Share

POEDJAN
POEDJAN
Penulis: DIEMOND

PROLOG - KALUWARGA

Meski selalu menampakkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian, sebenarnya Mustika selalu menjadi istri yang pemerhati. Seperti ketika ia memerhatikan suaminya yang belakang ini jarang pulang ke rumah, bisa berhari-hari atau berminggu-minggu. Alasannya sederhana; suaminya kelewat sibuk menjadi reporter dadakan demi sebuah percetakan surat kabar yang dipercayakan oleh atasannya yang telah lama meninggal. Mustika tidak pernah curiga, terlebih karena sahabat suaminya selalu memiliki alibi yang sama dengan suaminya ketika suaminya tidak sempat setor wajah ke rumah.

“Nina! Mari, makan dulu!” Mustika membelah kesunyian malam selepas maghrib. Sajian sudah lebih dulu hadir di antara meja panjang yang terbuat dari kayu jati. Ada beberapa menu yang mengepul asap putih bergulung-gulung, sebagian lagi asap yang sama namun terlihat memencar lantaran makanan yang dingin–eskrim. Dihampirinya anak gadis yang tengah menumpuk boneka-bonekanya di depan duduknya yang bersila.

Manik cokelat terang milik Nina memantulkan cahaya remang dari lampu dinding di ruang tengah. Wajahnya tak menunjukkan riang, bahkan ketika ia bermain dengan boneka. “Bolehlah Ibu menyantapnya sendiri bila Ayah tak berhadap-hadapan dengan Nina.”

Mustika paham betul kerinduan yang tak mampu diungkapkan Nina yang masih sulit menyuarakan perasaannya. Mustika berkali-kali membicarakan hal ini pada suaminya, tapi suaminya tidak benar-benar menimpalinya dengan sebuah niat untuk menyenangkan anaknya. Untuk itu, Mustika berjongkok di sebelah anaknya yang masih melekat matanya dengan figur Mustika yang mendekat. “Apakah Nina tahu ... bahwa Ayah terletih-letih badannya untuk kita? Demi makan yang berjajar di meja dan ranjang yang dihiaskan kelambu?”

Nina menekuk ujung bibirnya ke bawah, dagunya ia naikkan. “Baiklah...”

Nina sendiri adalah anak yang tak banyak minta untuk umurnya yang masih enam. Kadang, Mustika merasa resah dengan kepatuhan anaknya, takut jika anaknya mengemban banyak pinta tapi mencoba untuk jadi anak yang perhatian. Makanya, Mustika berusaha untuk menjadi seorang ibu yang mampu meraba perasaan anaknya dengan baik, meski kadang dugaannya salah.

Makan malam kali ini dilakukan dengan nikmat dan khidmat berdua. Sayangnya, suasana terlalu sepi hingga sahut alat makan yang terbuat dari kuningan yang beradu dengan piring porselen dari Inggris terdengar nyaring dan menggema. Sampai lewat jam malamnya, Nina masih enggan beranjak dari meja makan untuk menunggu ayahnya hadir bersamanya, berhadap-hadapan. Mustika hanya bisa menepuk punggung anaknya sampai ia ketiduran di atas meja makan, lalu mengangkatnya pelan-pelan sampai kamar tidur.

Mustika berkali-kali membuka tirai jendela untuk memvalidasi kemungkinan bahwa suaminya akan datang meski sudah lewat tengah malam begini. Setelah waktu yang tak ia sadari, ia sudah tertidur di depan perapian dengan memeluk dirinya sendiri diatas sofa, menunggu suaminya pulang.

Sebenarnya, Mustika adalah sebaik-baiknya wanita yang pernah diciptakan Tuhan di dunia. Perhatiannya penuh pada sekitarnya, sampai ia lupa untuk menjadi seorang wanita yang membahagiakan diri sendiri. Seperti ketika ia memperhatikan bau dupa yang akhir-akhir ini tercium di balik jas suaminya setelah sekian lama tidak. Mustika sering sekali menghirup wangi dupa menyengat di antara peluh yang menempel di jas Dedeng ketika ia mengandung anak pertamanya. Namun setelah anaknya lahir, bau itu hilang menjadi sebuah wewangian khas negara barat seperti kayu cendana. Itulah mengapa, Mustika tidak begitu terkejut mencium bau yang menyengatnya hingga esok pagi meski jas tersebut sudah dicuci dengan deterjen termahal yang Mustika pernah temui di penjuru Batavia. Dahulu, Dedeng bilang bau itu adalah wewangian agar bayi dalam kandungannya tumbuh menjadi bayi yang sehat dan tenang. Mustika tidak benar-benar percaya, tapi setidaknya salah satu embanan tugas seorang istri adalah untuk menuruti suami dalam nama kebaikan, maka Mustika mengiyakannya dan mencoba untuk berpikir bahwa suaminya hanya ingin yang terbaik untuknya dan buah hati.

