Share

9. Korban Perasaan

Asmita dan Ayara spontan berdiri mendengar ART mereka menyebut nama Naima. Ayara bahkan segera berlari ke pintu samping, ingin memastikan dengan kedua matanya sendiri bahwa ART mereka tidak salah orang.

"Naima?! Sejak kapan kamu di situ?" tanya Ayara yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Naima berdiri di belakang lemari yang membatas ruang tengah dan pintu samping.

Dari wajah Bik Nani, Naima beralih menatap Ayara. Ia ingin tersenyum lebar seperti biasanya, tetapi sulit karena teringat percakapan Ayara dan Asmita beberapa saat lalu.

"Aku baru aja datang." Naima berusaha bersikap seperti biasa seolah tidak mendengar apa pun. "Mama mana, Mbak?" lanjut Naima sambil melangkahkan melewati Ayara. Sebenarnya sulit bagi Naima untuk bersikap manis pada Ayara, tetapi demi menghindari keributan ia memutuskan untuk langsung menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Biarlah nanti dia temui Asmita setelah hatinya cukup tenang.

Namun, berbeda dengan Naima. Ayara yang sudah mengetahui Naima bukan saudara kandungnya, tidak mau lagi bersikap ramah. Dengan satu sentakan di tangan Naima, ia berhasil menahan langkah wanita itu.

"Ngapain kamu pulang? Kamu 'kan sudah menikah, jadi nggak ada urusan lagi di rumah ini."

Naima menyentak tangannya dari cekalan Ayara seraya menghunus tatapan tajam. "Pertanyaan Mbak aneh, deh. Aku cuma berkunjung sebentar lho, cuma mau ngambil barangku yang ketinggalan. Mbak sendiri ... juga udah menikah, 'kan? Kenapa masih tinggal di sini? Kenapa tidak tinggal di rumah suami Mbak aja?" balas Naima.

Ayara kaget mendengar Naima membalas perkataannya. Naima yang dia kenal biasanya tidak begitu. Naima tidak pernah menegakkan kepala di depannya. Naima juga selalu lebih dulu minta maaf setiap kali beradu argumen dengan Ayara, meskipun bukan dirinya yang salah. Namun, kali ini Ayara melihat kilat kemarahan di sepasang matanya yang indah.

"Kurang ajar kamu, ya. Udah berani melawan kata-kata Mbak?"

"Mbak Yara yang memulai. Memangnya salah kalau aku pulang ke rumah orang tuaku sendiri?"

Ayara tertawa. "Orang tuaku kamu bilang? Orang tua yang mana, Nai? Mahesa dan Asmita? Mereka papa-mamaku. Kamu bukan siapa-siapa, anak mereka hanya aku dan Dayana."

Tangan Naima mengepal pertanda ia sedang mengendalikan emosinya. Namun, ia tidak mau tampak lemah di hadapan Ayara yang kini semakin merasa di atas angin.

Dulu Naima beranggapan, sikap dingin dan ketus Ayara disebabkan oleh rasa cemburu pada dirinya yang menurut Ayara lebih disayang oleh Mahesa. Akan tetapi, sekarang berbeda. Sikap kasar yang Ayara tunjukkan adalah karena wanita itu tahu bahwa mereka tidak memiliki pertalian darah.

"Astaga. Omong kosong apa itu, Mbak?" sanggah Naima, pura-pura tidak tahu sembari melanjutkan langkahnya menuju tangga. "Mbak Yara kebanyakan nonton sinetron deh kayaknya, halu-nya udah ketinggian."

"Kamu pikir aku bercanda?"

Tepat di anak tangga pertama, Naima menghentikan langkah, lalu menatap Ayara. "Aku tidak percaya jika bukan Papa atau Mama sendiri yang mengatakannya langsung padaku."

Tidak memedulikan raut kesal Ayara, Naima mempercepat langkahnya menuju kamar. Sekilas ia melihat Asmita dan seorang pria berdiri di dekat sofa ruang tengah, tetapi Naima memutuskan untuk tidak menemui mereka karena hatinya sendiri sedang bergemuruh hebat.

Kurang lebih lima belas menit di kamar itu, Naima mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dari luar. Naima beranjak membukakan pintu, mendapati Asmita di sana.

"Mama? Aku baru aja mau ke menemui Mama. Kaget juga tadi, kamarku ternyata ... sudah berubah," ujar Naima sambil mengedarkan pandangan ke kamar yang dulu merupakan tempat favoritnya di rumah itu. Namun, kini tampak asing dengan warna cat baru dan juga perabotan baru.

"Masuklah. Ada yang harus kita bicarakan."

Tanpa menunggu reaksi Naima, Asmita masuk ke kamar lalu duduk di pinggir ranjang. Naima sendiri memilih duduk di kursi meja rias, tidak jauh dari Asmita.

"Dari sikap kamu, Mama tahu, kamu sudah cukup lama datang sebelum bertemu Bik Nani."

Naima menundukkan kepala tanpa bersuara, hanya jari-jarinya yang sibuk saling bertaut. Asmita tahu, saat ini Naima pasti sedang gugup.

"Seberapa banyak yang sudah kamu dengar?"

