Share

10. Seperti Pengemis

"Maaf, Ma. Sepertinya aku tidak bisa membantu Mama tentang itu. Bukan tidak mau, tapi aku merasa tidak pantas. Aku bukan anak kandung Papa dan Mama, jadi aku tidak berhak mencampuri urusan kalian terkait harta keluarga ini."

Asmita berdecak kesal. "Cuma ngomong itu aja apa susahnya, sih. Anggap saja kamu bantuin Mama, balas budi atas semua kebaikan Mama selama ini."

"Tapi, Ma ...."

"Tidak ada tapi-tapi, Naima. Kalau kamu bersikeras untuk tidak mau membantu Mama bicara dengan Papa, lebih baik kamu pergi saja sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah ini." Asmita meradang, sakit hati melihat keengganan yang ditunjukkan Naima.

"Bukan begitu, Ma. Mama salah paham. Aku hanya ...."

Kalimat Naima lagi-lagi terputus karena Asmita kembali memotong pembicaraannya.

"Seharusnya kamu bersyukur dapat menyandang nama Yudhistira, dengan begitu tidak ada yang tahu kalau kamu itu anak haram. Sekarang lebih baik kamu pulang, jangan sampai mertua kamu tahu hal ini, karena dia pasti akan semakin merendahkan kamu kalau tahu kamu hanya anak haram yang diangkat anak oleh Mahesa."

*****

Naima melangkah gamang menuju toko alat musik milik ayahnya. Seumur hidup belum pernah ia menemui sang ayah di sana. Itu sebabnya ia merasa canggung mendatangi toko besar itu. Kalau saja bukan karena permintaan Asmita, Naima pasti tidak akan datang. Namun, rasa penasaran akan sosok ibunya membuat Naima memutuskan untuk menemui Mahesa di toko itu. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala Naima menuntut penjelasan.

'Siapa ibunya?'

'Benarkah dirinya anak haram seperti yang disebut Asmita?'

'Mengapa Asmita bersikeras meminta dirinya untuk membujuk Mahesa perihal harta?'

"Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Pramuniaga toko menyambut kedatangan Naima dengan ramah. Wanita muda itu adalah karyawan baru jadi tidak tahu jika Naima adalah putri dari sang pemilik toko tersebut.

"Hmm ... Pak Mahesa-nya ada? Saya ada perlu dengan beliau," tanya Naima dengan sedikit ragu.

Kening pramuniaga itu berkerut, seraya menatap Naima dari ujung kaki hingga kepala. "Mbak sudah buat janji? Maaf, kalau saya boleh tahu ada keperluan apa ya?"

"Saya putrinya. Bilang saja, Naima ingin bertemu."

Pramuniaga itu kembali menilik penampilan Naima untuk kedua kalinya. Mungkin dia meragukan perkataan Naima karena penampilan Naima siang itu tidak mencerminkan putri pemilik toko, melainkan seorang babu. Daster kumal, sepasang sandal jepit yang warnanya pun sudah pudar. Belum lagi rambut Naima yang hanya diikat asal ke belakang sehingga sebagian besar rambutnya tidak terikat sempurna.

"Kenapa tidak telepon saja, Mbak? Mbak punya nomor telepon Pak Mahesa, 'kan?" Pramuniaga itu tetap keberatan memberi Naima akses bertemu bosnya.

"Saya tidak bawa hape, Mbak. Kalau bawa, saya tidak perlu datang ke sini, tinggal telepon aja. Mbak tinggal bilang Pak Mahesa saja, 'kan, apa susahnya sih?" Naima mulai kesal.

Ekspresi mengejek seketika tercipta di wajah pramuniaga bernama Sherly itu. "Nggak usah banyak alasan, deh. Penampilan kamu itu mencurigakan makanya saya nggak turuti permintaan kamu. Kamu pasti modus mau minta sumbangan, 'kan? Ngaku aja deh."

Emosi Naima semakin tersulut sekarang. "Mbak hati-hati ya bicaranya, jangan tidak sopan begitu. Saya Naima, putri Pak Mahesa. Kalau Mbak tidak percaya kenapa tidak buktikan sendiri dengan menelepon Pak Mahesa!"

"Udah-udah! Nggak usah banyak gaya. Pergi sana, kami bukan yayasan amal!" Sherly mendorong Naima hingga terduduk.

Naima kaget, tidak menyangka jika karyawan toko ayahnya itu akan bertindak lancang. Masih dengan jantung yang berdegup kencang, Naima berdiri lalu merapikan dasternya yang tersingkap.

Melihat Naima yang kembali hendak berbicara, Sherly terlebih dahulu menarik tangan Naima, lalu membawanya keluar. "Jangan buat kesabaran saya habis. Kalau saya bilang pergi, kamu seharusnya pergi, jangan keras kepala!"

