Share

6. setelah sakit

Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.

Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya.

Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar.

"Bund, makanlah sesuatu."

"Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin.

"Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya."

"Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata.

Sudah 7 jam aku menangis seperti ini, sudah 7 jam aku merasakan hatiku seperti digelungi oleh kawat besi yang tajam, aku menderita, aku tidak percaya dengan kenyataan tapi aku yakin hari-hari kedepannya akan jadi lebih berat dari ini.

Suasana rumah begitu lengang dan gelap, hanya lampu itu temaram dinding berwarna kuning yang menerangi setiap sudut rumah. Entah kenapa lampu utama tidak dinyalakan, keadaan menjadi suram sesuram hati penghuni rumah.

Aku duduk di meja makan, memperhatikan aneka makanan kesukaan suami yang tadi siang kumasak dengan penuh cinta dan antusias. Makanan itu masih belum tersentuh sedikitpun.

Kutarik nafas dalam lalu kubalik piringku, kutuangkan nasi dan lauk lalu mulai memakannya. Baru saja sekali menyuapkan nasi ke mulut, aku kembali teringat kejadian siang tadi di mana aku dan putriku terjatuh ke aspal lalu wanita itu berteriak memanggil nama suamiku dengan sebutan suaminya.

Ah, air mataku tak terbendung lagi, terjatuh ke atas nasi begitu saja, hatiku perih luar biasa saat mulai menyadari bahwa mulai sekarang keadaan tidak akan sama seperti semula. Makanan ini, rumah ini, diriku dan putriku, semuanya seperti jembatan persinggahan, di mana pelabuhan terakhirnya adalah wanita baru dalam hidup suamiku.

Aku tak sanggup lagi untuk makan, membayangkan betapa suamiku sangat memanjakan pengantin barunya, aku yakin dia merayu wanita itu sama seperti dia merayuku, pasti sikap romantis, kemesraan dan bagaimana cara ia memperlakukanku, akan ia lakukan pada wanita itu dengan cara yang sama.

Aku kesal menyadari bahwa segala cinta dan kasih sayangnya ternyata dibagi dua. Aku geram hidup dalam kepalsuan dan penipuan ini. Jelas sudah, aku dikhianati oleh satu-satunya alasan diri ini bertahan hidup.

Kuusap air mata, lalu kuakhiri makan tanpa menghabiskan makanan tersebut. Kutinggalkan meja makan setelah menutup tudung saji lalu Seperti biasa aku periksa pintu rumah dan menutup semua gorden jendela.

Tring tring!

Ponsel suamiku yang tertinggal di meja ruang tamu berdering.

Ada nama Eva yang tertulis di layar ponselnya. Tanpa berpikir lebih lama aku tahu itu adalah wanita tadi. Tanpa memanggil Mas Hisyam aku langsung mengangkatnya, tapi aku tidak mengatakan apapun.

"Sayang, apa yang terjadi? kenapa kita tidak jadi berbuka puasa bersama? Sesibuk itukah pekerjaanmu sampai kau tidak bisa menyempatkan waktu?!"

Bagaimana akan menyempatkan waktu jika selama ini dia sibuk bekerja dan pulang padaku tepat waktu. Wanita itu tidak sadar kalau dia hanya istri kedua.

"Aku tahu kau sangat sibuk dan cenderung jarang pulang. Tapi kau tahu kan' aku adalah istrimu dan aku sedang hamil. Aku dan calon anak kita ini membutuhkanmu Mas. Kadang aku berpikir bahwa aku bukan satu-satunya jalan pulangmu, kadang aku berpikir bahwa pernikahan ini seperti sandwara saja."

Wanita itu mencecar tanpa menyadari bahwa akulah yang mengangkat telepon suaminya. Dia terdengar sedih dan galau sekali, terdengar terluka dan putus asa.

Ya, aku mengerti sekali bahwa wanita hamil cenderung sedikit manja dan momen bulan Ramadan adalah hal yang ditunggu untuk berkumpul keluarga, makan bersama lalu beribadah.

"Aku tahu Mas, aku hanyalah anak yatim yang tidak diketahui asal-usulnya, aku tumbuh sebatang kara dan begitu mendapatkan suami aku sangat bahagia . Aku hanya memilikimu di dunia ini jadi seharusnya kau ada di sisiku!" Wanita itu mulai menangis tersedu, membuat hatiku ikut terluka bersamaan dengan tangisannya yang pilu.

"Bisakah sekali saja kau menghabiskan dua hari menginap denganku, kenapa kau memperlakukanku seperti wanita murahan yang hanya dikunjungi saat kau butuhkan!? Aku ini apa untukmu, Mas!" Dia menangis sekali lagi dengan nada yang amat putus asa dan pilu.

Mendengar tangisannya yang menyayat hati aku jadi sadar bahwa bukan akulah satu-satunya yang akan sengsara di dunia ini akibat perbuatan mas Hisyam.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
biar mati jantungan sja skalian niy suami modelan gini
goodnovel comment avatar
for you
jangan bilang bini tua mau nrima madunya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status