Kepala Naima kembali terangkat, kali ini disertai senyum tipis di bibirnya yang berwarna merah muda. "Tidak banyak. Hanya dari kalimat, 'nggak ada lagi yang menghalangi Mbak memiliki harta Mahesa'."

Wajah Asmita seketika berubah, tapi wanita itu dengan cepat mengendalikan diri.

"Itu artinya cukup banyak. Mama yakin kamu sudah mendengar poin-poin penting dari pembicaraan kami tadi."

Naima mengangguk pelan. "Aku ... bukan anak kandung Mama dan Papa."

"Benar. Suamiku membawamu pulang ketika berusia satu bulan," ucap Asmita membuka cerita. "Bisa kamu bayangkan apa yang terjadi pada kami saat itu?"

"Mama dan Papa ... kalian pasti bertengkar hebat."

"Saat itu aku yakin sekali kalau kamu adalah anak selingkuhannya. Aku baru percaya Mahesa berkata jujur setelah tes DNA membuktikan kamu bukan anaknya."

"Lalu ... siap ibu kandungku yang sebenarnya, Ma? Apakah dia ... bukan perempuan baik-baik? Di mana dia sekarang?"

Asmita tidak menjawab pertanyaan Naima. "Ibumu sudah meninggal. Aku tidak mau menghakimi ibumu karena memang tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tanya Mahesa saja untuk cerita lengkapnya." Asmita bukannya tidak tahu, hanya saja ia tidak mau salah bicara, karena yang tahu pasti kebenaran tentang ibu kandung Naima hanya Mahesa dan Bima, adik Mahesa.

"Apakah almarhum ibuku berhubungan dengan masa lalu Papa ketika dia bekerja sebagai manager artis?"

Sekilas Naima pernah mendengar cerita kalau Mahesa dulu bekerja sebagai manager artis yang cukup terkenal. Akan tetapi, Mahesa tidak pernah mau membahas masa lalunya itu. Mulut Mahesa seolah terjahit rapat setiap kali ada orang yang bertanya tentang pekerjaannya sebelum membuka toko alat musik itu.

"Kamu tanya Mahesa saja. Aku tidak bisa bercerita banyak."

"Baiklah. Terima kasih karena Mama sudah merawatku selama ini. Aku tahu pasti tidak mudah membesarkan anak orang lain, tetapi Mama berhasil melakukannya. Sampai kapanpun aku berhutang budi pada Mama dan Papa."

"Kamu merasa berhutang budi?"

"Tentu saja, Ma. Aku bukan manusia yang tidak memiliki hati."

Asmita tersenyum. "Kalau begitu, kamu harus lakukan sesuatu untuk membalas kebaikanku. Bersumpahlah kamu akan menurut tanpa memberitahu Papa kalau ini merupakan permintaan Mama."

Raut wajah Asmita yang penuh ambisi terlihat jelas di mata Naima. Naima bukan wanita bodoh, apa lagi ia sudah mendengar pembicaraan Asmita dengan Ayara dan Oom Bima tadi. Naima baru ingat sosok pria tadi ternyata adalah Bima, adik Mahesa yang selama ini berdomisili di Singapura. Rumah, toko, dan aset Mahesa yang lain adalah hal utama yang mereka bicarakan.

"Baiklah. Kalau dengan menuruti permintaan Mama bisa melunasi hutang budiku, aku bersedia melakukannya, Ma. Katakanlah. Mama mau aku melakukan apa?"

Asmita menggeser duduknya ke dekat Naima, lalu menggenggam tangan anak angkatnya itu dengan erat.

"Katakan pada Papamu agar memberikan rumah ini untuk Ayara dan Dayana, juga toko alat musik itu untuk Mama."

Permintaan Asmita justru membuat Naima semakin merasa heran. Sepanjang pengetahuan Naima, rumah dan toko alat musik itu dibangun oleh Mahesa. Sebagai istri dan anak kandung Mahesa, bukankah memang sudah semestinya semua milik Mahesa menjadi milik mereka. Akan tetapi, kenapa Asmita justru meminta Naima membujuk Mahesa?

"Maaf, Ma. Bukan aku tidak mau menuruti Mama, tapi ... semua aset yang ada sekarang 'kan milik Papa. Sudah sewajarnya jadi hak Mama, Mbak Yara, dan Yana, karena kalian ahli waris Papa yang sebenarnya. Aku jadi tidak mengerti dengan maksud permintaan Mama."

Asmita seketika gelagapan. Ia baru sadar kalau telah melakukan kekeliruan. Wajar Naima curiga karena yang dikatakan Naima adalah benar. Hanya saja Naima 'kan tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Naima tidak tahu kalau ada satu rahasia lagi yang hanya diketahui oleh dirinya dan Mahesa.

"Pokoknya kamu nggak usah banyak tanya, Nai. Tugas kamu cukup katakan hal itu pada Mahesa. Bilang saja kalau kamu ingin membalas semua kebaikan yang Mama beri selama merawat dan membesarkan kamu," sahut Asmita cepat.

Ia pun kembali menambahkan dengan penekanan yang kuat. "Ingat ya, Nai. Merawat anak orang lain seperti anak sendiri selama tiga puluh tiga tahun, bukanlah hal yang mudah. Banyak pengorbanan yang Mama lakukan, dan pengorbanan yang paling besar adalah perasaan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status