Dorongan Sherly kali ini tidak sekuat tadi, tetapi tetap saja berhasil membuat tubuh Naima oleng. Ditambah dengan tempat kakinya berpijak tidak rata. Untung saja sebuah tangan dengan sigap menahan tubuh Naima sehingga tidak terjatuh.

"Lho! Non Naima?" Sebuah suara yang cukup familiar menyapa indera pendengaran Naima.

"Pak Danang," sahut Naima setelah mengenali sosok yang menyelamatkannya kali ini. Danang adalah karyawan senior di toko itu, jadi dia sudah mengenali Naima.

"Non baik-baik saja, 'kan? Ada yang terluka? Kenapa sampai jatuh?" cecar Danang seraya memeriksa tangan dan kaki Naima.

"Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih."

"Non ada perlu apa ke sini? Mau ketemu Bapak?"

Naima mengangguk. "Aku lupa bawa hape, jadi nggak bisa menelepon Papa. Tapi Mbak ini melarang aku masuk." Naima menunjuk Sherly dengan raut kecewa.

Paras Danang pun ikutan berubah. "Kamu melarang Non Naima bertemu Pak Mahesa? Lancang sekali kamu! Kamu tidak tahu siapa dia? Dia ini Naima, putri Pak Mahesa!" bentaknya dengan tatapan tajam.

Perkataan Danang sukses membuat Sherly menciut. Danang adalah orang kepercayaan Mahesa, jadi dia juga memiliki pengaruh yang besar di toko itu. "Ma-maaf, Pak. Saya tidak tahu. Saya pikir wanita ini pengemis yang meminta sumbangan." Suara Sherly bergetar, takut sekali membayangkan kemarahan Mahesa jika tahu dia telah memperlakukan Naima dengan buruk.

"Kalau tidak tahu, kamu cari tahu dulu. Jangan berbuat semena-mena hanya karena penampilannya tidak seperti yang kamu harapkan." Danang terus mencecar Sherly dengan kemarahan. "Minta maaf kamu! Setelah itu antarkan Naima ke ruangan Pak Mahesa."

Sherly mengangguk. Ia bergegas mendekati Naima lalu membungkukkan badan dengan penuh hormat. "Maafkan saya, Mbak. Saya sudah bersikap tidak sopan tadi. Saya benar-benar tidak tahu kalau Mbak anaknya Pak Mahesa."

"Kalaupun saya bukan anak Pak Mahesa, tidak sepantasnya juga kamu mengusir saya hanya karena penampilan saya yang lusuh. Setahu saya Pak Mahesa bukan tipikal orang yang tinggi hati. Dia selalu menyambut baik siapa saja yang datang ke toko ini. Jangan sampai karena tingkah pongah kamu membuat nama toko ini menjadi buruk."

Sherly hanya bisa mengangguk sambil terus mengatakan kata maaf sebagai bentuk penyesalannya.

"Baik, Mbak. Saya akan ingat nasihat Mbak Naima untuk seterusnya. Mari saya antar ke ruangan Pak Mahesa."

Naima menghela napas panjang. Tak ingin lagi memperpanjang masalah ia pun kembali masuk ke toko besar itu setelah mengucapkan terima kasih pada Danang.

Tok! Tok! Tok!

Sherly mengetuk pintu ruangan Mahesa beberapa kali.

"Ya, masuk saja, tidak dikunci," sahut Mahesa dari dalam.

Sherly membuka pintu, segera membungkuk penuh hormat pada Mahesa. "Selamat siang, Pak. Ini ada pu—" Sherly belum selesai mengucapkan kalimatnya, tetapi Mahesa keburu memotongnya lebih dulu begitu melihat Naima di belakangnya.

"Lho, Naima?! Kamu kapan datang? Sini masuk."

Naima mendorong pintu lebih lebar, lalu melangkah ke dalam ruangan Mahesa.

"Buatkan minuman dingin, ya," pinta Mahesa pada Sherly sebelum wanita itu pergi.

Dengan berat hati, Sherly mengangguk. Ia pun meninggalkan ruangan Mahesa sambil menahan rasa kesal yang teramat besar.

"Tidak biasanya kamu mampir ke sini. Gimana-gimana? Gala memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?"

Naima tersenyum tipis. "Baik kok, Pa."

Mahesa mengangguk puas. "Bagus. Papa sudah keluar uang banyak untuk keluarganya, jadi sudah sepatutnya Gala memperlakukan kamu dengan baik."

Tubuh Naima seketika membeku. "Apa maksud Papa? Papa membayar Gala untuk menikahiku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status