Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang.
"Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu."Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah mengetahui Naima bukan saudara kandungnya, tidak mau lagi bersikap ramah. Dengan satu sentakan di tangan Naima, ia berhasil menahan langkah wanita itu."Ngapain kamu pulang? Kamu 'kan sudah menikah, jadi nggak ada urusan lagi di rumah ini."Naima menyentak tangannya dari cekalan Ayara seraya menghunus tatapan tajam. "Pertanyaan Mbak aneh, deh. Aku cuma berkunjung sebentar lho, cuma mau ngambil barangku yang ketinggalan. Mbak sendiri ... juga udah menikah, 'kan? Kenapa masih tinggal di sini? Kenapa tidak tinggal di rumah suami Mbak aja?" balas Naima.Ayara kaget mendengar Naima membalas perkataannya. Naima yang dia kenal biasanya tidak begitu. Naima tidak pernah menegakkan kepala di depannya. Naima juga selalu lebih dulu minta maaf setiap kali beradu argumen dengan Ayara, meskipun bukan dirinya yang salah. Namun, kali ini Ayara melihat kilat kemarahan di sepasang matanya yang indah."Kurang ajar kamu, ya. Udah berani melawan kata-kata Mbak?""Mbak Yara yang memulai. Memangnya salah kalau aku pulang ke rumah orang tuaku sendiri?"Ayara tertawa. "Orang tuaku kamu bilang? Orang tua yang mana, Nai? Mahesa dan Asmita? Mereka papa-mamaku. Kamu bukan siapa-siapa, anak mereka hanya aku dan Dayana."Tangan Naima mengepal pertanda ia sedang mengendalikan emosinya. Namun, ia tidak mau tampak lemah di hadapan Ayara yang kini semakin merasa di atas angin.Dulu Naima beranggapan, sikap dingin dan ketus Ayara disebabkan oleh rasa cemburu pada dirinya yang menurut Ayara lebih disayang oleh Mahesa. Akan tetapi, sekarang berbeda. Sikap kasar yang Ayara tunjukkan adalah karena wanita itu tahu bahwa mereka tidak memiliki pertalian darah."Astaga. Omong kosong apa itu, Mbak?" sanggah Naima, pura-pura tidak tahu sembari melanjutkan langkahnya menuju tangga. "Mbak Yara kebanyakan nonton sinetron deh kayaknya, halu-nya udah ketinggian.""Kamu pikir aku bercanda?"Tepat di anak tangga pertama, Naima menghentikan langkah, lalu menatap Ayara. "Aku tidak percaya jika bukan Papa atau Mama sendiri yang mengatakannya langsung padaku."Tidak memedulikan raut kesal Ayara, Naima mempercepat langkahnya menuju kamar. Sekilas ia melihat Asmita dan seorang pria berdiri di dekat sofa ruang tengah, tetapi Naima memutuskan untuk tidak menemui mereka karena hatinya sendiri sedang bergemuruh hebat.Kurang lebih lima belas menit di kamar itu, Naima mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. Naima beranjak membukakan pintu, mendapati Asmita di sana."Mama? Aku baru aja mau ke menemui Mama. Kaget juga tadi, kamarku ternyata ... sudah berubah," ujar Naima sambil mengedarkan pandangan ke kamar yang dulu merupakan tempat favoritnya di rumah itu. Namun, kini tampak asing dengan warna cat baru dan juga perabotan baru."Masuklah. Ada yang harus kita bicarakan."Tanpa menunggu reaksi Naima, Asmita masuk ke kamar lalu duduk di pinggir ranjang. Naima sendiri memilih duduk di kursi meja rias, tidak jauh dari Asmita."Dari sikap kamu, Mama tahu, kamu sudah cukup lama datang sebelum bertemu Bik Nani."Naima menundukkan kepala tanpa bersuara, hanya jari-jarinya yang sibuk saling bertaut. Asmita tahu, saat ini Naima pasti sedang gugup."Seberapa banyak yang sudah kamu dengar?"Kepala Naima kembali terangkat, kali ini disertai senyum tipis di bibirnya yang berwarna merah muda. "Tidak banyak. Hanya dari kalimat, 'nggak ada lagi yang menghalangi Mbak memiliki harta Mahesa'."Wajah Asmita seketika berubah, tapi wanita itu dengan cepat mengendalikan diri."Itu artinya cukup banyak. Mama yakin kamu sudah mendengar poin-poin penting dari pembicaraan kami tadi."Naima mengangguk pelan. "Aku ... bukan anak kandung Mama dan Papa.""Benar. Suamiku membawamu pulang ketika berusia satu