Satu minggu jelang kepulangannya ke Indonesia, Katon sudah mulai mempersiapkan diri. Saat akan membeli tiket, Morgan mendesakkan sesuatu padanya. Sebuah ide cemerlang, menurut Morgan. Bahwa ia harus ikut Katon ke Indonesia untuk mengawal sahabatnya.
Saat itu mereka berdua sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di New York. Di sebuah toko khusus peralatan olahraga. Keduanya berdiri di depan layanan pembayaran untuk membeli drysuit, masker diving dan regulator diving yang baru pesanan Katon. Pria ini baru saja berbelanja keperluan scuba diving yang terbaru setelah drysuit lamanya terkoyak karena tertusuk terumbu karang ketika ia menyelam di Great Barrier Reef, di pesisir timur laut Australia beberapa bulan lalu.
“Kau. Mengawalku?” tanya Katon dengan wajah heran dan menunjuk dada Morgan maupun dadanya secara bergantian. Morgan mengangguk dengan mantap. Kedua tangannya yang berkacak pinggang makin menguatkan aura marinir atau bodyguard. Mereka berbicara seolah hanya berdua di ruangan tersebut, mengabaikan petugas kasir yang memindai barang belanjaan Katon sambil mengulum senyumnya.
“Biar kukatakan sekali lagi. Kau. Mengawalku??” ulang Katon sinis.
“Ya!” tukas Morgan tegas. Katon mengerutkan kedua alisnya. Lalu ia mulai membuka mulut.
“Saint Louis, Missouri. Aku yang menyelamatkan kepalamu dari Malcom. Detroit, Michigan. Semenit saja aku terlambat datang, kau tidak akan punya keturunan, Morg ….”
“Oh, shut up Katon! Lupakan Amerika ….”
“Lupakan Amerika katamu? Oke. Tokyo, dua tahun lalu, siapa yang membebaskan pantatmu dari Katana Kenji Kazuo? Saat terjadi pertempuran antar geng narkoba Amigos dos Amigos di Rio de Janeiro, tidak ada siapa-siapa di sisimu. Hanya aku ….”
“Maksudku, ajak aku ke Jakarta, kau belum pernah menyelamatkan aku di kota itu, sialan!” maki Morgan sebal.
Katon terbahak melihat wajah memberengut Morgan yang imut, tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Ditambah lagi sedemikian cepat ia merubah alasan makin membuat Katon geli.
“Oh, tutup mulut, Katon! Mana Buoyancy Compensation Device-mu? Kau tidak membelinya?” Morgan berusaha mengalihkan pembicaraan agar Katon tidak terus mentertawakannya.
“Sudah di sini, Sir. Saya akan masukkan dalam tagihan sekalian,” kata petugas kasir sambil menunjukkan BCD jaket Katon yang baru.
“Oke, jujur sekarang. Kenapa ingin ikut ke Jakarta? Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Katon setelah menyelesaikan tawanya yang panjang.
“Menurutmu, apa yang terjadi dengan pekerjaanku selagi aku menguntitmu terus beberapa hari belakangan ini? Lagi pula, aku ingin bertemu Rosie. Sudah lama aku tidak melihatnya,” jawab Morgan malu-malu. Katon ternganga, pikirannya berputar berusaha mencerna kalimat jawaban Morgan. Pekerjaan Morgan tidak perlu dikhawatirkan, paling memungkinkan pria itu kehilangan pekerjaan lagi untuk kali sekian. Katon lebih fokus pada kalimat kedua, sedetik kemudian ia meraung.
“Ooh, tidak, tidak, tidak. Kamu TIDAK BOLEH!” kata Katon garang, mengenali kalau sahabatnya mungkin menyukai Rose. Membayangkan saja sudah membuat perut Katon mulas.
“Kau pikir aku akan melakukan apa?” tanya Morgan sambil mengangkat satu alis seperti kebiasaannya jika berdebat dengan Katon.
“Malas aku membayangkannya! Pedekate, nembak? Ough! Pokoknya tidak!” seru Katon sambil bergidik. Morgan tergelak.
“C’mon! Little Rose bagaikan adik untukku.”
“Yeah, yang benar saja!” cibir Katon.
“Ayolah Katon, kau pikir aku berani macam-macam dengan wanita-wanita Anindito Collins? Sebelum kau maju, aku mungkin tinggal nama di tangan Uncle Satria,” kata Morgan pelan. Katon tertawa keras. Terpaksa mengakui kalau kalimat Morgan benar. Dan, mendadak Katon sangat merindukan Papanya.
Tapi pada akhirnya Katon meluluskan dan membeli dua tiket untuknya dan Morgan yang begitu bahagia, akhirnya bisa mengunjungi Indonesia yang terkenal indah.
Namun, masalah justru timbul hanya beberapa hari menjelang keberangkatan mereka ke Indonesia. Katon mendapat surat panggilan kepolisian untuk kerusuhan gangster yang terjadi di Brooklyn, beberapa hari sebelumnya.
“Sangat tidak masuk akal!” desis Morgan yang sudah tiba di apartemen Katon dan membaca surat panggilan itu.
“Apakah kau sudah mengurus atasan Alice dengan benar, Morg?” tanya Katon tanpa nada menghakimi. Ia duduk di sofa ruang tamu dan menatap ke arah Morgan yang berdiri sambil membaca surat panggilan kepolisian itu.
“Tentu saja! Kau lihat sendiri, bukan? Aku berikan kartu namamu, aku pastikan dia paham bahwa kau bersedia mengganti semua kerusakan yang timbul!” jawab Morgan nyaris tidak bisa menyembunyikan emosinya. Tangannya melambai-lambai selama ia berbicara.
