Home / Fantasi / PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR / Malam Berdarah di Langit Senja

Share

Malam Berdarah di Langit Senja

Author: AL Doank
last update Last Updated: 2025-05-19 10:23:58

Suara dentang logam memenuhi udara malam. Lonceng peringatan Sekte Langit Senja berdentang dengan irama tergesa—panik, nyaring, dan menelan keheningan seperti lolongan binatang yang terluka. Api membubung tinggi di kaki pegunungan, mengecat langit dengan warna merah menyala. Seluruh sekte terbangun dalam kepanikan.

Yu Zhen berdiri membeku di pelataran dapur. Matanya membelalak, menatap kobaran api yang kini menjilat pagar luar sekte.

"Serangan ...? Tapi siapa yang cukup berani menyerang sekte sekuat ini?"

Teriakan para murid bergema dari berbagai penjuru. Beberapa dari mereka sudah berlarian ke arah gerbang utama dengan pedang di tangan, masih setengah sadar dari tidur mereka. Cahaya lentera bergoyang liar, memantulkan bayangan wajah-wajah panik ke dinding-dinding kayu.

Seorang tetua penjaga meneriakkan komando, "Pertahankan barisan! Jangan biarkan mereka menembus pelataran dalam!"

Yu Zhen bergerak cepat. Ia tahu tempatnya bukan di garis depan. Tapi dia juga tahu, malam ini bukan malam biasa. Ia harus bertemu Mo Tian.

Dengan tubuh merunduk, ia menyelinap melewati asrama murid luar, melompati pagar kayu kecil, dan masuk ke celah batu menuju lereng sebelah barat. Jalur ini ia hafal seperti urat tangannya sendiri—jalan tersembunyi menuju gua tempat sang sesepuh mengasingkan diri.

Namun malam ini, sesuatu terasa berbeda. Angin membawa aroma logam dan abu. Kabut tak lagi setipis malam biasanya. Ia seperti menggumpal, menyembunyikan sesuatu di balik tirainya.

Ketika Yu Zhen hampir mencapai mulut gua, sebuah bayangan muncul dari kegelapan. Sosok itu tinggi, berjubah hitam pekat, dan mengenakan topeng iblis dengan tanduk patah di sisi kanan.

"Mau ke mana, bocah kayu?" Suaranya serak dan rendah.

Yu Zhen berhenti, tubuhnya menegang. Ia belum pernah melihat orang ini sebelumnya.

"Aku hanya mencari perlindungan ... aku bukan siapa-siapa ... hanya pelayan dapur," jawabnya hati-hati.

Sosok itu tertawa pelan. "Itulah masalahnya. Karena kau bukan siapa-siapa, tak ada yang akan peduli jika kau mati di sini."

Bayangan itu melompat dengan kecepatan kilat.

Yu Zhen nyaris tak sempat menghindar. Ia terjatuh ke belakang, tubuhnya meluncur turun ke lereng berbatu, menghantam bebatuan dan semak belukar. Darah mengucur dari pelipisnya. Tapi rasa sakit itu justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya.

"Tenangkan dirimu," suara Mo Tian menggema dalam benaknya. "Pusatkan napasmu. Kenali angin. Dengarkan tanah. Rasakan niat membunuh sebelum ia menyentuh kulitmu."

Yu Zhen menahan napas. Sosok bertopeng itu melangkah turun, perlahan, seolah yakin mangsanya tak akan bisa kabur. Tapi Yu Zhen bukan mangsa biasa.

Dalam sekejap, ia mengaktifkan teknik dasar yang diajarkan Mo Tian—Langkah Bayangan Senja. Kakinya menyentuh batu tanpa suara, tubuhnya berbelok tajam di tengah gelap, menyusup di antara pohon dan semak. Ia memutari sisi bukit dan menyelinap ke celah batu sempit lain, jalan masuk rahasia kedua menuju gua.

Ia sampai dengan napas terengah. Tubuhnya lecet dan berdarah, tapi mulutnya tak mengeluarkan satu keluhan pun. Di dalam gua, Mo Tian sudah berdiri, seolah tahu dia akan datang.

"Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga," gumam Mo Tian tanpa menoleh.

"Siapa mereka, Guru?"

"Sisa-sisa aliran hitam dari utara. Mereka tak datang untuk menaklukkan, tapi untuk membakar habis. Sekte ini akan hilang sebelum fajar."

Yu Zhen menegang. "Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya ingin membantu."

Mo Tian menoleh, matanya seperti danau tak berdasar. "Kau akan membantu. Tapi tidak malam ini. Pergi ke punggung bukit timur. Di sana ada lorong bawah tanah yang akan membawamu keluar dari lembah. Gunakan itu."

"Tapi, Guru—"

"Jangan membantah!" Suara Mo Tian menggema keras, pertama kalinya terdengar seperti perintah mutlak.

Yu Zhen terdiam. Ia menggenggam kain bajunya, menahan emosi yang mendesak keluar. Mo Tian mendekat, merogoh lengan jubahnya dan menyerahkan sebuah gulungan kecil dari bambu hitam.

"Buka ini hanya setelah kau meninggalkan lembah. Ini adalah peta menuju tempat latihan rahasia yang kusiapkan untukmu. Kau tidak akan menjadi pewaris Sekte Langit Senja. Kau akan menjadi warisan terakhirnya."

Yu Zhen menerima gulungan itu dengan tangan gemetar.

Mo Tian menatapnya lama. "Kau harus hidup, Yu Zhen. Sekte ini boleh musnah, tapi ajaran kita harus bertahan. Dan dendam kita... akan menjadi api yang membersihkan dunia dari kegelapan."

Yu Zhen mengangguk perlahan, lalu membalikkan badan dan berlari menyusuri lorong batu menuju bukit timur.

Di belakangnya, langit semakin merah. Dan tak jauh dari gua itu, suara dentingan logam berubah menjadi jeritan dan raungan binatang. Bau darah mulai mengalahkan aroma dupa malam.

Tepat sebelum ia masuk ke lorong bawah tanah, Yu Zhen menoleh sekali lagi.

Di kejauhan, ia melihat satu sosok berdiri di atas gerbang utama sekte—seorang pria bertopeng iblis, mengangkat pedang raksasa yang berkilat merah di bawah cahaya api.

Lalu dari arah dalam sekte, terdengar jeritan yang membuat darah Yu Zhen membeku.

Itu suara Tian Rong. Suara jeritan minta tolong, kemudian menghilang tanpa bekas.

Jeritan Tian Rong menggema ke seluruh penjuru sekte. Itu suara ketakutan, penuh kepedihan, dan sebelum benar-benar hilang, sempat terdengar bunyi crack seperti tulang yang dipatahkan.

Yu Zhen terdiam. Kakinya terpaku di mulut lorong. Matanya basah, bukan hanya oleh debu dan asap, tapi oleh amarah yang mulai menyala perlahan di dasar jiwanya.

Tian Rong adalah satu-satunya murid dalam sekte yang meski kadang mengejeknya, tak pernah menyakiti atau mempermalukannya seperti yang lain. Ia pernah diam-diam memberinya obat luka setelah Yu Zhen jatuh saat mengangkat beban kayu. Pernah juga memberinya setangkup nasi saat dapur tutup lebih awal. Dalam dunia yang dingin dan penuh kasta ini, Tian Rong adalah satu-satunya cahaya kecil yang pernah Yu Zhen kenal.

"Guru,  izinkan aku bertarung," lirih Yu Zhen. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena marah.

Suara Mo Tian terdengar pelan dari balik lorong, seperti bisikan bayangan, "Kelak, kau akan membakar mereka semua dengan amarah yang tidak liar, tapi terarah. Kau akan membuat mereka menangis darah bukan karena benci, tapi karena kau adil. Tapi bukan malam ini, muridku."

Yu Zhen mengepalkan tinjunya. Perlahan, dengan berat hati, ia menuruni tangga batu menuju lorong gelap di bawah tanah.

Lorong itu sempit, hanya bisa dilalui merangkak pada beberapa bagian. Bau tanah lembab menyengat hidung, dan hanya cahaya bulan samar dari celah bebatuan yang menuntunnya. Tapi Yu Zhen terus melangkah. Ia harus pergi. Ia harus hidup.

Dan di dalam hatinya, ia bersumpah.

Sumpah pertama: ia akan mengingat satu per satu wajah para penyerbu.

Sumpah kedua: ia akan kembali, suatu hari nanti.

Sumpah ketiga: ia akan membuat dunia mengenal nama "Yu Zhen", bukan sebagai pelayan dapur,  tapi sebagai pewaris terakhir Sekte Langit Senja.

Setelah hampir satu jam menyusuri lorong, ia akhirnya keluar di sebuah tebing yang menghadap lembah. Dari sana, ia bisa melihat sekte tempat ia tumbuh… terbakar habis. Menara pengamatan runtuh, kuil utama hancur, dan bendera sekte yang dulu megah kini terkoyak dan terbakar di tiang bambu.

Di sisi timur lembah, terlihat puluhan sosok berjubah hitam mengepung sisa-sisa bangunan. Satu di antara mereka menancapkan pedangnya ke tanah, dan dari ujung pedang itu muncul pusaran api berwarna ungu. Api itu melahap aula meditasi dalam sekali gulung.

Yu Zhen menggigit bibir sampai berdarah. Lalu ia mendengar suara langkah dari belakangnya.

Pemuda itu menoleh cepat. Satu sosok muncul dari mulut lorong. Wajahnya berlumuran darah, napasnya tersengal.

"Tian Rong?" suara Yu Zhen tercekat.

Tian Rong tersenyum lemah. Separuh wajahnya penuh luka, salah satu lengannya tergantung nyaris terputus. "Aku kabur lewat jalur lain," ucapnya pelan.

Yu Zhen segera meraih tubuh temannya, menahannya agar tak jatuh. Tapi Tian Rong menggeleng lemah.

"Aku  sudah tak lama lagi," bisiknya. "Dengarkan aku, Yu Zhen ..."

"Jangan bicara. Aku bisa—"

"Diam dan dengarkan!" hardik Tian Rong, darah memuncrat dari bibirnya. Ia memaksakan satu senyum. "Kau benar... selama ini aku salah menilaimu. Kau bukan pelayan. Kau... lebih dari semua dari kami."

Yu Zhen memegang pundaknya erat, merasa dunia berguncang.

Tian Rong mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya—liontin berbentuk giok berbentuk burung. "Ini …pusaka keluargaku. Simpanlah. Aku percaya  hanya kau yang bisa membalas kematian kami."

Yu Zhen menggenggam liontin itu. Hangat. Basah oleh darah.

"Janjikan padaku satu hal ..." lirih Tian Rong.

"Apa pun."

"Jangan mati sebelum mereka semua kau kalahkan."

Dan saat itu juga, napas Tian Rong berhenti.

Yu Zhen menunduk. Angin malam berhembus kencang. Api di kejauhan masih menyala, seolah menari-nari merayakan pembantaian.

Ia mengubur tubuh Tian Rong dengan tangannya sendiri, menggunakan batu dan tanah. Tanpa pelita. Tanpa dupa. Tapi penuh hormat.

Kemudian, ia berdiri. Menghadap ke arah sekte yang kini tinggal abu.

"Guruku benar, memang belum waktunya."

Tangannya menggenggam liontin giok dengan erat. Hatinya mengerang, tapi wajahnya mulai tenang. Luka di pelipisnya masih terbuka, tapi matanya tak menunjukkan rasa sakit lagi. Hanya tekad yang memenuhi pikirannya.

Seketika, di balik bayangan hutan, suara ranting patah terdengar.

Seseorang  atau sesuatu, sedang mendekat.

Yu Zhen menoleh, tubuhnya menegang. Dalam gelap, tampak sepasang mata merah menyala muncul dari balik pepohonan.

Sosok itu bukan manusia. Dan ia melangkah ke arah Yu Zhen dengan aura membunuh yang begitu pekat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mulai menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Rencana Pertunangan

    Lindu Aji sedikit bingung dengan pertanyaan yang diajukan Putri Liani. Dia tidak pernah menyangka kalau akan terjebak dalam sebuah permainan perasaan. Kalau dia menolak, bisa dipastikan Putri Liani akan langsung jatuh sakit. Tapi kalau menerima, masih ada dua orang gadis yang setia menunggunya, Andini dan Anggun.Lama dia berpikir hingga suara Putri Liani mengejutkannya."Lindu, kok malah melamun?""Eh, iya.""Iya apa?"Aku mencintaimu."Putri Liani tersenyum bahagia mendengar jawaban dari pemuda idamannya tersebut."Aku juga mencintaimu, Lindu.""Liani, bisakah kau melepaskan pelukanmu? Aku sulit bernafas."Putri Liani langsung melepaskan pelukannya dan menatap wajah Lindu Aji dengan tatapan tajam."Aku akan mengatakannya pada ayahku secepatnya." Seusai berucap, Putri Liani lalu berlari keluar dari kamarnya.Lindu Aji hanya bisa menepuk jidatnya. Dia tidak menyangka keputusan yang dia

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Hancurnya Perampok Gunung Sindur

    Cucu angkat Ki Damarjati tersebut langsung melayang tinggi, dan kemudian mendarat di sebuah lapangan yang berada di dalam bangunan seperti benteng tersebut.Kedatangan seseorang yang bisa melayang dan mendarat dengan ringan di markas mereka membuat ratusan penghuni di dalam benteng tersebut terkejut sekaligus terheran heran.Seketika mereka bergerak mengepung pemuda tersebut. Lindu Aji hanya tersenyum sinis melihat ratusan orang yang sedang memandangnya penuh kebencian.Pada dasarnya mereka heran, bagaimana bisa sosok berparas tampan itu memasuki markas mereka dengan begitu mudah, sebab sebelumnya tentu banyak jebakan yang menanti. Apa mungkin berbagai jebakan itu bisa dilewatinya?"Siapa kau dan apa urusanmu datang kesini!? Apa kau tidak tahu jika orang asing yang sudah masuk tempat ini tidak akan bisa keluar lagi?" Sosok berkepala gundul dan memiliki cambang lebat mencoba mengintimidasi Lindu Aji."Apa perlu kujawab pertanyaan tolol sep

