Share

5. Nafkah 20 Ribu

"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari.

"Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins.

"Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias.

"Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.

Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting.

"Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya."

"Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."

Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingin suaminya. "Iya, aku tahu. Makanya aku ajak Mas bicara. Sudah seminggu lebih kita menikah, tapi Mas belum memberiku uang belanja."

Gala mendengus sebal. "Uangku nggak banyak, kamu butuh berapa emangnya?"

"Jumlah pastinya aku juga belum tahu, Mas. Mama bilang aku bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dapur seperti minyak goreng, gas, dan tagihan air minum, serta tagihan WIFI."

"Busyet. Banyak banget!"

"Ya, itu keputusan Mama kamu, Mas. Aku mana bisa membantah."

Gala berdecak frustasi. Sejak malam pertama terkutuk itu, Gala sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya lagi. Ia ingin menceraikan Naima, tetapi tak bisa karena terikat perjanjian dengan orang tua wanita itu.

Minimal satu tahun, baru dirinya bebas untuk menceraikan Naima. Jika Gala melanggar, maka proses hukum terhadap Gema akan kembali dilanjutkan. Saat ini proses hukum itu berhasil ditangguhkan berkat uang jaminan dari keluarga Naima. Naima tentu saja sama sekali tidak tahu hal ini. Wanita itu hanya tahu dirinya dilamar karena Gala memang menyukainya. Ia sama sekali tidak tahu kalau pernikahan itu di atur oleh keluarganya sendiri.

Awalnya Gala sendiri tidak mengerti mengapa keluarga Naima bersedia mengeluarkan uang banyak untuk menikahkan putrinya. Namun, setelah melewati malam pertama itu, ia pun mengerti. Keluarga Naima pasti sudah tahu kalau Naima sudah tak perawan, itu sebabnya mereka bersedia membayar mahal untuk lelaki yang mau menikah dengan putrinya.

"Mas!"

Suara Naima membuyarkan lamunan panjang Gala. Lelaki itu tersentak, kembali berdecak kesal.

"Mas kenapa malah melamun? Gimana dengan permintaan Mama?"

"Kamu bawel banget, sih?! Cari akal dong, kerja kek, jualan kek, jangan cuma minta bisanya."

Kesabaran Naima mulai habis. "Kamu 'kan suamiku, Mas. Jadi wajar dong aku minta nafkah. Kenapa kamu malah marah-marah?"

Gala bangkit sambil berkacak pinggang. "Nafkah kamu bilang? Kamu sendiri sudah menjalankan kewajiban sebagai istri, belum?"

"Lho! Aku kan selalu ada di kamar ini, kapan pun siap untuk melayani kamu. Tapi kamu sendiri yang menghindar, Mas. Setiap malam kamu pergi, pulang dini hari. Kenapa sekarang kamu malah menyalahkan aku?"

"Shit!" Emosi Gala terpantik. "Kamu sadar nggak dengan kesalahan kamu? Kamu itu wanita kotor! Mengaku perawan padahal sudah ternoda! Aku bukan pria bodoh yang mau memakai bekas orang. Sampai kapanpun aku tak sudi lagi menyentuh kamu. Kalau bukan karena terikat perjanjian dengan mama kamu, aku sudah akhiri pernikahan ini! Jangan macam-macam kamu, ya!"

Gala emosi, tanpa sadar mulutnya pun terlepas mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia antara dirinya dan keluarga Naima. Untung saja saat itu perhatian Naima sedang tertuju pada kalimatnya yang lain, sehingga ia tidak menyadari Gala yang keceplosan.

"Jadi mau kamu apa, Mas? Aku sudah berulang kali katakan pada kamu, aku bahkan sudah bersumpah, tetapi kamu tetap tidak percaya. Sekarang aku harus bagaimana?" tanya Naima dengan suara bergetar.

Ia lelah dengan pertengkaran yang terus terjadi setiap kali mencoba berkomunikasi dengan Gala. Naima yakin, mertua dan saudara ipar lainnya pasti mendengar pertengkaran mereka, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya, seolah mereka sudah tahu kalau hal ini akan terjadi.

"Terserah kamu. Mengapa bertanya padaku?"

Naima mengusap air mata yang meleleh di pipinya. Ia mengangkat kepala, mencoba untuk tetap tegar di hadapan lelaki yang masih berstatus suaminya itu.

"Mas tidak mau memberiku uang belanja?"

Gala mendengus, tetapi ia tetap mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nih! Aku cuma bisa kasih segini. Cukup nggak cukup, kamu cukupi aja!" Dengan kasar Gala melemparkan beberapa lembar uang ke meja rias di samping Naima.

Meski tidak suka dengan cara Gala memberikan uang itu, Naima tetap mengambilnya. Bukan perkara dirinya tak mampu, tetapi apa yang Gala berikan adalah hak-nya sebagai istri. Ia tidak akan merasa rendah diri menerima uang itu.