“Kartu nama yang mana?” tanya Katon pelan, kedua tangannya bertaut di atas kedua kaki yang terbuka. Morgan diam sesaat. Katon tentu saja memiliki dua kartu nama. Salah satunya menunjukkan bahwa dia adalah salah satu pemegang saham di Growth Enterprise Company, perusahaan papanya.
“Kartu nama pribadimu, Ton. Yang tidak ada jejak Anindito maupun Collins!” desis Morgan memastikan.
Katon memang memiliki nama Katon Lanang Tenan dari lahir hingga ia berusia lima tahun. Nama itu adalah nama pemberian mamanya yang membawa lari Katon semenjak ia masih janin dalam kandungan karena Arini—mama Katon, khawatir dengan gaya hidup Satria—papa Katon, akan membahayakan janin yang dikandungnya. Setelah usia lima tahun, barulah Katon mendapat tambahan “Anindito” di belakang namanya. Dan baru saat usia dewasa, atau 17 tahun. Katon memutuskan membawa nama marga keluarga “Collins” di belakang namanya.
“Ok, then.” respon Katon biasa saja. Morgan kembali meneruskan membaca surat panggilan kepolisian tersebut termasuk alasannya.
Departemen Kepolisian New York telah menangkap 10 anggota geng terkenal di Queens, yang dianggap sebagai kota "paling berbahaya". Penangkapan dilakukan sehubungan dengan pengrusakan dan kerusuhan yang terjadi di Brooklyn Blend, beberapa malam sebelumnya. Diduga akibat perseteruan antara dua geng Crips di Woodside dan Queens lah yang menimbulkan perpecahan ketegangan di Brooklyn, yang justru berada di luar area kedua gangster. Anehnya, hanya Katon yang menerima panggilan. Sedangkan Morgan yang berkelahi bersama Katon, tidak mendapatkannya.
“Kurasa kau perlu bantuan Stuart,” kata Morgan sambil meletakkan surat panggilan itu di atas meja. Katon mendengus dan memalingkan wajah.
“Yeah, lalu dia akan tahu kalau kita berencana ke Indonesia, dan dia akan meminta ikut. Aku harus membawa dua moron. Bagus sekali, Morg,” omel Katon. Kali ini Morgan yang mendengus tertawa.
“Hei, pesta yang baik hanya bisa diwujudkan jika banyak orang di dalamnya, bukan?” ujarnya geli.
“Tidak, terima kasih. Aku pulang untuk bekerja, bukan berpesta!” tukas Katon. Ia berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Kau pulang untuk berlibur. Kerjamu justru di luar Indonesia, Katon.” Morgan menyandarkan tubuhnya ke sofa dan berkata arogan. “Mau aku panggilkan Stuart?”
“Tidak. Dia pulang ke Yorkshire beberapa hari lalu dan mungkin akan tetap di sana untuk beberapa minggu.” Katon berkata sedikit keras karena dia mulai meninggalkan Morgan dan masuk ke kamar tidurnya.
Meskipun Morgan bisa saja mengikuti masuk, tapi pria besar itu memberikan ruang yang cukup untuk Katon memikirkan sarannya. Morgan memilih untuk bertahan di kamar yang memang disediakan Katon di dalam apartemennya sebagai kamar hiburan. Di sana ada satu dinding yang dipenuhi buku, karena Katon suka membaca. Di tengah ruangan ada meja bilyard, tempat Katon menghabiskan waktu bersama teman-temannya jika berkumpul. Di sisi yang berbeda dari jajaran buku, ada televisi layar datar cukup besar dan ditemani dengan home theatre lengkap yang siap menyajikan film ala bioskop mini.
Morgan memilih di sini dan membaca salah satu buku koleksi Katon sampai dia ketiduran di atas sofa model Chesterfield berlapis kulit berwarna gelap.
Di luar apartemen Katon.
Dalam kegelapan malam yang mendalam, sebuah keheningan menyebar di sekitar apartemen yang terletak di jantung kota. Cahaya gemerlap kota mulai memudar saat langit tertutup awan gelap, menciptakan atmosfer yang terasa mencekam. Tersembunyi di balik bayangan gedung-gedung pencakar langit, gerombolan gangster yang berasimilasi dengan geng Brad, bertekad menyerang apartemen Katon, membalaskan dendam kawan-kawannya.
Dengan hati-hati, para gangster merangsek masuk melalui pintu belakang yang terkunci rapat. Jelas mereka bekerjasama dengan staff keamanan apartemen, karena salah satu gangster dengan mudah membuka pintu terkunci itu menggunakan kartu akses.
Mereka melintasi lorong gelap, langkah mereka terdengar samar-samar di antara suara gemericik air dari sebuah kolam renang pribadi yang berada di tengah-tengah kompleks apartemen. Sejenak, mereka terhenti, merasakan ketegangan di udara yang semakin menebal.
Seketika, pintu gerbang apartemen meluncur terbuka dengan cepat, memperlihatkan seorang pria misterius yang berdiri di baliknya. Dalam kegelapan, wajahnya tak terlihat, hanya bayangan yang menakutkan. Benar saja, salah seorang staff keamanan apartemen keluar dari dalam gedung dan menghampiri gerombolan itu. Ia membukakan pintu akses masuk ke gedung bahkan menunjukkan jalur-jalur alternatif selain lift. Ada dua tangga darurat di masing-masing sisi gedung dan sekarang kelompok gangster terpecah menjadi dua lalu menyebar mulai menuju ke lantai lebih tinggi, tempat unit apartemen Katon Lanang Tenan berada.
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh