Share

7

Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.

Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.

Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar.

Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan.

"Bunda, ayo sahur."

Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan untuk anak dan suamiku.

"Aku tahu kalau kau lelah, jadi aku sudah menghangatkan makanan yang tadi."

Aku tidak menjawab, melainkan langsung ke kamar anakku untuk membangunkan dan memintanya untuk sahur.

"Nak, makan dulu."

"Nanti saja Bunda," jawabnya dari balik selimutnya.

"Ayah sudah menunggumu di meja makan."

"Aku sudah mengambil sekotak susu dan apel, Bund. Aku ga mau sahur."

"Kok tumben?"

Aku bertanya padahal aku tahu alasannya, dia pasti masih kesal pada ayahnya.

"Ngantuk, Bun. Aku mau tidur aja."

Aku kembali sambil menutup pintu, Mas Hisyam menatapku, berharap aku akan bergabung ke meja makan dan sahur dengannya. Aku hanya menggeleng sekilas lalu masuk ke dalam kamar.

"Kau tidak makan?"

"Tidak."

"Tapi, besok kau akan puasa."

"Aku baik baik saja," balasku dingin.

Kututup pintu, mematikan lampu kamar lalu merebahkan diriku, meski aku sadar bahwa seranjang dan disentuh olehnya mungkin akan jadi sesuatu yang aneh, aku tidak bisa berbuat banyak selain pasrah dan meneteskan air mata.

"Mengapa tiba-tiba musibah ini datang dalam kehidupan kami? Mengapa harus poligami? Kenapa dia tidak menyiksa saja diriku dibandingkan dia harus membagi cintanya?"

Ah, kenapa sakitnya begitu menyiksa seperti ini. Aku tidak mendaftar pernikahan untuk menghadapi ujian seberat ini. Hatiku ingin menjerit bahwa aku tak sanggup, tapi aku harus menjerit pada siapa.

Sekitar setengah jam kemudian, aku masih belum mampu memejamkan mata, mas hisyam masuk ke dalam kamar dan bergabung ke tempat tidur. Dia membuka selimut lalu membaringkan dirinya.

"Tidak biasanya kamu langsung tidur setelah sahur, biasanya kamu baca Alquran dan dilanjutkan dengan salat subuh."

"Untuk apa aku beribadah sekuat tenaga dan berdoa agar Tuhan menjagamu, jika semua itu sia sia?"

"Astagfirullah Bunda kenapa kau berputus asa dengan doamu?"

"Karena semuanya sudah gagal, Mas."

"Bunda...."lelaki itu menyentuh bahuku dari belakang, aku mencoba menepisnya dan membuat dia menjauh dariku.

"Jangan menyentuhku."

"Aku minta maaf Bunda."

"Pasti menyenangkan bagimu untuk membagi cinta dan kemesraan di tempat tidur. Apa wanita itu membangkitkan sisi kegairahanmu yang tersembunyi selama ini?!"

"Astaghfirullah."

"Cukuplah bersikap religius padahal sebenarnya kau adalah iblis yang jahat."

"Bund, menikah itu tidaklah dosa. Dan aku tidak akan menyakitimu jika aku bisa bersikap adil."

"Meski kau ingin melakukannya itu tidak akan terjadi, Mas. Seorang pria pasti condong pada salah satu istrinya. Jangan munafik lagi, Mas. Tunjukkan saja bahwa kau memang lebih peduli padanya dibandingkan dengan kami."

"Bund, aku tidak mau terus bertengkar seperti ini."

"Nyatanya ... kau telah menyulut kebencian di dalam hatiku."

"Aku bisa apa sekarang?"

"Bisakah kau memilih antara aku dan dia?"

"Tidak, Zubaidah. Aku mencintai kalian berdua dan aku yakin dengan segala keyakinan di hatiku, bahwa suatu saat kalian bisa saling menerima."

"Oh ya, kau pikir aku dan dia mau pura-pura akrab dan saling menyayangi karena dirimu! omong kosong dari mana itu?!" Pertengkaran kembali tidak terelakkan hingga membuat putriku kembali mengetuk pintu kamar.

Suamiku menyalakan lampu dan mendapati putrinya memandangi kami berada di ranjang yang sama.

"Ayah, boleh aku tidur sebentar?!"

"Tentu Nak."

"Kalau begitu, tolong tenanglah."

"Aku berusaha untuk menenangkan ibumu."

"Satu-satunya cara adalah Ayah jangan sekamar dengan Bunda. Keluar dan menjauhlah."

"Ayah tidak bisa begitu, Nak."

"Kalau begitu bayangkan kalau ayah yang jadi Bunda! Kira-kira ayah akan bagaimana?!"

"Hah?!" Mas hisyam terperanjat.

Kurasa tidak ada salahnya untuk mendidik putriku lebih dewasa daripada umurnya, karena dia berhasil memukul mental ayahnya dengan perkataan sederhana itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
zahro syafieda
laki laki ingin menang sendiri.dengan mudahnya berkata demikian...semoga bunda bisa lebih tegar lagi...
goodnovel comment avatar
for you
kasih pelejaran mental ayah mu sampai gila biar tidak punya ra rasa kasian sama lawan jenis lalu se enak jidat e jatuh cinta
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status