bulan," ucap Asmita membuka cerita. "Bisa kamu bayangkan apa yang terjadi pada kami saat itu?""Mama dan Papa ... kalian pasti bertengkar hebat.""Saat itu aku yakin sekali kalau kamu adalah anak selingkuhannya. Aku baru percaya Mahesa berkata jujur setelah tes DNA membuktikan kamu bukan anaknya.""Lalu ... siap ibu kandungku yang sebenarnya, Ma? Apakah dia ... bukan perempuan baik-baik? Di mana dia sekarang?"Asmita tidak menjawab pertanyaan Naima. "Ibumu sudah meninggal. Aku tidak mau menghakimi ibumu karena memang tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tanya Mahesa saja untuk cerita lengkapnya." Asmita bukannya tidak tahu, hanya saja ia tidak mau salah bicara, karena yang tahu pasti kebenaran tentang ibu kandung Naima hanya Mahesa dan Bima, adik Mahesa."Apakah almarhum ibuku berhubungan dengan masa lalu Papa ketika dia bekerja sebagai manager artis?"Sekilas Naima pernah mendengar cerita kalau Mahesa dulu bekerja sebagai manager artis yang cukup terkenal. Akan tetapi, Mahesa tidak pernah mau membahas masa lalunya itu. Mulut Mahesa seolah terjahit rapat setiap kali ada orang yang bertanya tentang pekerjaannya sebelum membuka toko alat musik itu."Kamu tanya Mahesa saja. Aku tidak bisa bercerita banyak.""Baiklah. Terima kasih karena Mama sudah merawatku selama ini. Aku tahu pasti tidak mudah membesarkan anak orang lain, tetapi Mama berhasil melakukannya. Sampai kapanpun aku berhutang budi pada Mama dan Papa.""Kamu merasa berhutang budi?""Tentu saja, Ma. Aku bukan manusia yang tidak memiliki hati."Asmita tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus lakukan sesuatu untuk membalas kebaikanku. Bersumpahlah kamu akan menurut tanpa memberitahu Papa kalau ini merupakan permintaan Mama."Raut wajah Asmita yang penuh ambisi terlihat jelas di mata Naima. Naima bukan wanita bodoh, apa lagi ia sudah mendengar pembicaraan Asmita dengan Ayara dan Oom Bima tadi. Naima baru ingat sosok pria tadi ternyata adalah Bima, adik Mahesa yang selama ini berdomisili di Singapura. Rumah, toko, dan aset Mahesa yang lain adalah hal utama yang mereka bicarakan."Baiklah. Kalau dengan menuruti permintaan Mama bisa melunasi hutang budiku, aku bersedia melakukannya, Ma. Katakanlah. Mama mau aku melakukan apa?"Asmita menggeser duduknya ke dekat Naima, lalu menggenggam tangan anak angkatnya itu dengan erat."Katakan pada Papamu agar memberikan rumah ini untuk Ayara dan Dayana, juga toko alat musik itu untuk Mama."Permintaan Asmita justru membuat Naima semakin merasa heran. Sepanjang pengetahuan Naima, rumah dan toko alat musik itu dibangun oleh Mahesa. Sebagai istri dan anak kandung Mahesa, bukankah memang sudah semestinya semua milik Mahesa menjadi milik mereka. Akan tetapi, kenapa Asmita justru meminta Naima membujuk Mahesa?"Maaf, Ma. Bukan aku tidak mau menuruti Mama, tapi ... semua aset yang ada sekarang 'kan milik Papa. Sudah sewajarnya jadi hak Mama, Mbak Yara, dan Yana, karena kalian ahli waris Papa yang sebenarnya. Aku jadi tidak mengerti dengan maksud permintaan Mama."Asmita seketika gelagapan. Ia baru sadar kalau telah melakukan kekeliruan. Wajar Naima curiga karena yang dikatakan Naima adalah benar. Hanya saja Naima 'kan tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Naima tidak tahu kalau ada satu rahasia lagi yang hanya diketahui oleh dirinya dan Mahesa."Pokoknya kamu nggak usah banyak tanya, Nai. Tugas kamu cukup katakan hal itu pada Mahesa. Bilang saja kalau kamu ingin membalas semua kebaikan yang Mama beri selama merawat dan membesarkan kamu," sahut Asmita cepat.Ia pun kembali menambahkan dengan penekanan yang kuat. "Ingat ya, Nai. Merawat anak orang lain seperti anak sendiri selama tiga puluh tiga tahun, bukanlah hal yang mudah. Banyak pengorbanan yang Mama lakukan, dan pengorbanan yang paling besar adalah perasaan."Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan