"Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!" Perkataan Gala itu menancap dalam di ulu hati Naima.
Naima terdiam, bukan karena membenarkan perihal aibnya, tetapi karena tidak ingin ribut-ribut dan repot-repot memberi penjelasan pada semua orang. Belum tentu juga mereka mau mengerti. Namun, satu yang pasti, pandangan mereka pada dirinya pasti akan semakin remeh, dan Naima tidak mau hal itu terjadi.Jadi yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah. Pernikahannya masih hitungan hari, belum sampai satu bulan. Cemoohan apa lagi yang akan ia terima jika dicerai secepat itu? Sudahlah dijuluki perawan tua, giliran udah nikah nggak nyampe sebulan diceraikan? Naima tidak tahu harus menyembunyikan mukanya di mana kalau itu sampai terjadi.'Sabar, Nai. Sabar dan berdoa. Hanya itu yang bisa kamu lakukan untuk saat ini,' ucap Naima di dalam hati. Ia harus kuat agar bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Naima masih berpikiran positif bahwa Gala hanya salah paham dan butuh waktu untuk memahami keadaannya.Hari berlalu dengan cepat. Meski terasa berat, Naima terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya karena Gala tidak mengizinkannya bekerja. Padahal atasannya beberapa kali menelepon, memastikan keputusan yang Naima buat. Bukan hanya dirinya, mereka juga pasti menyayangkan keputusan Naima berhenti karena sudah bertahun-tahun dia bekerja di toko itu. Namun, Naima bisa apa selain menuruti Gala saat ini?"Naima! Air mandi buatku mana?" Teriakan Maisya membuyarkan lamunan panjang Naima pagi itu. Tanpa banyak kata, Naima berlari ke sumur belakang, menimba air untuk Maisya, lalu mengantarkannya ke kamar mandi wanita tersebut.Dia tak mengerti dengan jalan pikiran orang-orang di rumah itu. Tidak ada satu pun yang mau mengeluarkan uang untuk membiayai perbaikan pompa air. Entah mereka sengaja, atau memang tidak ada uang. Naima tak tahu alasannya. Yang pasti hingga hari ini tidak ada tukang reparasi yang datang untuk memperbaiki pompa air mereka. Akan tetapi, Naima tidak mau diperbudak terus-menerus, jadi ia sudah memiliki rencana akan memanggil tukang reparasi siang ini."Nai, sarapan belum siap? Buruan dong, aku mau berangkat nih." Kali ini Madina yang merengek di dapur. Naima yang masih di belakang ingin menjawab kalau sarapan sudah ia siapkan, tetapi suara Gilang lebih dulu terdengar."Naima lagi nimba air mandi buat Maisya di sumur belakang, Dina. Kenapa kamu nggak buat sendiri aja sarapannya? Cuma bikin roti bakar masa' kamu nggak bisa?" Gilang yang sudah siap dengan seragam guru bergabung dengan istrinya di dapur.Madina berdecak dengan muka masam. "Aku udah pakai baju kerja, Mas. Nggak mungkinlah kotor-kotoran lagi di dapur. Lagi pula memang sudah jadi tugas Naima menyiapkan sarapan untuk kita serumah," sahut Madina dengan mata mendelik kesal.Kening Gilang berkerut. "Sejak kapan ada aturan begitu? Biasanya juga kalian bikin sendiri sarapan masing-masing. Kenapa sekarang semua dibebankan pada Naima? Ingat ya, Dina. Naima itu juga menantu di rumah ini, sama dengan kamu dan Maisya, jadi kalian nggak pantas memperlakukan dia seperti babu."Tanpa memedulikan tatapan protes istrinya, Gilang mengambil beberapa potong roti, lalu mulai memanggangnya menggunakan sandwich toaster. Hal itu membuat Madina semakin meradang."Mas kok belain Naima sih? Emangnya itu aturan aku yang buat? Enggak ya. Mama sendiri yang nentuin tugas menantunya di rumah ini. Karena aku dan Maisya kerja di luar, otomatis kerjaan rumah ya dihandle Naima semua. Aku dan Maisya kebagian