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Menyerang Gunung Sindur

    "Iya, Tuan Putri, Aku Bejo." Melihat kondisi Putri Liani, Lindu Aji merasa terenyuh dan iba. Dia yang biasanya ceria, saat ini hanya bisa menatap sedih dengan situasi putri Raja Wijaya Kusuma tersebut."Ayah, aku mohon ijinkan Bejo tinggal di sini untuk sementara waktu," pinta Putri LianiRaja Wijaya Kusuma bingung mendengar permintaan anaknya. Dia takut permintaan itu akan membuat Lindu Aji tersinggung. Apalagi dia juga tahu kalau Lindu Aji adalah Cucu Ki Damarjati yang bisa membuat kerajaannya menjadi abu kalau dia berani mengganggu pemuda tersebut."Secara pribadi ayah tidak masalah, Putriku. Tetapi kita tidak boleh memaksa Lindu untuk tinggal di sini. Semuanya tergantung Lindu saja, biar dia yang memutuskan.""Lindu itu siapa, Ayah?"Raja Wijaya Kusuma menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Lindu itu ya Bejo ini, Putriku," jawabnya."Lindu itu nama asliku, Tuan Putri, sedangkan Bejo itu nama samaran saja," sah

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Derita Cinta

    Sebuah kewajaran jika Putri Liani meragukan nama BEJO yang disebutkan pendekar muda pahlawannya tersebut. Secara tampang, sangatlah pantas pendekar yang telah menyelamatkannya itu lebih pantas menjadi seorang pangeran. Lindu Aji kemudian mendatangi lelaki tinggi besar yang meminta berguru kepadanya. "Nama Paman siapa?" "Namaku Prapta, Pendekar." "Panggil saja namaku Bejo. Aku risih kalau di panggil pendekar,” kata Lindu Aji. Lelaki bernama Prapta itu mengangguk. Lindu Aji merasa geli juga dipanggil Bejo. Namun demi menutupi jati dirinya, dia pun bersikap biasa saja. "Begini, Paman Prapta, aku sudah meminta kepada mereka untuk menjadikan Paman sebagai prajurit. Aku juga sudah menjamin bahwa Paman tidak akan kembali berbuat jahat. Sekiranya nanti aku mendapat laporan kalau Paman berulah lagi, maka aku akan memastikan daging Paman menjadi makanan Harimau." "Paman berjanji."

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Putri Liani

    Setelah melalui perjalanan selama 3 hari tanpa ada kendala, rombongan Senopati Wage sudah memasuki kadipaten Sukorame.Informasi tentang Adipati Witono yang dipenjara oleh seorang pendekar muda menyebar dengan cepat. Para pedagang dari luar yang sebelumnya enggan berdagang karena penerapan pajak besar, akhirnya kembali berdagang di kadipaten yang terkenal sebagai sentra perdagangan tersebut.Kedatangan rombongan Senopati Wage yang terkenal sebagai panglima perang andalan kerajaan Pamenang sontak menjadi perhatian warga. Mereka tentunya bertanya-tanya, ada hal apakah sehingga pejabat kerajaan yang terkenal tersebut sampai datang ke kota mereka? Karena biasanya yang datang hanya pejabat rendah.Kasak kusuk pun terjadi, banyak yang mengaitkannya dengan kejadian 7 hari lalu dengan dipenjaranya Adipati Witono dan pejabat Sora oleh seorang pemuda.Lindu Aji yang mendapat kabar kedatangan Senopati Wage langsung bergegas menuju pintu gerbang untuk menyamb

  • PEWARIS BAYANGAN TERAKHIR    Hukuman

    Pemilik warung makan tersenyum lebar melihat Lindu Aji masuk melewati pintu.  "Mau makan di sini atau dibungkus seperti kemarin?""Makan di sini saja, Paman, tolong buatkan satu porsi ayam panggang," balas Lindu Aji seraya mengedarkan pandangannya. Tidak terlihat satupun pengunjung di dalam warung tersebut."Siap ... ditunggu sebentar, ya!""Santai saja, Paman. Aku juga tidak terburu-buru," balas Lindu Aji, kemudian bersiul sekenanya. Simponi tidak beraturan dia keluarkan dari bibirnya yang sedikit dikerucutkan.Tak berapa lama, pesanan ayam panggang sudah terhidang di mejanya. Bau khas ayam panggang langsung membuat perutnya keroncongan. Tanpa pikir panjang lagi dia langsung menyantap makanan di depannya.Di saat dirinya sedang menikmati makannya, suaea derap derai kaki kuda terdengar membelah jalanan di depan warung. Lindu Aji langsung menolehkan kepalanya untuk melihat siapa yang sedang lewat. Tanpa sengaja sekilas matanya melihat lamb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status