Share

Nakal Boleh, Tapi Jangan Durhaka

Cynthia dan Reno yang gila itupun akhirnya menuntaskan permainannya. Suara ketukan pintu Anggun pun sudah tak didengarnya lagi. Mungkin ia sudah kembali ke lantai atas membereskan pekerjaannya.

"Cyn, kamu lewat sini aja. Aku takut kalau Anggun melihat kamu keluar dari kamar," pinta Reno yang membukakan jendela kamarnya. Cynthia pun langsung bergegas keluar kamar agar Anggun tidak mencurigainya.

"Sayang, kita makan dulu, Yuk. Kamu aku panggil daritadi," celetuk Anggun sambil menyiapkan masakannya di meja makan.

"Maaf, Sayang. Aku lagi di kamar mandi, nggak kedengaran kamu panggil," sahut Reno memeluk Anggun dari belakang dan mencium pipinya.

"Eh, Mas. Nggak enak kalau Cynthia lihat nanti. Dia ke mana ya?" tanya Anggun.

"Aku di sini kok, Anggun."

Cynthia pun datang dari arah luar. Dengan wajah tersipu menatap Reno yang tersenyum tipis padanya. Mata Reno pun terlihat berbinar.

"Ya udah, kita makan, yuk."

Ketiga sahabat itu akhirnya makan bersama. Sudah lama sekali ketiganya tidak seperti ini. Membuat Anggun merindukan masa-masa ini.

Kenakalan Cynthia tidak berhenti. Dia terus menggoda mantan kekasihnya itu bahkan di saat ia makan bertiga. Reno pun menjadi salah tingkah saat Cynthia memainkan kakinya dan menekan bagian vital yang membuat Reno kembali bergairah.

"Mas, kamu mau nambah?" tanya Anggun.,

"Mau bangetlah. Kamu itu enak banget," celetuk Reno membuat Cynthia menahan tawa.

Pikiran Reno yang tidak fokus lagi membuatnya nyaris membongkar aibnya sendiri.

"Maksudku, masakan kamu enak," jawab Reno berusaha tersenyum agar Anggun tidak curiga.

Setelah makan siang, Reno pun memutuskan pergi berpamitan untuk pergi ke kantor.  Saat bersamaan, Cynthia pun pamit pada Anggun untuk mengurus sesuatu dan ia menitipkan anaknya itu sementara bersama Anggun.

"Mas, bisa kan kamu antara Cynthia sekalian?" ucap Anggun.

"Kamu nggak marah, Anggun?" tanya Cynthia.

"Ya nggaklah. Kamu itu kan sahabat baik aku. Nggak mungkinlah kalau aku curiga sama kamu," jawab Anggun.

Akhirnya sesuai rencana, Cynthia dan Reno pun berangkat bersama siang itu. Anggun pun tidak menaruh curiga sedikitpun pada suami dan sahabatnya itu.

..............

Di dalam perjalanan, Cynthia pun bergelayut manja pada Reno yang sedang asyik membawa kendaraannya. Reno pun mulai tidak fokus ketika Cynthia kembali menggodanya.

"Kamu mau ke mana sih?" tanya Reno.

"Mau menggoda kamu," bisik Cynthia di telinga Reno dengan suara mendesah membuat Reno mulai terpancing.

"Aku serius loh.",

"Aku juga serius. Kamu nggak mau mengulangnya lagi?" tanya Cynthia yang menatap Reno dengan tatapan mata nakalnya hingga membuat Reno mulai merencanakan sesuatu.

"Kamu serius?" tanya Reno. Cynthia mengangguk.

"Ya udah. Gimana kalau kita ke puncak. Aku ada villa. Ini villa yang dibeli Anggun sih. Kebetulan aku punya kunci cadangannya di mobil. Soalnya aku kadang suka mendadak bawa klien dari luar untuk beristirahat dipuncak," ujar Reno.

"Klien atau klien?" celetuk Cynthia menggoda.

"Oke."

Reno pun langsung tancap gas membawa mobilnya memutar arah memasuki tol menuju villanya di puncak.

Tiga jam kemudian

Reno pun akhirnya sampai di villanya. Setelah memarkirkan kendaraannya, Reno pun langsung masuk ke dalam villa. Ketika hendak membuka pintu, ia dikagetkan dengan kedatangan seorang pria paruh baya berusia 45 tahunan.

"Loh, Mang Karta?" teriak Reno.

"Mas Reno, kenapa datang nggak kasih tahu? Kan bisa dibereskan dulu atuh villanya," jawab Mang Karta.

"Saya sebentar aja.kok, Mang.Ohya, kenalkan. Ini sekretaris saya.Kebetulan saya ada meeting dekat sini. Tiga jam lagi, makanya saya mampir dulu untuk istirahat," dalih Reno membuat penjaga villa itu tersenyum.

"Ya udah, Mas. Biar saya siapkan makanan dulu ya," ujar Mang Karta yang langsung memasuki area dapur.