bayar-bayarnya." Madina membela diri karena tidak mau disalahkan oleh Gilang."Serius itu aturan Mama yang buat? Bukannya akal-akalan kalian berdua?" Gilang bertanya dengan tatapan curiga.Setelah cukup lama tinggal serumah, Gilang jadi hapal karakter Madina dan Maisya. Keduanya termasuk pemalas untuk urusan pekerjaan rumah. Sebelum ada Naima, Madina dan Maisya cukup sering bertengkar. Karena tidak ada yang mau mengalah, mereka akhirnya sepakat membayar ART untuk menggantikan tugas mereka berdua. Gilang tidak tahu sejak kapan ART itu dipecat, mungkin setelah Gala menikah dengan Naima, atau sebelum itu? Dia tidak memperhatikan hal itu."Jangan asal tuduh ya, Mas. Itu beneran keputusan Mama kamu, kok. Mas tanya sendiri sama Naima kalau tidak percaya." Kesal dengan kecurigaan suaminya, Madina pun beranjak kembali ke kamar, bertepatan dengan kembalinya Naima ke dapur."Lho, Mbak Madina nggak jadi sarapan? Ini sarapannya hampir siap.""Nggak jadi! Kamu makan aja sendiri."Madina merajuk, tapi Naima tentu saja tidak tahu hal itu. Setelah menyapa Gilang, Naima menarik kursi, lalu dengan polosnya Naima pun memakan sandwich bagian Madina yang ditinggalkannya.Namun, baru saja beberapa gigitan tiba-tiba Madina kembali. Ia langsung mencak-mencak saat melihat sandwich jatahnya dimakan oleh Naima."Kenapa kamu makan bagianku? Kamu punya 'kan ada? Jangan rakus ya jadi orang!"Naima yang sedang makan seketika tersedak karena kata-kata Madina. Hal itu membuat Gilang pun bergerak cepat menyodorkan minum pada adik iparnya itu."Dina! Kamu ini apa-apaan sih? Perkara sandwich aja dibesar-besarkan. Buat lagi kan bisa!" Dengan raut kesal, Gilang membentak Madina. Ia tidak suka dengan sikap istri yang semena-mena. Apa lagi dia sudah melihat Naima yang berkerja berat sejak pagi."Mas kok belain Naima aja sejak tadi? Aku istri kamu, Mas. Seharusnya kamu belain aku dong. Aku ini udah menahan lapar sejak tadi. Tapi dia enak-enakan makan bagianku."Gilang menggertak rahangnya menahan kesal. "Aku bukan asal membela, tetapi sikap kamu yang berlebihan. Tadi 'kan kamu sendiri yang bilang nggak mau makan, bahkan suruh Naima makan semua sendiri. Giliran Naima beneran makan kenapa kamu marah?"Madina menghentakkan kaki karena gusar. "Aku 'kan nggak serius bilangnya! Mas juga bukannya masukin ke kotak bekal aku, kenapa diam aja waktu Naima makan bagianku?""Cukup, Madina! Jangan buat aku bertambah malu! Ayo berangkat, kita beli sarapan kamu di luar!"Gilang muak mendengar rengekan manja Madina yang tidak pada tempatnya itu. Dia juga malu pada Naima karena ribut-ribut hanya karena sepotong sandwich. Itu sebabnya ia membentak istrinya itu agar menghentikan pertengkaran dengan Naima. Dengan langkah besar ia pun pergi.Madina yang kaget karena bentakan Gilang bergeming di tempatnya berdiri. Ia tidak suka melihat sikap manis Gilang pada Naima. Apa lagi Naima juga terlihat menikmati perhatian Gilang. Hal itu membuat Madina semakin terbakar cemburu. Tatapannya pun beralih tajam pada Naima."Senang kamu udah bikin aku berantem dengan Mas Gilang. Semua ini karena kamu, Naima. Kalau saja kerjaan kamu beres, hal ini nggak akan terjadi. Kamu sengaja, ya? Mau rusak hubungan aku dengan Mas Gilang?"Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari
"Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh
"Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai
Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak
"Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam
Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan