Pengemudi mobil sport itu turun dari mobilnya lalu berjalan mendekati Kaisar dengan tatapan kebenciannya. Dia adalah Bastian keponakan Abraham, anak dari adik pertama Abraham bernama Lionel.
“Kamu pasti kesini karena tau ada pembacaan surat wasiat, kan? Kamu nggak akan dapat sepeserpun, jangan mimpi. Kamu hanya anak pungut dan sudah dibuang oleh pamanku.”
Kaisar hanya diam dan tidak membalas penghinaan itu. Dia tidak ingin mencari keributan disaat suasana duka seperti itu.
“Aku sarankan kau pergi dari sini! Dan jangan pernah kembali lagi! Paman sudah mati dan tidak ada lagi yang bisa menerima kehadiranmu di sini sebelum kau diusir paksa oleh ayahku, paman dan bibiku yang lainnya.”
Bastian lalu meninggalkan Kaisar yang masih tidak membalas satupun perkataannya. Lelaki yang seumuran dengannya itu kembali menaiki mobil sportnya lalu melajukannya dengan kencang memasuki gerbang utama kediaman mendiang sang paman.
Kaisar hanya menatap dingin kepergian Bastian.
Tak lama, sebuah mobil mewah lain berhenti di samping Kaisar. Seorang pria paruh baya turun dari mobil, dan membungkuk dengan hormat kepadanya. Pria yang dikenali Kaisar sebagai pengacara ayah angkatnya.
“Tuan muda…” ujarnya dengan nada rendah penuh penghormatan.
Kaisar mengangguk sekilas, dan memberikan isyarat padanya untuk masuk terlebih dahulu.
Di dalam rumah mewah yang bak istana itu sudah berkumpul semua anggota keluarga Abraham. Tiga adik Abraham, beserta seluruh keponakannya termasuk Bastian juga sudah berada di sana. Elena yang berada di sana sejak tadi diam saja. Dia masih berduka atas kematian ayahnya. Mereka semua tengah menunggu kedatangan Pengacara untuk mengumumkan surat wasiat dari Abraham dengan wajah tegang dan gelisah.
Lionel–adik pertama Abraham, menatap kedua adiknya yang lain, lalu bicara pada mereka. “Elena tidak pantas menjadi pewaris. Meskipun, dia anak Kak Abraham satu-satunya. Tapi dia seorang perempuan.” Dia melanjutkan lagi dengan senyumannya yang licik. “Jika Kak Abraham memintaku untuk mengurus semua harta peninggalannya dan menjadi wali Elena, kalian berdua harus menerimanya. Karena bagaimanapun akulah pengganti Abraham yang paling dituakan sekarang. Dan akulah yang pantas untuk mengurus semua peningalannya dan menjadi wali Elena.”
Mason–adik kedua Abraham panas mendengarnya. “Kakak jangan terlalu percaya diri dulu,” protes Mason. “Yang paling cerdas dan pintar diantara kita bertiga adalah aku. Setiap ada masalah di perusahaan, Kak Abraham sering bertanya padaku dan akulah yang sering memberinya solusi. Jadi sudah pasti aku yang akan ditunjuk untuk menjadi Wali Elena.”
Lili–adik bungsu Abraham, tertawa. “Kak Abraham tidak akan mungkin menunjuk kalian berdua! Aku perempuan dan aku yang pantas menjadi wali Elena. Bukankah selama ini Elena yang paling dekat denganku? Dan aku sudah menjadi pengganti ibunya?”
Elena yang sedari tadi hanya diam dan tidak menanggapi perdebatan mereka sama sekali akhirnya berdiri karena kesal melihat tingkah lalu paman dan bibinya.
“Mau kemana kamu?” tanya Lionel pada Elena. “Kembali duduk. Sebentar lagi pengacara datang untuk mengumumkan surat wasiatnya dan kamu harus mendengarnya.”
Elena akhirnya terpaksa duduk lagi dengan menahan rasa kesalnya.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai pengacara dari Abraham masuk. Ia disambut dengan sambutan hangat yang penuh kepura-puraan. Dia melihat ke semua orang yang hadir, kemudian bertanya, “Ada yang belum hadir, ya?”
Semua orang saling menoleh, dan terlihat bingung, karena semua keluarga Abraham sudah ada di ruangan. Namun pengacara Abraham kembali berkata, “Saya akan membacakan surat wasiatnya jika semuanya sudah hadir.”
