Share

5. Nafkah 20 Ribu

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-11 10:30:52

"Mas, aku mau bicara." Naima bergegas menyusul begitu melihat Gala masuk ke kamar setelah selesai makan malam. Ia tidak mau melewatkan kesempatan lagi karena jika Gala sudah pergi, lelaki itu baru kembali menjelang dini hari.

"Bicara apa? Buruan, aku udah ditunggu teman." Tanpa memandang Naima, Gala sibuk mengganti pakaiannya dengan setelan kemeja dan celana jins.

"Duduk dulu, Mas." Naima menarik tangan Gala menuju ranjang, sementara dirinya duduk di meja rias.

"Ada apa sih?" Gala menepis tangan Naima, menggosokkan tangannya ke seprai, seolah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang menjijikkan.

Naima tentu saja tersinggung, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya kali ini, karena apa yang ingin ia bahas jauh lebih penting.

"Mama bilang, mulai besok aku harus membantu biaya rumah ini, sama seperti Mbak Madina dan Mbak Maisya."

"Ya, memang semestinya begitu. Kamu 'kan tinggal di rumah ini, jadi wajarlah ikut bantu biayanya."

Naima menghela napas panjang, menahan kesal atas sikap dingin suaminya. "Iya, aku tahu. Makanya aku ajak Mas bicara. Sudah seminggu lebih kita menikah, tapi Mas belum memberiku uang belanja."

Gala mendengus sebal. "Uangku nggak banyak, kamu butuh berapa emangnya?"

"Jumlah pastinya aku juga belum tahu, Mas. Mama bilang aku bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dapur seperti minyak goreng, gas, dan tagihan air minum, serta tagihan WIFI."

"Busyet. Banyak banget!"

"Ya, itu keputusan Mama kamu, Mas. Aku mana bisa membantah."

Gala berdecak frustasi. Sejak malam pertama terkutuk itu, Gala sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya lagi. Ia ingin menceraikan Naima, tetapi tak bisa karena terikat perjanjian dengan orang tua wanita itu.

Minimal satu tahun, baru dirinya bebas untuk menceraikan Naima. Jika Gala melanggar, maka proses hukum terhadap Gema akan kembali dilanjutkan. Saat ini proses hukum itu berhasil ditangguhkan berkat uang jaminan dari keluarga Naima. Naima tentu saja sama sekali tidak tahu hal ini. Wanita itu hanya tahu dirinya dilamar karena Gala memang menyukainya. Ia sama sekali tidak tahu kalau pernikahan itu di atur oleh keluarganya sendiri.

Awalnya Gala sendiri tidak mengerti mengapa keluarga Naima bersedia mengeluarkan uang banyak untuk menikahkan putrinya. Namun, setelah melewati malam pertama itu, ia pun mengerti. Keluarga Naima pasti sudah tahu kalau Naima sudah tak perawan, itu sebabnya mereka bersedia membayar mahal untuk lelaki yang mau menikah dengan putrinya.

"Mas!"

Suara Naima membuyarkan lamunan panjang Gala. Lelaki itu tersentak, kembali berdecak kesal.

"Mas kenapa malah melamun? Gimana dengan permintaan Mama?"

"Kamu bawel banget, sih?! Cari akal dong, kerja kek, jualan kek, jangan cuma minta bisanya."

Kesabaran Naima mulai habis. "Kamu 'kan suamiku, Mas. Jadi wajar dong aku minta nafkah. Kenapa kamu malah marah-marah?"

Gala bangkit sambil berkacak pinggang. "Nafkah kamu bilang? Kamu sendiri sudah menjalankan kewajiban sebagai istri, belum?"

"Lho! Aku kan selalu ada di kamar ini, kapan pun siap untuk melayani kamu. Tapi kamu sendiri yang menghindar, Mas. Setiap malam kamu pergi, pulang dini hari. Kenapa sekarang kamu malah menyalahkan aku?"

"Shit!" Emosi Gala terpantik. "Kamu sadar nggak dengan kesalahan kamu? Kamu itu wanita kotor! Mengaku perawan padahal sudah ternoda! Aku bukan pria bodoh yang mau memakai bekas orang. Sampai kapanpun aku tak sudi lagi menyentuh kamu. Kalau bukan karena terikat perjanjian dengan mama kamu, aku sudah akhiri pernikahan ini! Jangan macam-macam kamu, ya!"

Gala emosi, tanpa sadar mulutnya pun terlepas mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia antara dirinya dan keluarga Naima. Untung saja saat itu perhatian Naima sedang tertuju pada kalimatnya yang lain, sehingga ia tidak menyadari Gala yang keceplosan.

"Jadi mau kamu apa, Mas? Aku sudah berulang kali katakan pada kamu, aku bahkan sudah bersumpah, tetapi kamu tetap tidak percaya. Sekarang aku harus bagaimana?" tanya Naima dengan suara bergetar.

Ia lelah dengan pertengkaran yang terus terjadi setiap kali mencoba berkomunikasi dengan Gala. Naima yakin, mertua dan saudara ipar lainnya pasti mendengar pertengkaran mereka, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya, seolah mereka sudah tahu kalau hal ini akan terjadi.

"Terserah kamu. Mengapa bertanya padaku?"

Naima mengusap air mata yang meleleh di pipinya. Ia mengangkat kepala, mencoba untuk tetap tegar di hadapan lelaki yang masih berstatus suaminya itu.

"Mas tidak mau memberiku uang belanja?"

Gala mendengus, tetapi ia tetap mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Nih! Aku cuma bisa kasih segini. Cukup nggak cukup, kamu cukupi aja!" Dengan kasar Gala melemparkan beberapa lembar uang ke meja rias di samping Naima.

