Share

10. Seperti Pengemis

Author: Cathalea
last update Last Updated: 2023-08-13 21:19:49

"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."

Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini."

"Tapi, Ma ...."

"Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima.

"Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."

Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya.

"Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merendahkan kamu kalau tahu kamu hanya anak haram yang diangkat anak oleh Mahesa."

*****

Naima melangkah gamang menuju toko alat musik milik ayahnya. Seumur hidup belum pernah ia menemui sang ayah di sana. Itu sebabnya ia merasa canggung mendatangi toko besar itu. Kalau saja bukan karena permintaan Asmita, Naima pasti tidak akan datang. Namun, rasa penasaran akan sosok ibunya membuat Naima memutuskan untuk menemui Mahesa di toko itu. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala Naima menuntut penjelasan.

'Siapa ibunya?'

'Benarkah dirinya anak haram seperti yang disebut Asmita?'

'Mengapa Asmita bersikeras meminta dirinya untuk membujuk Mahesa perihal harta?'

"Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Pramuniaga toko menyambut kedatangan Naima dengan ramah. Wanita muda itu adalah karyawan baru jadi tidak tahu jika Naima adalah putri dari sang pemilik toko tersebut.

"Hmm ... Pak Mahesa-nya ada? Saya ada perlu dengan beliau," tanya Naima dengan sedikit ragu.

Kening pramuniaga itu berkerut, seraya menatap Naima dari ujung kaki hingga kepala. "Mbak sudah buat janji? Maaf, kalau saya boleh tahu ada keperluan apa ya?"

"Saya putrinya. Bilang saja, Naima ingin bertemu."

Pramuniaga itu kembali menilik penampilan Naima untuk kedua kalinya. Mungkin dia meragukan perkataan Naima karena penampilan Naima siang itu tidak mencerminkan putri pemilik toko, melainkan seorang babu. Daster kumal, sepasang sandal jepit yang warnanya pun sudah pudar. Belum lagi rambut Naima yang hanya diikat asal ke belakang sehingga sebagian besar rambutnya tidak terikat sempurna.

"Kenapa tidak telepon saja, Mbak? Mbak punya nomor telepon Pak Mahesa, 'kan?" Pramuniaga itu tetap keberatan memberi Naima akses bertemu bosnya.

"Saya tidak bawa hape, Mbak. Kalau bawa, saya tidak perlu datang ke sini, tinggal telepon aja. Mbak tinggal bilang Pak Mahesa saja, 'kan, apa susahnya sih?" Naima mulai kesal.

Ekspresi mengejek seketika tercipta di wajah pramuniaga bernama Sherly itu. "Nggak usah banyak alasan, deh. Penampilan kamu itu mencurigakan makanya saya nggak turuti permintaan kamu. Kamu pasti modus mau minta sumbangan, 'kan? Ngaku aja deh."

Emosi Naima semakin tersulut sekarang. "Mbak hati-hati ya bicaranya, jangan tidak sopan begitu. Saya Naima, putri Pak Mahesa. Kalau Mbak tidak percaya kenapa tidak buktikan sendiri dengan menelepon Pak Mahesa!"

"Udah-udah! Nggak usah banyak gaya. Pergi sana, kami bukan yayasan amal!" Sherly mendorong Naima hingga terduduk.

Naima kaget, tidak menyangka jika karyawan toko ayahnya itu akan bertindak lancang. Masih dengan jantung yang berdegup kencang, Naima berdiri lalu merapikan dasternya yang tersingkap.

Melihat Naima yang kembali hendak berbicara, Sherly terlebih dahulu menarik tangan Naima, lalu membawanya keluar. "Jangan buat kesabaran saya habis. Kalau saya bilang pergi, kamu seharusnya pergi, jangan keras kepala!"

Dorongan Sherly kali ini tidak sekuat tadi, tetapi tetap saja berhasil membuat tubuh Naima oleng. Ditambah dengan tempat kakinya berpijak tidak rata. Untung saja sebuah tangan dengan sigap menahan tubuh Naima sehingga tidak terjatuh.

"Lho! Non Naima?" Sebuah suara yang cukup familiar menyapa indera pendengaran Naima.

"Pak Danang," sahut Naima setelah mengenali sosok yang menyelamatkannya kali ini. Danang adalah karyawan senior di toko itu, jadi dia sudah mengenali Naima.