Tangan Naima bergetar saat mengetahui jumlah uang yang Gala berikan. Menguatkan hati, Naima mengangkat kepala untuk kembali menatap Gala. "Hanya 600 ribu, Mas? Mas yakin cuma mampu memberiku sebanyak ini untuk sebulan? Bukannya Mas kerja di perusahaan besar? Mas tau nggak? Makan malam tadi aja, tagihannya sampai 500 ribu, lho. Gimana aku menutupinya kalau Mas cuma kasih segini?"

"Pakai uang kamu dong. Kamu dulu 'kan kerja, pasti ada tabunganlah, nggak mungkin enggak."

Naima menghela napas berat. "Tabunganku ada, tapi nggak banyak. Nggak bakal cukup kalau dipakai untuk pengeluaran sehari-hari sebesar ini."

"Itu 'kan karena kamu beli di luar. Kalau masak sendiri pasti lebih murah."

"Ya, aku tau. Tapi 600 ribu tetap nggak cukup, Mas."

"Aku cuma ada segitu. Kamu tidak mau? Ya udah, sini, balikin!"

Naima cepat-cepat mengantongi uang itu, sebelum diambil kembali oleh Gala.

"Kamu tuh seharusnya bersyukur aku masih mau kasih uang. Lain kali jangan coba-coba menantangku lagi. Aku peringatkan sejak sekarang, karena aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman."

Usai mengatakan semua yang dia inginkan, Gala berdiri, lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Naima yang masih duduk termenung di depan meja riasnya.

'Enam ratus ribu sebulan, sama saja dengan 20 ribu per hari, 'kan? Mana mungkin cukup. Ya, Tuhan. Mengapa semua jadi begitu rumit.' Naima kembali menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya.

Terkadang timbul keinginan untuk mengadu pada papanya, mengapa pernikahannya tidak seperti yang ia bayangkan? Tetapi, Naima menahan keinginan itu karena tidak mau dimarahi oleh Asmita, ibunya. Wanita itu pasti akan mengomeli Naima, karena ia menganggap Naima tidak bersyukur.

Kalau saja Naima tahu pernikahannya seperti neraka begini, ia tidak akan menerima lamaran Gala waktu itu. Lebih baik menjomblo saja. Dijuluki perawan tua juga tidak masalah. Toh, selama ini meski sering diledek, tetapi dia tetap bahagia dengan kesendiriannya.

"Maaf, Mas. Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi uang segini memang tidak cukup," ungkap Naima begitu Gala keluar dari kamar mandi.

"Ya, pandai-pandai kamu mengaturnya lah. Aku cuma bisa kasih segitu."

Ketus.

Sepertinya sudah menjadi template Gala di depan Naima sekarang. Dan Naima pun sudah tidak memedulikannya lagi. Energinya sudah terkuras habis untuk mengurus pekerjaan rumah, jadi tak ada lagi yang tersisa untuk berdebat. Apa lagi berdebat dengan Gala yang tidak akan memberi celah sedikitpun bagi dirinya untuk menang.

"Tidak apa. Aku juga tidak akan menuntut lebih," sahut Naima. "Tapi ... tolong izinkan aku untuk berkerja. Seperti yang Mas udah tahu, sebelum menikah aku juga bekerja, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti."

"Oh, kerja di toko itu, 'kan?"

Naima mengangguk.

"Emang gajinya berapa sih? Trus ... kalau kamu kerja, yang ngerjain pekerjaan rumah siapa? Aku nggak mau kamu kelelahan, ya. Bukan karena kasihan, tapi aku nggak mau repot ngurusin kamu kalau sakit."

Dada Naima kembali nyeri bagai dihantam palu besar. Kata-kata Gala begitu tajam, menusuk ke hatinya. Tidak ada tersirat sedikitpun kasih sayang di suara lelaki yang berstatus suaminya itu.

"Aku heran sama kamu, Mas."

"Heran kenapa?"

"Sikap kamu, 180 derajat berubah dari sebelum kita menikah. Apakah tidak ada lagi rasa cinta yang tersisa di hatimu untukku?"

"Setelah kamu terbukti membohongiku? Hahaha. Aku bukan malaikat, Naima."

"Mas ...."

"Jika kamu masih ngotot membicarakan hal ini, lupakan saja semua yang kita bicarakan tadi. Kamu tidak boleh bekerja di luar, sebagai gantinya kamu harus kerjakan semua pekerjaan di rumah ini dengan baik."

Gala beranjak, tapi Naima kembali menahan tangannya.

"Apa lagi sih, Nai?"

"Aku akan kerjakan semua pekerjaan rumah. Tetapi, please. Tolong izinkan aku bekerja. Kalau tidak bagaimana aku bisa menutupi kekurangan biaya rumah yang dibebankan Mama?"

"Sekali tidak, tetap tidak. Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status