugah segenap memori yang memang tak pernah layu. Hal yang sebelum ini mati-matian kuhapus, nyatanya kembalinhidup, bahkan kian menggebu.Ya ... bagaimanapun pendapat orang tentang bodohnya aku mengendalikan diri atas kisah ini, nyatanya semua rasaku masih tetap terpelihara. Untuk Danar, seperti ada rasa yang enggan menjadi hambat, meski sekian lama terbiar. Berada satu mobil dengan Danar, membuatku deja vu. Aku seperti dilempar pada pertemuan kami terakhir kali, kala mengantarnya ke bandara. Lalu, memoriku memutar waktu, mengajakku menapaki hari ketika melepasnya dulu ...."Kamu ... tahun depan, apa kamu mau liburan ke sini lagi? Mm ... maksud aku, nanti kita bakalan ketemu lagi, 'kan?" Ini memang terdengar bodoh. Namun, entah mengapa semua menjadi canggung setelah insiden sore kemarin. Semalam, Danar tak banyak bicara. Kami makan dalam diam, seakan-akan semua pembahasan tak l
Read more
Tempat Pulang
Setelah berhasil menembus kemacetan parah selama beberapa jam, aku dan Danar sampai di Bandara Soekarno Hatta sekitar jam delapan malam. Menembus kemacetan Jakarta di jam pulang kerja, sungguh membuatku lelah. Ditambah kebersamaan dengan Danar ... maka kerumitan dalam hati dan hidupku lengkaplah sudah. Masih ada dua jam lebih menunggu penerbanganku yang terjadwal pukul 10.40. Tadi, Danar sempat mengajak untuk menghabiskan waktu, sekadar berjalan-jalan atau menikmati salah satu sudut Kota Jakarta. Namun, dengan tegas aku menolak. Bagaimanapun, kami adalah dua orang dewasa yang terikat rasa. Aku tak ingin terjebak rasa, lalu terseret lebih jauh kepada hal yang tak seharusnya. Seperti saat di Taman Safari, Danar benar-benar tak melepasku. Sekilas, kami benar-benar seperti pasangan mesra yang terus bergandengan sepanjang jalan. Aku bahkan lupa, apa dulu dia pernah menggenggam jemariku sehangat ini. Gestur yang ditunjukkannya, benar-benar seperti orang yang takut kehilangan. Namun benar
Read more
Terjebak Berdua
"Aku udah bilang, nggak usah jemput." Aku berkata ketika meninggalkan area kedatangan. Arsyl menggamit pinggangku, sementara satu tanganku yang lain memegang buket bunga darinya. Ini adalah penanda bahwa hubungan kami sudah berjalan sepuluh bulan lamanya. Yang bisa kulihat, Arsyl kian bersemangat setiap bulannya ketika merayakan hari spesial kami. Aku masih ingat, di bulan pertama pernikahan, dia hanya memberi sekuntum mawar putih. Bulan berikutnya, dia memberikan beberapa kuntum mawar, salah satu di antaranya berwarna merah. Lalu sekarang, aku menerima buket berukuran besar. Sebagai perempuan, jelas aku bahagia. Meski tak seperti di drama-drama, tetapi yang dilakukan Arsyl cukup membuatku mampu melebarkan tawa. Dia selalu menganggapku ada, meski kami tak sedang bersama. Perhatiannya mengalir, seperti memiliki untaian rasa yang tak pernah ada habisnya, untukku. “Apa kamu pikir, aku tega biarin kamu naik taksi di jam seperti ini?” Dia balas berkata, menoleh sejenak melihatku. “Ta
Read more
Momongan?
Aku menatap Arsyl dengan sorot ingin tahu. Datang ke kamarku setelah berpisah lama dan di jam seperti ini, apa yang dia pikirkan?Arsyl menggaruk tengkuk, lalu mendekat setelah menutup pintu. “Sebenernya ... selama kamu nggak ada, mamaku ada di sini. Dan selama itu juga, tiap pulang dari rumah sakit buat istirahat, aku tidur di sini, di kamar kamu.”Ah!“Aku bisa saja tidur di kamar tamu atau di depan TV, Rin. Tapi, aku takut mama curiga. Ah, iya. Aku benar-benar hanya tidur saja, Rin. Nggak gangguin barang-barang kamu.” Dia berkata seperti melakukan pengakuan dosa.Melihat mimik wajah Arsyl, aku tertawa. Bagaimana bisa dia secanggung itu di rumahnya sendiri? Namun, kemudian tawaku pergi, tatkala membayangkan harus berbagi kamar dengannya dalam keadaan sekacau ini.Aku kembali berpikir. Pernah ibuku mendapati Arsyl tidur di ruang keluarga. Saat itu, kami beralasan bahwa dia tidak masuk kamar karena tertidur saat menyaksikan acara olahraga. Namun, jika kejadian serupa terus terulang, b
Read more
Modus
Selepas kepergian Arsyl, aku kembali ke dalam. Seperti biasa, aku melakukan pekerjaan rumah. Namun, kali ini aku melakukan semuanya sembari mengobrol dengan Mama. Dia sedang duduk di ruang TV, merajut sesuatu. Mama Indi adalah perempuan aktif. Sambil duduk begini, dia masih menyibukkan diri dengan merajut. Yang aku tahu, banyak sekali barang di rumahnya adalah hasio buatan sendiri. Taplak meja, gorden, semua hasil rajutannya. Selain itu, Mama Indi juga pandai memasak. Mertuaku ini adalah tipe ibu yang dirindukan anak-anaknya. Bahkan, Arsyl akan makan dengan lahap bila kami berkunjung ke rumah Mama. Biasanya, Mama Indi akan bertanya kami ingin makan apa, lalu menyiapkan dan menyajikannya begitu kami sampai. Di awal menikah dulu, Mama Indi juga mengajariku cara memasak menu kesukaan Arsyl. Tanpa mama tahu, bahwa aku tak pernah bisa memasak apa pun yang diajarkannya. Lebih tepatnya, aku selalu memilih hidangan sederhana untuk dinikmati bersama Arsyl. "Kamu kenapa nggak cari pembantu
Read more
Clue
“Kalian kenapa?” Mama menatap kami bergantian.Apakah kalian pernah melakukan kekonyolan dan tertangkap basah? Jika iya, itulah yang kurasakan sekarang. Sementara itu, Arsyl hanya berdeham beberapa kali. Mungkin saja dia tersedak?“Dari tadi kayak nggak fokus.” Mama masih melihat ke arah kami, seperti seorang detektif.“Nggak, Ma.” Arsyl menjawab singkat. Oh, astaga! Ingin rasanya aku menginjak kakinya, supaya memberikan penjelasan kepada Mama. Kenapa mengarang cerita dan meyakinkan semua orang selalu saja menjadi bagianku?“Kalian mau ngomong sesuatu sama mama? Atau mungkin ... pagi ini ada kabar baik?” Mama meletakkan sendok, dan menumpu dagu pada jemari yang terjalin di meja.Arsyl ... selamatkan aku!“Misalnya Mama mau punya cucu?” Arsyl menimpali. Dia tersenyum ketika berkata demikian, mengingatkanku pada senyumannya semalam. Tunggu. Semalam?Sontak aku menoleh dan melotot ke arah Arsyl. Apa yang dia katakan?“Sabar, Ma. On process!” Arsyl mengedip ke arahku, dan itu sukses mem
Read more
DMCA.com Protection Status