Reno pun langsung masuk ke dalam ruang kerjanya yang terletak di lantai atas villa mewah milik Anggun itu. Agar Mang Karta tidak curiga jika Reno dan Cynthia bercinta kembali.

"Mas, aku mandi dulu ya," bisik Cynthia menggoda.

...............

Nindya mulai merasakan kecemasan akan nasib rumah tangganya bersama Reno. Terlebih kini Pras -- kakak sepupunya sudah mengetahui pernikahannya. Bukan tidak mungkin jika ia akan memberitahu pada Anggun dan Reno bisa saja meninggalkannya.

'Aku harus bisa mengamankan semua aset ini untuk anakku. Kalaupun aku bercerai, anak ini tidak akan hidup miskin. Aku juga nggak mau hidup miskin lagi. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan tandatangan Reno," gumam Nindya.

"Iya. Aku punya ide."

Pras yang sudah mengetahui pernikahan adik sepupunya itu dengan Reno pun tidak tinggal diam. Ia pun mendatangi kediaman orang tua Nindya di kampung dan membicarakan soal Nindya yang sudah menikah siri dengan suami orang.

Sesampainya di kampung, Pras pun langsung menemui Pakde dan Budenya itu dan tanpa berbasa-basi langsung menyampaikan berita yang tidak mengenakkan ini pada kedua orang tua Nindya.

"Apa, Nindya sudah hamil? Dengan suami orang?" teriak Pak Sarmin saat mendengar dari keponakannya itu kalau putri sulungnya tengah hamil dan sudah menikah siri.

"Anak nggak tahu diri. Bikin malu keluarga," pekik Ayah Nindya itu meradang. Tiba-tiba jantungnya pun mendadak sakit.

Paman Pras itu kesulitan bernapas hingga akhirnya Pras berinisiatif membawa sang paman ke rumah sakit kecil yang tidak jauh dari rumah sang paman.

"Bude, kita bawa Pakde ke rumah sakit sekarang ya," ujar Pras yang cemas akan keadaan pamannya itu.

"Nggak usah, Pras. Bude nggak ada biaya buat mengobati Pakdemu," jawab Bu Mirna dengan wajah sendu.

"Udah, Bude. Yang penting Pakde sehat. Soal biaya, biar Pras yang urus," kata Pras yang langsung memasukkan Pakdenya itu ke dalam mobilnya.

Setelah sampai di rumah sakit, Pak Sarmin pun langsung ditangani. Pras dan Budenya pun menunggu di depan ruang UGD.

Sejam, dua jam berlalu belum ada satupun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hingga beberapa saat, Maya pun datang.

"Bu, Ayah kenapa?" tanya adik bungsu Nindya yang baru saja pulang sekolah.

"Ayahmu sakit, jantungnya kambuh," sahut Pras. Maya pun langsung mencium tangan Abang sepupunya itu.

Tidak lama, dokter yang memeriksa keadaan Pak Sarmin pun keluar dan memberikan keterangan yang mengejutkan.

"Maaf, Bapak tidak tertolong. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi, Allah berkehendak lain," ucap sang dokter menunduk.

"Ayaahhhhh ...." jerit Maya yang langsung berlari menengok jasad sang Ayah yang masih berada di dalam ruang UGD.

"Pras, tunggu. Tolong, jangan ceritakan penyebab kematian Pakdemu pada Maya ya. Bude nggak mau di suasana duka dia akan bertengkar dengan Nindya. Kalau bisa, tolong suruh Nindya pulang," pinta Bu Mirna pada Pras.

"Iya, Bude. Pras akan ikuti mau Bude.

Pras pun langsung menghubungi Nindya. Ia mencoba menghubungi Nindya berkali-kali. Tetapi, tidak juga ada jawaban dari adik sepupunya itu. Setelah cukup lama, Nindya pun menghubungi Pras balik.

[Ada apa, Mas?]

[Nindya, Ayah kamu meninggal. Dia kena serangan jantung. Mas lagi ada di kampung. Kamu bisa kan segera pulang ke sini? Kasihan Ibu dan adikmu. Mereka pasti senang kalau kamu bisa menemani mereka.]

[Mas tunggu ya.]

[Baguslah. Jadi aku nggak perlu repot-repot lagi mengirimkan uang untuk orang tua nggak berguna itu.]

[Nindya! Astagfirullah. Dia itu Ayahmu!]

[Aku nggak perduli, Mas. Gara-gara dia, sepanjang hidupku, hanya berkutat dengan kemiskinan. Udah Mas, aku sibuk!]

Nindya pun langsung mematikan begitu saja teleponnya.

"Astaghfirullahaladzhiim ...."

"Pras, kamu sudah menghubungi Nindya?Dia bisa pulang kan?" tanya Bu Mirna dengan wajah sedih dan mata sembab.

"Ya Allah, apa yang harus kukatakan?" batin Pras.

"Maaf, Bude. Nindya nggak bisa pulang," jawab Pras menunduk.

"Dasar anak durhaka!" pekik Maya terisak.

bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status