Malam itu agak berbeda dengan malam biasanya di mana bau dupa berbau manis hadir di sela-sela bau ruangan. Persis malam itu, bau dupa tercium jauh lebih menyengat dan bahkan berbau agak berbeda ketika Dedeng tiba-tiba pulang setelah sehari sebelumnya tak pulang ke rumah. Bau dupanya persis seperti sebuah kayu yang diberikan minyak yang menusuk hidung hingga Mustika sendiri hampir bersin karena wanginya.

“Kang, Akang bilang hendak menginap di kantor?” Mustika berjalan menuruni tangga dan berhenti di salah satu anak tangga yang memiliki dua cabang di kanan-kiri setelah sebelumnya ia sempat mengintip di balik jendela kamarnya sebuah mobil mulus Ford Model A mendekat dari gerbang rumahnya yang luas. Matanya masih setengah mengatup lantaran ia terbangun dengan suara gerbang yang terbuka. Bahkan, perapian yang sempat menghangatkan dirinya sudah tinggal abunya saja.

“Ternyata Akang sudah selesai dari pekerjaan." Hanya begitu jawaban suaminya sebelum membuka jas kerjanya dan menarik dasinya untuk sedikit memberikan ruang pada lehernya yang tegang. Beberapa hari belakangan ada kasus kematian yang penyebabnya simpang siur. Akhirnya, polisi mengizinkan surat kabar Dedeng untuk bekerjasama menumpas kasus yang kelewat misterius ini.

Mustika dengan sigap mengambil alih jas hitam milik suaminya, dari situlah ia mencium bau dupa dicampur dengan bau apak keringat yang sudah menyerap di sekitar kerah jas. “Kang, parantos tuang? Mau saya siapkan makan malam?”

“Tidak perlu. Akang tadi makan bersama rekan kantor. Akang langsung mandi dan istirahat saja.”

“Jika begitu– saya siapkan handuk dan baju tidur untuk Akang. Akang berbasuh saja dulu.” Mustika melemparkan senyum tipis pada suaminya yang terlihat lunglai gerakannya. Diikutinya langkah suaminya dari belakang dengan tangan yang menggulung jas suaminya. Ada sekelebat rasa ragu sebelum ia menarik napas untuk bicara pada suaminya, namun ia bertekad untuk menanyakan hal ini sekali lagi saja pada suaminya yang terlihat tidak peduli. “Neng ... berjanji membawa Nina pergi liburan pekan ini, Kang. Apa tidak apa?”

Dedeng berhenti melangkah di anak tangga terakhir. Tanpa berbalik, ia menjawab, “Tentu saja.”

“Dengan Akang.”

Dedeng berbalik, menoleh ke arah istrinya yang harap-harap cemas ketika tubuhnya digerakkan ke belakang. Dari raut yang dipantulkan oleh Dedeng saja, Mustika tahu bahwa suaminya mungkin akan menolak permintannya. Namun alih-alih kembali berdalih untuk menolak, Dedeng tersenyum melihat lembut wajah kekasihnya yang putus asa. Dedeng menyusul kekasihnya yang ada di belakang, menggandeng tangannya sambil mengelus punggung istrinya pelan-pelan. “Akang coba, ya? Neng kenal betul pekerjaan ini tak mudah, Neng. Selalu bertebaran kabar burung yang harus diperindah di kantor.”

Rasa cinta Mustika tidak pernah digantungkan selama ini. Dedeng selalu bisa memuaskan rasa cinta Mustika dengan kata-katanya, dengan sentuhannya, bahkan dengan gerak-geriknya. Menurut Mustika, tidak ada yang perlu diragukan dari cinta Dedeng padanya. Perasaan itu masih sangat tercukupi bahkan setelah bertahun-tahun. Selayaknya kehidupan rumah tangga biasa dengan peran mereka masing-masing, bukan? Memang. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari sebuah pernikahan yang telah berjalan sepuluh tahun?

Keluarga kecil Dedeng dibangun ketika keduanya masih bukan apa-apa. Dedeng Koswara dan Denok Mustika adalah anak dari buruh tani di ladang milik Kepala Desa di sebuah desa di Garut. Bedanya, Mustika adalah kembang desa yang digandrungi banyak lelaki. Setiap bulannya, pasti ada saja arak-arakan pelamar yang mampir ke rumah gubuk Mustika. Namun di antara semua orang yang berani melamarnya, hanya Dedeng yang mampu merobohkan keteguhannya sebagai seorang wanita. Tutur kata dan ibadahnya dianggap oleh Mustika mampu menafkahi mereka lahir batin. Ayah Mustika tentu tidak merestui hubungan mereka. Namun, setlah mendengar lantunan ayat saat mereka shalat berjamaah di rumah, Ayah Mustika mengerti kenapa Mustika luluh pada lelaki yang tidak lebih kaya dari keluarganya.

Keduanya bahkan menikah tanpa pesta. Hidup mereka sederhana, bahagia, dan berkecukupan sampai Dedeng tidak pulang selama tiga hari dan mengaku bahwa ia merantau ke Batavia. Katanya, ia bertemu dengan orang-orang sukses dan diangkat sebagai karyawan di sebuah kantor percetakan surat kabar terkemuka di Batavia. Di hari yang sama ketika Mustika tahu ia hamil anak pertama setelah tiga tahun menikah, Dedeng membawa istrinya yang tengah hamil muda itu ke Batavia.

Sudah tujuh tahun semenjak ia diboyong oleh suaminya ke perantauan dan tinggal di sebuah rumah besar yang terbuat dari beton-beton kuat dan penerangan listrik di mana-mana. Dan semenjak itu pula suaminya sering menginap di kantor percetakan yang sekarang sudah resmi menjadi milik suaminya. Kala itu pemilik surat kabar memercayakan seluruh kantor termasuk aset-asetnya kepada Dedeng, seorang karyawan baru yang hanya mengurus mesin cetak. Beberapa minggu kemudian, pemilik itu dikabarkan mengalami kecelakaan dan tewas di tempat.

Sebetulnya, ada kekecewaan dari Mustika lantaran sang kekasih rupanya membawa dirinya ke kota hanya untuk memperjelas keadaan bahwa ia sekarang sudah menjadi istri seorang konglomerat yang tidak lagi beratapkan seng tua bau karat dan kayu-kayu lapuk yang lubang-lubangnya menghembuskan angin malam dari luar. Walau besar kekecewaan yang Mustika rasakan, ia tidak pernah mau mengutarakannya karena mencium peluh Dedeng pada jasnya saja ia tak tega. Meski begitu, Mustika bersyukur bahwa kehadiran anaknya menjadi sebuah anugerah. Setidaknya ia tidak begitu kesepian berada di rumah megah ketika malam tiba (meski banyak dayang-dayang yang suaminya siapkan).

“Apa Nina sudah tidur?” tanya Dedeng sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.

Sambil menyisir rambut dengan sisir sikat di meja kacanya, Mustika menjawab, “Sudah tidur, Kang. Rewel ia karena sangat ingin bertemu dengan Akang selepas bermain dengan kawan-kawannya di serambi.”

“Akang ke kamar Nina sebentar. Kau tidur saja duluan.”

Muhun, Kang.” Mustika sekali lagi menyikat rambut panjangnya yang jatuh sambil tersenyum pada suaminya melalui kaca.

Usai percakapan kecil itu, Dedeng berjalan menuju kamar anaknya, persis di seberang kamarnya dan Mustika. Ia membuka pintu perlahan, memastikan anaknya tidak terbangun karena deritan engsel. Dedeng mengintip, melihat anaknya memeluk sebuah boneka porselen yang ia belikan dua tahun lalu di sebuah toko mainan mahal di Eropa sana.

Semburat kegelisahan terpancar dari wajah Dedeng. Tidak terlihat apa yang dirasakan oleh Dedeng, tapi bibirnya bungkam seiring dengan tubuhnya yang kaku, seolah enggan mendekat pada putrinya sendiri. Jaraknya hanya beberapa langkah dari ranjang, tapi untuk membelah bayang lampu remang-remang di kamar Nina saja Dedeng ogah-ogahan.

Dedeng tengok lagi paras ayu anaknya yang terlihat lebih seperti seorang Olanda daripada pribumi; karunia anak pertama setelah tiga tahun berumah tangga. Helenina Poetri Koesoemahdilaga adalah nama yang diberikan oleh Dedeng yang kebarat-baratan. Pada saat itu, nama khas Belanda cukup populer lantaran nama-nama modern itu cukup menjelaskan status orang tua dari si anak. Dedeng menamakan anaknya Helenina dengan harapan anaknya mampu menunjukkan seberapa ningratnya ia sekarang. Seperti yang telah disebutkan, anak ini memiliki perawakan yang sangat berbeda dari kedua orang tuanya. Kulitnya putih pucat, matanya berwarna cokelat muda, rambutnya sedikit cokelat, dan hidungnya mancung sekali. Berbeda dengan ayah ibunya yang memiliki perawakan khas Indonesia dengan kulit kecokelatan dan rambut hitam legam. Dedeng sendiri tidak mencoba untuk menuduh istrinya selingkuh dengan Olanda seolah tahu apa yang terjadi pada perbedaan fisik anaknya. Lagipula, ia tahu bahwa Mustika bukanlah istri yang gampang goyah dengan cintanya.

Dengan mata yang berusaha untuk tidak membenci anaknya yang terkulai manis di ranjang, Dedeng menutup pintu kamar Nina pelan-pelan dan berjalan kembali ke kamarnya. Cemasnya tak bisa ia lepaskan, namun kebenciannya mungkin bisa ia tahan demi ibu yang mencintai anaknya dengan sangat.

Yang ia tidak tahu, ada sosok kelam dengan perawakan kurus kering di bawah ranjang Nina. Ia tengkurap sambil melihat Dedeng yang sebelumnya memperhatikan anaknya. Matanya kuning menyala, giginya runcing dan senyumannya lebar. Dan saat Dedeng pergi dari kamar itu, tangan dengan jari-jari panjang dan kukunya yang sama panjangnya merentang, disusul dengan kaki-kaki yang mengangkat tubuhnya seperti laba-laba, lalu makhluk itu dengan cepat keluar dari bawah ranjang menuju Helenina yang telah terbelalak sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status