Meski tidak suka dengan cara Gala memberikan uang itu, Naima tetap mengambilnya. Bukan perkara dirinya tak mampu, tetapi apa yang Gala berikan adalah hak-nya sebagai istri. Ia tidak akan merasa rendah diri menerima uang itu.

Tangan Naima bergetar saat mengetahui jumlah uang yang Gala berikan. Menguatkan hati, Naima mengangkat kepala untuk kembali menatap Gala. "Hanya 600 ribu, Mas? Mas yakin cuma mampu memberiku sebanyak ini untuk sebulan? Bukannya Mas kerja di perusahaan besar? Mas tau nggak? Makan malam tadi aja, tagihannya sampai 500 ribu, lho. Gimana aku menutupinya kalau Mas cuma kasih segini?"

"Pakai uang kamu dong. Kamu dulu 'kan kerja, pasti ada tabunganlah, nggak mungkin enggak."

Naima menghela napas berat. "Tabunganku ada, tapi nggak banyak. Nggak bakal cukup kalau dipakai untuk pengeluaran sehari-hari sebesar ini."

"Itu 'kan karena kamu beli di luar. Kalau masak sendiri pasti lebih murah."

"Ya, aku tau. Tapi 600 ribu tetap nggak cukup, Mas."

"Aku cuma ada segitu. Kamu tidak mau? Ya udah, sini, balikin!"

Naima cepat-cepat mengantongi uang itu, sebelum diambil kembali oleh Gala.

"Kamu tuh seharusnya bersyukur aku masih mau kasih uang. Lain kali jangan coba-coba menantangku lagi. Aku peringatkan sejak sekarang, karena aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman."

Usai mengatakan semua yang dia inginkan, Gala berdiri, lalu masuk ke kamar mandi, meninggalkan Naima yang masih duduk termenung di depan meja riasnya.

'Enam ratus ribu sebulan, sama saja dengan 20 ribu per hari, 'kan? Mana mungkin cukup. Ya, Tuhan. Mengapa semua jadi begitu rumit.' Naima kembali menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya.

Terkadang timbul keinginan untuk mengadu pada papanya, mengapa pernikahannya tidak seperti yang ia bayangkan? Tetapi, Naima menahan keinginan itu karena tidak mau dimarahi oleh Asmita, ibunya. Wanita itu pasti akan mengomeli Naima, karena ia menganggap Naima tidak bersyukur.

Kalau saja Naima tahu pernikahannya seperti neraka begini, ia tidak akan menerima lamaran Gala waktu itu. Lebih baik menjomblo saja. Dijuluki perawan tua juga tidak masalah. Toh, selama ini meski sering diledek, tetapi dia tetap bahagia dengan kesendiriannya.

"Maaf, Mas. Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi uang segini memang tidak cukup," ungkap Naima begitu Gala keluar dari kamar mandi.

"Ya, pandai-pandai kamu mengaturnya lah. Aku cuma bisa kasih segitu."

Ketus.

Sepertinya sudah menjadi template Gala di depan Naima sekarang. Dan Naima pun sudah tidak memedulikannya lagi. Energinya sudah terkuras habis untuk mengurus pekerjaan rumah, jadi tak ada lagi yang tersisa untuk berdebat. Apa lagi berdebat dengan Gala yang tidak akan memberi celah sedikitpun bagi dirinya untuk menang.

"Tidak apa. Aku juga tidak akan menuntut lebih," sahut Naima. "Tapi ... tolong izinkan aku untuk berkerja. Seperti yang Mas udah tahu, sebelum menikah aku juga bekerja, dan hari ini adalah hari terakhir aku cuti."

"Oh, kerja di toko itu, 'kan?"

Naima mengangguk.

"Emang gajinya berapa sih? Trus ... kalau kamu kerja, yang ngerjain pekerjaan rumah siapa? Aku nggak mau kamu kelelahan, ya. Bukan karena kasihan, tapi aku nggak mau repot ngurusin kamu kalau sakit."

Dada Naima kembali nyeri bagai dihantam palu besar. Kata-kata Gala begitu tajam, menusuk ke hatinya. Tidak ada tersirat sedikitpun kasih sayang di suara lelaki yang berstatus suaminya itu.

"Aku heran sama kamu, Mas."

"Heran kenapa?"

"Sikap kamu, 180 derajat berubah dari sebelum kita menikah. Apakah tidak ada lagi rasa cinta yang tersisa di hatimu untukku?"

"Setelah kamu terbukti membohongiku? Hahaha. Aku bukan malaikat, Naima."

"Mas ...."

"Jika kamu masih ngotot membicarakan hal ini, lupakan saja semua yang kita bicarakan tadi. Kamu tidak boleh bekerja di luar, sebagai gantinya kamu harus kerjakan semua pekerjaan di rumah ini dengan baik."

Gala beranjak, tapi Naima kembali menahan tangannya.

"Apa lagi sih, Nai?"

"Aku akan kerjakan semua pekerjaan rumah. Tetapi, please. Tolong izinkan aku bekerja. Kalau tidak bagaimana aku bisa menutupi kekurangan biaya rumah yang dibebankan Mama?"

"Sekali tidak, tetap tidak. Jangan coba-coba membangkang, Nai! Atau aku akan bongkar semua aib kamu di depan keluarga. Aku jamin, Mama pasti akan menendang kamu keluar dari rumah ini!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   26. Berjuang di Perantauan

    Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   25. Kenyataan Pahit

    "Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   24. Tidak Memiliki Tempat Pulang

    "Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   23. Ciuman Mesra

    Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   22. Awal yang Berat

    "Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   21. Pekerja Paruh Waktu

    Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status