Share

Darah di Balik Kabut

Penulis: AL Doank
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 10:26:05

Angin malam membelai pepohonan, membawa aroma tanah basah dan bara yang hampir padam. Namun di antara desiran itu, ada sesuatu yang aneh—suatu kekosongan yang pekat. Sunyi, mencekam, dan tak alami.

Yu Zhen berdiri kaku, matanya menatap lurus ke arah sepasang mata merah yang mengintainya dari balik rimbun pepohonan.

Langkah itu kini terdengar lebih jelas. Dahan patah, dedaunan terinjak. Bumi seolah bergidik setiap kali sosok itu melangkah. Perlahan, sosok tersebut muncul di bawah cahaya rembulan.

Tingginya dua kali tinggi manusia biasa. Tubuhnya dibungkus jubah hitam yang tampak seperti asap pekat. Wajahnya tersembunyi di balik topeng logam, dengan ukiran wajah iblis bertaring. Tapi yang paling mengerikan adalah aura yang dipancarkannya—dingin, membekukan, dan penuh dendam.

Yu Zhen mundur setapak. Napasnya memburu. Tangannya meraba pinggang—kosong. Ia tak punya senjata.

Makhluk itu mengangkat tangannya. Cakarnya panjang dan berkilat dalam cahaya bulan. Dengan suara yang rendah dan berat, ia bersuara, "Kau murid terakhir Sekte Langit Senja?"

Yu Zhen tak menjawab.

Makhluk itu menggeram. "Jawab! Atau aku sobek isi dadamu!"

Yu Zhen menguatkan tekad. Ia tahu, berbohong pun tak akan menyelamatkannya. Tapi melawan, itu juga mustahil.

"Aku memang bukan murid inti," katanya tenang, meski dadanya berdegup keras. "Tapi aku bagian dari sekte itu."

Makhluk itu menyeringai. Suara serak seperti besi digores batu. "Bagus,  berarti aku bisa menyelesaikan tugasku."

Ia melesat maju. Tak seperti gerakan manusia. Ia seperti bayangan yang melompat tanpa suara, dan dalam sekejap, cakarnya meluncur ke arah Yu Zhen.

Namun, seketika, tanah di bawah kaki Yu Zhen meledak. Cahaya merah menyala dari lambang lingkaran yang terukir samar di bawah rerumputan. Sebuah segel!

Makhluk itu terpental, tubuhnya menghantam batang pohon dan membuatnya tumbang.

Suara tawa lirih terdengar dari balik bayangan. Suara itu dikenal oleh Yu Zhen.

“Segel itu aku tanam bertahun lalu. Hanya akan aktif jika energi kegelapan mendekat,” ujar suara itu.

Dari balik semak, sesosok lelaki tua muncul. Jubahnya compang-camping, rambutnya sudah memutih, tapi matanya bersinar tajam. Mo Tian, sang sesepuh.

“Guru?”

Mo Tian mengangguk. “Masih terlalu dini untukmu mati malam ini, muridku.”

Makhluk bertopeng itu bangkit perlahan, kini tubuhnya tampak lebih mengerikan. Darah hitam menetes dari sela topengnya. “Kau … kau pasti Mo Tian. Pengkhianat aliran hitam!”

Mo Tian tertawa ringan. “Kau menyebutku pengkhianat, padahal aku yang memilih jalan hidup. Sementara kalian,  menjadi budak kegelapan murni.”

Yu Zhen menatap gurunya dengan bingung. “Pengkhianat aliran hitam?”

Mo Tian menoleh. “Waktunya akan datang, dan aku akan menceritakan semuanya. Tapi sekarang, simpan pertanyaanmu. Kita harus pergi.”

Makhluk itu kembali melompat ke udara, menghunus senjata yang muncul dari bayangan: pedang hitam dengan aura menyerap cahaya di sekelilingnya. Ia menerjang ke arah Mo Tian.