"Non baik-baik saja, 'kan? Ada yang terluka? Kenapa sampai jatuh?" cecar Danang seraya memeriksa tangan dan kaki Naima.

"Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih."

"Non ada perlu apa ke sini? Mau ketemu Bapak?"

Naima mengangguk. "Aku lupa bawa hape, jadi nggak bisa menelepon Papa. Tapi Mbak ini melarang aku masuk." Naima menunjuk Sherly dengan raut kecewa.

Paras Danang pun ikutan berubah. "Kamu melarang Non Naima bertemu Pak Mahesa? Lancang sekali kamu! Kamu tidak tahu siapa dia? Dia ini Naima, putri Pak Mahesa!" bentaknya dengan tatapan tajam.

Perkataan Danang sukses membuat Sherly menciut. Danang adalah orang kepercayaan Mahesa, jadi dia juga memiliki pengaruh yang besar di toko itu. "Ma-maaf, Pak. Saya tidak tahu. Saya pikir wanita ini pengemis yang meminta sumbangan." Suara Sherly bergetar, takut sekali membayangkan kemarahan Mahesa jika tahu dia telah memperlakukan Naima dengan buruk.

"Kalau tidak tahu, kamu cari tahu dulu. Jangan berbuat semena-mena hanya karena penampilannya tidak seperti yang kamu harapkan." Danang terus mencecar Sherly dengan kemarahan. "Minta maaf kamu! Setelah itu antarkan Naima ke ruangan Pak Mahesa."

Sherly mengangguk. Ia bergegas mendekati Naima lalu membungkukkan badan dengan penuh hormat. "Maafkan saya, Mbak. Saya sudah bersikap tidak sopan tadi. Saya benar-benar tidak tahu kalau Mbak anaknya Pak Mahesa."

"Kalaupun saya bukan anak Pak Mahesa, tidak sepantasnya juga kamu mengusir saya hanya karena penampilan saya yang lusuh. Setahu saya Pak Mahesa bukan tipikal orang yang tinggi hati. Dia selalu menyambut baik siapa saja yang datang ke toko ini. Jangan sampai karena tingkah pongah kamu membuat nama toko ini menjadi buruk."

Sherly hanya bisa mengangguk sambil terus mengatakan kata maaf sebagai bentuk penyesalannya.

"Baik, Mbak. Saya akan ingat nasihat Mbak Naima untuk seterusnya. Mari saya antar ke ruangan Pak Mahesa."

Naima menghela napas panjang. Tak ingin lagi memperpanjang masalah ia pun kembali masuk ke toko besar itu setelah mengucapkan terima kasih pada Danang.

Tok! Tok! Tok!

Sherly mengetuk pintu ruangan Mahesa beberapa kali.

"Ya, masuk saja, tidak dikunci," sahut Mahesa dari dalam.

Sherly membuka pintu, segera membungkuk penuh hormat pada Mahesa. "Selamat siang, Pak. Ini ada pu—" Sherly belum selesai mengucapkan kalimatnya, tetapi Mahesa keburu memotongnya lebih dulu begitu melihat Naima di belakangnya.

"Lho, Naima?! Kamu kapan datang? Sini masuk."

Naima mendorong pintu lebih lebar, lalu melangkah ke dalam ruangan Mahesa.

"Buatkan minuman dingin, ya," pinta Mahesa pada Sherly sebelum wanita itu pergi.

Dengan berat hati, Sherly mengangguk. Ia pun meninggalkan ruangan Mahesa sambil menahan rasa kesal yang teramat besar.

"Tidak biasanya kamu mampir ke sini. Gimana-gimana? Gala memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?"

Naima tersenyum tipis. "Baik kok, Pa."

Mahesa mengangguk puas. "Bagus. Papa sudah keluar uang banyak untuk keluarganya, jadi sudah sepatutnya Gala memperlakukan kamu dengan baik."

Tubuh Naima seketika membeku. "Apa maksud Papa? Papa membayar Gala untuk menikahiku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   26. Berjuang di Perantauan

    Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   25. Kenyataan Pahit

    "Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   24. Tidak Memiliki Tempat Pulang

    "Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   23. Ciuman Mesra

    Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   22. Awal yang Berat

    "Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   21. Pekerja Paruh Waktu

    Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status