Dikurung begitu banyak orang tidak membuat Lindu Aji gugup. Setidaknya dia mempunyai pengalaman dikeroyok puluhan bahkan ratusan orang di pulau Santong. "Aku harus secepatnya menghabisi mereka sebelum banyak gadis lagi yang jadi tumbal calon manusia Iblis itu," gumamnya. Belasan orang bersenjatakan pedang langsung memberikan serangan bersama-sama, namun serangan mereka hanya menemui ruang kosong karena Lindu Aji menghilang menggunakan langkah maya. Dia sudah berada di luar lingkaran yang dibuat anggota Perguruan Jiwa Sesat. "Kalian mencari siapa?" Suara Lindu Aji mengagetkan semua anggota Perguruan Jiwa Sesat yang tadi mengurungnya. "Kapan dia melewati kita?" tanya salah seorang dari mereka. Anggota perguruan Jiwa Sesat sedikit tersurut mundur mengetahui lawannya mempunyai kemampuan yang bisa dibilang jauh di atas mereka. "Aku beri kesempatan kepada kalian yang ing
Lindu Aji memandang dengan seksama bangunan di depannya. Tidak ada tulisan atau apapun yang bisa menjelaskan tentang bangunan apakah itu. "Belang, tampaknya kita sekarang berada di belakang atau di samping bangunan ini. Coba kita berputar, siapa tahu ada pintu masuknya?" Si Belang mengangguk lalu berjalan pelan menyusuri sisi bangunan. Tidak berapa lama, Belang menghentikan langkahnya setelah dia melihat lima puluh meter di depan ada pintu gerbang yang dijaga belasan orang. "Kau sembunyi dulu, jangan keluar bila tidak aku panggil!" Si Belang menggeleng pelan. "Jangan membantah, biar aku sendiri dulu yang kesana!" Kali ini belang mengangguk pelan, lalu berjalan menuju semak- semak yang tinggi. Lindu kemudian berjalan dengan santai sambil bersiul kecil mendekati pintu gerbang. Melihat kedatangan seorang pemuda, para penjaga pintu gerbang tersebut dibua
"Terima kasih telah menyelamatkan hidupku, Pendekar. Entah bagaimana nasibku jika pendekar tidak datang menolong saya."Lindu Aji sedikit terkesima dengan kecantikan yang terpancar dari wajah gadis tersebut. Dia kemudian teringat akan Andini yang diselamatkannya di dermaga setahun lalu."Dua kali aku ditemukan dengan gadis cantik pada situasi yang hampir sama. Pertanda apakah ini?" batinnya bertanya-tanya."Bangunlah, aku tidak suka begini. derajat kita sama sebagai sesama manusia." Lindu Aji tersenyum geli. Tidak mungkin juga dia bilang kalau dia anak Dewa."Ayah dan anaknya itupun berdiri. Mereka menunduk tidak berani menatap sosok yang telah menjadi pahlawan bagi mereka."Ayo kita ke sana dulu. Jangan sampai harimauku memakan daging manusia. Bisa-bisa kalau ketagihan nanti aku yang dimakan." Lindu Aji meringis ngeri.Mereka bertiga pun melangkahkan kakinya menuju sesosok harimau besar yang sedang menjilati kukunya penuh dengan
keesokan paginya ..."Eyang, nanti aku akan ke sana dengan Belang saja. Aku mau menikmati perjalanan. Kalau dengan Eyang hanya terlihat awan dan pepohonan saja dari atas. Belum lagi mata perih kalau terbang," kata Lindu Aji ketika Ki Damarjati mengajaknya berangkat."Memangnya kamu tahu jalannya?" tanya Ki Damarjati."Tidak, Eyang. Tapi nanti aku bisa bertanya kepada orang di jalan. Kata pepatah malu bertanya sesat di jalan, bukankah begitu?" Lindu Aji tertawa pelan."Baiklah kalau begitu, ini ada uang buat bekal di jalan," ujar Ki Damarjati sambil menyerahkan sekantung koin emas.Lindu Aji meraih kantong yang terbuat dari kain itu dari tangan eyangnya."Eyang berangkat sekarang, Lindu. Segera menyusul Eyang.""Baik, Eyang," balas Lindu Aji.Ki Damarjati kemudian keluar dari goa dan terbang menuju istana kerajaan Pamenang.Selepas kepergian eyangnya, Lindu Aji langsung menemui si Belang yang lagi malas-
Sudah sadarnya Lindu Aji sudah tentu membuat Ki Damarjati senang. Begitu pula si Belang yang bahkan tidak ingin jauh dari pemuda yang menjadi temannya selama 17 tahun terakhir itu."Apa saja yang sudah kau pelajari dari ayahmu, Lindu?" Ki Damarjati menatap cucunya yang terlihat jauh berbeda auranya. Luka-lukanya pun hilang dengan sendirinya."Ayah mengajarkan ilmu Guntur Membelah Bumi, Eyang.""Guntur Membelah Bumi? Apakah kamu mau menunjukkan kepada Eyang?" Ki Damarjati antusias ingin melihat kemampuan baru cucu angkatnya itu."Bukannya Lindu tidak mau, Eyang, tapi ayah mengatakan kalau ilmu ini khusus untuk menghadapi manusia Iblis nanti. Dan juga kalau aku mempraktekannya, yang ada hanya kehancuran, Eyang." Lindu Aji tersenyum melihat raut penasaran di wajah kakeknya. "Waktu di sana, Lindu menghancurkan gunung yang besarnya hampir tiga kali lipat dari gunung yang kita tempati ini. Padahal Lindu hanya mengeluarkan kekuatan sebesar sepuluh persen
Sementara itu, pelatihan yang dilakukan Lindu Aji sudah hampir mencapai akhir. Dan kali ini Lindu Aji harus benar-benar fokus jika tidak ingin berakhir dengan kegagalan. "Untuk tahap yang yang terakhir ini paling sulit dari semua tahapan Anakku. Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan tahapan terakhir ini, maka semua pelatihan yang kamu jalani setahun ini akan sia-sia. Pelatihan yang terakhir ini adalah pengikat semua ilmu yang telah kau pelajari. Apa kamu sudah siap, Nak?" "Aku siap, Ayah." Lindu Aji menjawab tanpa keraguan. "Baiklah, sekarang ikut Ayah." Lindu Aji berjalan mengikuti ayahnya menuju sebuah tempat yang menurutnya sangat berbeda dengan semua tempat yang pernah didatanginya di alam Dewa. Di tempat tersebut matahari berjumlah 7. Pencahayaan juga sangat terang menyilaukan mata. Panas dan debu yang pekat membuat tempat tersebut bagaikan miniatur Neraka. Lindu Aji berkeringat luar biasa d