Namun sebelum ia sempat mencapai sasaran, tanah kembali menyala. Kali ini lima simbol kuno muncul membentuk lingkaran, dan kilatan petir menyambar dari masing-masing titik. Makhluk itu berteriak kesakitan. Tubuhnya terguncang dan terlempar sejauh puluhan langkah.

Tanpa menunggu perintah, Mo Tian meraih tangan Yu Zhen. "Ayo!"

Mereka melompat ke dalam jurang kecil di sisi bukit. Di bawahnya terdapat sungai dangkal yang airnya bersinar samar. Mo Tian mengaktifkan jurus ringan tubuh, dan bersama-sama mereka mendarat tanpa luka. Lalu, tanpa henti, mereka berlari menelusuri tepian sungai.

“Kita harus pergi lebih dalam ke utara. Di sana ada tempat yang tak bisa dideteksi oleh makhluk kegelapan,” jelas Mo Tian sambil berlari.

Yu Zhen terengah. “Apa itu tadi? Mengapa dia mencari aku?”

Mo Tian menatapnya tajam. “Karena kau adalah pewaris teknik terlarang.”

Yu Zhen tertegun. “Teknik terlarang?”

Mo Tian mengangguk. “Sekte Langit Senja tidak hanya menyimpan teknik cahaya,  tapi juga teknik pemurnian kegelapan. Dan kau, tanpa kau sadari, sudah menapaki jalur itu.”

Yu Zhen menggeleng cepat. “Aku hanya belajar dari Guru. Teknik dasar, pengendalian napas, jurus bayangan…”

Mo Tian berhenti dan menatapnya serius. “Itu hanya permukaan. Setiap gerakan yang kuajarkan—langkah kaki, irama napas, bentuk tangan—itu bagian dari dasar Qing Mo Yuan, teknik pemurnian kegelapan.”

Yu Zhen menelan ludah. Dunia yang ia kenal hancur hanya dalam satu malam, dan kini kenyataan baru yang lebih gelap terbentang di hadapannya.

“Tapi kenapa aku?” bisiknya. “Kenapa bukan murid inti? Kenapa bukan orang yang kuat?”

Mo Tian tersenyum. “Karena yang kuat akan memamerkan kekuatannya. Yang lemah akan menyembunyikannya. Dan kadang, kegelapan justru tumbuh paling subur di tanah yang tak dianggap.”

Mereka terus berjalan hingga malam mulai berganti fajar. Kabut menyelimuti hutan di utara, dan cahaya merah mulai muncul dari balik pegunungan.

Namun tepat saat mereka hendak melintasi hutan kabut itu, Mo Tian tiba-tiba berhenti.

Dari dalam kabut, muncul puluhan sosok berjubah ungu dengan lambang bunga teratai hitam di dada mereka.

Mo Tian mengerutkan kening. “Ini sekte Teratai Neraka.”

Seorang pria muda berjalan maju dari antara kerumunan. Senyumnya tenang, tapi matanya dingin.

“Kami sudah menunggumu, Mo Tian. Dan murid kecilmu itu akhirnya muncul juga.”

Yu Zhen mencengkeram lengan gurunya. “Siapa mereka?”

Mo Tian menarik napas dalam. “Pemburu teknik terlarang. Dan kali ini, mereka membawa kepala pengadil aliran hitam.”

Pria muda itu mengangguk. “Serahkan bocah itu, dan kau boleh mati dengan tenang.”

Mo Tian berdiri di depan Yu Zhen, melindunginya.

Kemudian, suara siulan terdengar di kejauhan. Di langit, tiga sosok berpedang meluncur dari awan. Jubah putih mereka berkibar—mereka bukan dari pihak kegelapan.

Namun sebelum mereka mendarat, sebuah ledakan besar mengguncang tanah. Tanah di bawah kaki Yu Zhen pecah, dan dari dalamnya muncul tangan raksasa berwarna hitam pekat yang mencengkeram kakinya.

Yu Zhen menjerit saat dirinya ditarik ke dalam tanah. Dunia tiba-tiba gelap, dan udara menjadi dingin.

“Guruuuuu—!” 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Penjaga Neraka dan Kebangkitan Pusaka

    Kabut hitam itu menggulung seperti pusaran badai, membawa hawa kematian yang menggigit hingga ke tulang. Yu Zhen menahan napas, tubuhnya kaku menghadapi energi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Lian Fei berdiri di sampingnya, wajahnya pucat, tatapannya terpaku pada sosok raksasa berzirah hitam yang melangkah mendekat dengan langkah berat. "Itu... bukan manusia biasa," gumam Lian Fei. "Dia disebut Penjaga Neraka," jawab Yu Zhen pelan, suara sang Guru tua dari masa latihannya bergema dalam pikirannya. "Dibangkitkan hanya ketika rahasia terdalam sekte hendak diungkap." Penjaga itu mengangkat pedang besar seukuran tubuh manusia dewasa. Ujungnya menyala merah seperti besi yang baru ditarik dari kobaran api. Setiap langkahnya menggetarkan bumi. Yu Zhen menelan ludah. Energi dari gulungan pusaka di tangannya masih berdenyut. Tapi ia belum tahu cara memakainya. Ia hanya merasakan resonansi kuat antara pusaka itu dan tubuhnya sendiri. "Kita tak bisa melawan makhluk itu secara

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Membangunkan Penjaga Neraka

    Yu Zhen memilih berisitirahat di atas bukit untuk menghabiskan malam yang tak lama lagi akan berganti gelap. Sedang Lian Fei memilih turun untuk mencari hewan buruan sebagai pengisi perut. Suasana pegunungan mulai berubah. Kabut tipis turun perlahan, menyelimuti rerimbunan pohon pinus dan jalan setapak berbatu yang kini mulai tampak licin oleh embun. Aroma tanah basah dan getah kayu menusuk hidung, mengingatkan Yu Zhen pada malam-malam kelam di Sekte Bayangan Senja—saat ia harus bangun paling awal dan tidur paling akhir. Dulu, ia dianggap tak lebih dari pelayan, hanya anak yatim piatu yang ditemukan di depan gerbang sekte. Tapi kini, ia adalah pembawa nyala dendam yang tak akan padam sebelum seluruh darah penghianat tertumpah.Di saat Yu Zhen terbuai oleh lamunan masa lalu, Lian Fei mendekat dari sisi lain, langkahnya ringan namun waspada. "Aku menemukan bekas jejak kaki di sebelah timur," ucapnya pelan, "Berat langkahnya menunjukkan seseorang membawa beban, mungkin terluka atau se

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Lubang Pembantaian

    Tubuh Yu Zhen melayang jatuh, angin mendesir tajam di telinganya. Ia sempat mencondongkan tubuh ke samping, mengerahkan teknik ringan tubuh yang diajarkan Mo Jian. Kedua telapak tangannya menempel pada dinding lubang, memperlambat laju jatuhnya. Meski tubuhnya tergores batu-batu runcing, ia berhasil memiringkan arah jatuh dan mendarat di sela-sela tombak kayu, bahunya menghantam keras salah satu batang, tapi itu lebih baik daripada tertusuk lurus. Duk! Suara keras bergema, diikuti suara napas tertahan dari atas. Lian Fei menatap lubang itu dari atas dengan cemas. "Yu Zhen! Kau masih hidup?!" "Masih! Tapi aku tak bisa keluar dengan mudah!" seru Yu Zhen, merintih sambil menekan luka di sisi perutnya. Tombak kayu telah merobek sebagian pakaiannya, dan darah mulai merembes. Lian Fei mengikat tali panjang di tombaknya dan menurunkannya ke dalam. "Cepat! Pegang ini! Aku akan menarikmu keluar!" Yu Zhen menatap sekeliling. Lubang itu terlalu sempit untuk menghindar jika ada serangan dar