Lionel menatap pengacara itu lalu bicara padanya. “Seluruh anggota keluarga mendiang kakak saya sudah berada di sini, tidak ada lagi yang perlu ditunggu.”
Belum sempat pengacara Abraham menjawab pertanyaan Lionel, sesosok pria dengan pakaian kasualnya datang, membuat semua orang yang hadir terperangah.
“Anak pungut! Apa yang kau lakukan di sini!” seru Bastian.
Kaisar terdiam lalu menatap pengacara mendiang ayah angkatnya.
“Kalau ingin melayat, jangan ke sini,” tambah Mason. “Pergilah ke makam kakakku!”
“Apa kau mengira kau akan mendapatkan bagian dari warisan Kak Abraham? Jangan berharap. Kau hanya anak pungut di keluarga ini!” tambah Lili.
Kaisar masih tidak mengatakan apapun.
“Dia tercatat menjadi bagian dari keluarga ini,” sergah pengacara Abraham hingga membuat semuanya terdiam.
“Kau jangan mengada-ada!” protes Lionel.
“Biarkan sajalah dia di sini,” ujar Lili sambil mengibaskan tangannya. Supaya pengacara itu segera membacakan surat wasiatnya. “Lagipula, dia tak akan mendapatkan apapun dari Kak Abraham. Sekarang mari kita dengarkan surat wasiatnya.” Lili menoleh pada pengacara itu kemudian bicara padanya. “Silakan, Pak.”
Pengacara Abraham berdehem, lalu berujar, “Baiklah.” Dia mulai membacakan semua isi yang ada dalam surat wasiat Abraham. Termasuk detail rinci mengenai seluruh kekayaan Abraham.
Dan semua orang terperangah ketika pengacara Abraham membacakan bagian kalimat, “Saya, dengan ini mewariskan seluruh harta kekayaan saya, kepada satu-satunya putra kandung saya. Kaisar Putra Abraham.”
Keheningan malam terpecah oleh suara gemuruh di sekitar villa yang terpencil. Tentara-tentara setia menjaga pos mereka dengan teliti, meraba setiap bayangan yang melintas di bawah sinar bulan. Namun, kehadiran yang tak diundang telah menyusup, mengubah ketenangan menjadi kekacauan.Tiba-tiba, suara keras membelah udara. "Ada penyusup!" teriak salah satu tentara yang berjaga, memecah kesunyian malam. Serentak, rekan-rekannya bersiap, senjata teracung, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Namun, di sisi lain bangunan villa, Jenderal Kaisar merasa jantungnya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tembok batu, menatap kegelapan dengan mata tajamnya. Pikirannya berputar, mencari cara terbaik untuk melindungi diri terlebih dahulu karena ada sebuah rencana yang akan dia lakukan untuk Jenderal Paul.Sementara itu, Damian merasakan getaran tegang melintas di udara. Bersama pasukannya, ia merapatkan barisan, menunggu tanda untuk bertindak. Mereka telah menunggu saat ini dengan sabar, d
Debi dan Nadi merunduk di balik semak-semak, mata mereka terfokus pada villa yang terletak di tengah hutan. Suara angin sepoi-sepoi berbisik di antara pepohonan, menciptakan atmosfer ketegangan yang mendalam."Tidak lama lagi, Nadi," bisik Debi, matanya tetap terjaga untuk melihat setiap perubahan di sekitar mereka.Nadi mengangguk, tangannya menggenggam erat panah di busurnya. "Kita harus siap. Jenderal Kaisar pasti tidak akan lagi Jenderal Kaisar akan tiba ke sini.”Tiba-tiba, ponsel Debi memecah keheningan. Dia menarik keluar perangkatnya dan melihat panggilan masuk dari Jenderal Kaisar. "Ini dia," gumamnya, menjawab panggilan dengan hati-hati."Debi," suara berat Jenderal Kaisar terdengar di seberang sana, "bagaimana situasinya?"Debi menatap layar ponselnya, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. "Situasi masih aman, Jenderal. Kami masih di luar villa. Jenderal Paul masih di dalam."Jenderal Kaisar menghela nafas, suaranya penuh dengan ketenangan. "Dia tidak akan bisa bersem
Jenderal Paul keluar dari ruang kerjanya dengan langkah mantap, diikuti oleh dua ajudannya yang selalu setia mendampinginya. Sambil menghubungi pengurus villa melalui ponselnya, dia tersenyum, "Saya akan ke sana, mohon persiapkan segalanya karena saya ingin bersantai di sana."Pengurus villa dengan sigap menjawab, "Baik, Tuan Jenderal. Kami akan menyiapkan semuanya segera."Saat Jenderal Paul dan ajudannya tiba di depan lobby, seorang petugas pengamanan membuka pintu mobil, memberi hormat sambil memberikan salam. Jenderal Paul, yang senantiasa rendah hati, menyapa kembali. Bersama dengan dua ajudannya, mereka naik ke dalam mobil yang telah disiapkan dengan rapi di depan pintu.Mobil bergerak lancar melalui gerbang menuju arah villa. Jenderal Paul melihat sekelilingnya dengan senyuman tenang. Pemandangan pegunungan yang hijau dan langit biru yang cerah memberikan kontras yang memukau.Jenderal Paul memutar kepala ke arah sopir, "Mengantar ke Villa, Pak."Supir mengangguk mengiyakan dan
Dinginnya udara malam menyambut kedatangan Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya di bandara negara Taruma. Mereka menyamar sebagai warga biasa, menyelinap masuk tanpa menimbulkan kecurigaan sekalipun. Langkah mereka seolah-olah tidak meninggalkan jejak, tetapi kenyataannya, perjalanan mereka penuh perhitungan dan ketenangan.Sesaat setelah melewati pintu kedatangan, suasana kembali normal. Para penumpang berhamburan menuju bagian keluar bandara dengan perasaan lega. Kaisar memandang sekeliling dengan tatapan tajam, memastikan bahwa mereka berhasil meloloskan diri tanpa terdeteksi.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terguncang saat seorang petugas keamanan memanggil mereka dari kejauhan. "Tunggu!" seru petugas tersebut sambil melambaikan tangan.Kaisar, Damian, Rudi, Nadi, dan pasukan khususnya memandang satu sama lain dengan raut wajah tegang. Mereka bergerak menuju petugas dengan langkah hati-hati. Petugas tersebut tampak serius, sambil memegang sebuah jam tangan.Kaisar yan
Kaisar duduk di kursi belakang mobil mewahnya, tangan kanannya menekan erat-erat ponsel pintarnya sementara supir setia dan ajudan pribadinya mengemudi dengan hati-hati melalui jalanan yang ramai di ibu kota New Taraka. Kaisar berbicara dengan serius, "Yusa, saya dan tim akan segera tiba di negara Taruma. Pastikan semuanya siap dan awasi bandara serta jalanan menuju rumah rahasia. Laporkan segera jika ada kejanggalan."Yusa, seorang agen rahasia yang bertanggung jawab atas keamanan Kaisar, menjawab, "Baik, Jenderal Kaisar. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar dan aman. Semoga perjalanan Anda sampai di sini tanpa hambatan."Dengan tekad bulat, Kaisar menambahkan, "Saya tahu risikonya tinggi, tetapi ini adalah langkah yang harus kita ambil."Yusa mengangguk seraya menyampaikan doanya, "Kami akan berdoa untuk keselamatan Jenderal dan seluruh tim. Semoga misi ini berhasil tanpa ada korban jiwa."Setelah menutup teleponnya, Yusa segera memberitahu tim agennya yang sedang berkumpul
Dalam keheningan kediaman sewaannya di negara Taruma, Yusa merogoh kantongnya untuk mengambil sebuah alat komunikasi. Dengan gerakan cepat, dia menekan beberapa tombol dan menunggu sambungan.Jenderal Kaisar duduk di ruang komandonya yang megah. Ketika teleponnya berdering, dia segera mengangkatnya dengan penuh kehati-hatian."Halo," sapanya tegas, menandakan kesiapan untuk menerima laporan apa pun.Yusa, dengan napasnya yang cepat, memberikan laporan pada Jenderal Kaisar, "Jenderal, kami telah menemukan jejak Jenderal Paul. Kami memetakan tempat-tempat yang sering dia kunjungi."Jenderal Kaisar menahan nafasnya sejenak, matanya berbinar dalam sorot cahaya lampu ruangan yang redup. "Bagus. Bagaimana kondisinya?"Yusa menjawab dengan tegas, "Kami sudah siap untuk melanjutkan rencana berikutnya, Jenderal. Kami hanya menunggu arahan dari Anda."Jenderal Kaisar menarik napas lega, melihat kesempatan untuk mengakhiri ancaman yang disebabkan oleh Jenderal Paul."Segera kirimkan lokasi-lokas