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Sebuah Perangkap

    Hutan timur diliputi kabut tebal, embun menggantung di pucuk dedaunan, dan tanah basah menyerap setiap jejak kaki. Di antara lebatnya pepohonan dan semak belukar, Yu Zhen melangkah dengan kehati-hatian seorang pemburu. Di punggungnya, sebilah pedang warisan sesepuh sekte tersembunyi dalam sarung kayu tua. Tubuhnya tinggi dan ramping, dengan sorot mata setajam elang. Rambut hitamnya terikat longgar ke belakang, menyisakan beberapa helai yang menempel di kening karena peluh.Sejak kaburnya ia dari reruntuhan sekte Gunung Kelam, Yu Zhen tidak pernah benar-benar berhenti. Ia berpindah dari satu lembah ke lembah lain, menghindari perhatian dan menyusun siasat balas dendam. Tapi pagi itu, ia merasa sesuatu berbeda. Udara berbau logam, hawa di sekitarnya menekan, dan langkah kuda samar-samar terdengar dari utara."Mereka menemukanku... lebih cepat dari yang kuduga," gumamnya, menggenggam erat gagang pedangnya.Di kejauhan, suara nyaring peluit membelah kesunyian. Seekor burung hitam beterban

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Jejak Pengkhianat

    Hujan mulai turun, perlahan tapi menusuk. Rintiknya jatuh di tanah berlumpur dan di wajah Yu Zhen yang masih mematung, menatap sosok yang seharusnya telah lama mati dalam benaknya: Shen Lie, murid utama yang dahulu dielu-elukan oleh para tetua Sekte Seribu Embun, tempat Yu Zhen dulu dibesarkan—dan dikhianati."Kenapa...?" gumam Yu Zhen.Tawa dingin Shen Lie menggema di antara derik ranting dan gemuruh petir. "Karena aku muak dipaksa memanggil bajingan rendahan sepertimu 'junior murid.' Kau bahkan tak layak membersihkan debu sepatuku. Tapi karena sesepuh itu, kau mendapat tempat di sekte kita. Kau pikir aku akan membiarkannya begitu saja?"Yu Zhen mengepalkan tangan. Hujan tak lagi terasa. Yang ia rasakan hanyalah amarah—namun juga luka lama yang kembali membara.---Tiga tahun laluDi pelataran belakang sekte, di balik dapur dan tungku air panas, seorang remaja kurus berdiri dengan tali kayu bakar menggelayut di punggungnya. Kulit tangannya lecet, bajunya sobek di beberapa bagian."He

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Perburuan Langit

    Langit retak. Cahaya keemasan menembus kehampaan, menghancurkan setiap lapisan ruang yang dilewatinya. Tubuh Yu Zhen terangkat, terperangkap dalam tarikan paksa kekuatan surgawi.Tubuhnya bergetar hebat, seolah daging dan tulangnya ditarik ke arah berbeda. Di balik sorotan cahaya, ia melihat kilatan petir ungu dan pusaran angin surgawi yang memutar ruang dan waktu. Seketika, semuanya menjadi putih.Udara segar menghantam wajahnya. Angin gunung meniup rambut hitam legam yang tergerai panjang hingga melewati bahu. Mata Yu Zhen perlahan terbuka—hitam pekat, namun dalam, seakan menyimpan malam yang tak berujung. Di wajahnya yang tampan namun penuh luka, tampak bekas darah kering di pelipis dan dagu. Tubuhnya kurus berotot, seperti hasil dari kerja keras bertahun-tahun dalam kesunyian.Pemuda itu kini terbaring di tengah padang rumput luas. Tapi ini bukan tempat yang ia kenal.Di cakrawala, bangunan menjulang tinggi seperti istana para dewa. Pilar-pilar dari cahaya, tangga-tangga yang mela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status