Share

7. Pelecehan

Author: Cathalea
last update Huling Na-update: 2023-08-12 00:30:24

Naima yang masih bingung dengan apa yang terjadi semakin bingung mendengar pertanyaan Madina. 'Apa maksudnya semua karena aku?' batin Naima sambil membalas tatapan Madina.

"Aku nggak ngerti maksud Mbak. Kuakui aku salah karena memakan sandwich bagian Mbak, tetapi mengapa Mbak salahin aku atas pertengkaran kalian? Aku bahkan diam aja lho sejak tadi."

Madina semakin geram mendengar pembelaan diri Naima. "Kamu salah karena nggak siapin sarapan aku sejak awal! Itu adalah pangkal mulanya Mas Gilang marah padaku! Dia bilang aku manja dan manfaatin kamu. Padahal tugas ini kan Mama yang nentuin. Bukan aku!" Madina berkacak pinggang dengan suara melengking.

"MADINA! KAMU MAU SAMPAI KAPAN DI SANA?! Gilang murka karena Madina tak kunjung datang. Klakson mobil ia tekan berkali-kali agar Madina segera keluar.

Madina yang belum puas memarahi Naima terpaksa menahan diri karena Gilang sudah memanggilnya dengan tak sabar. Sambil menghentakkan kaki dengan kuat, Madina pun menyusul Gilang yang sudah siap di belakang kemudi.

Naima masih duduk terdiam di meja makan.

Rumah seketika terasa sepi setelah kepergian Gilang dan Madina. Gala tidak ada di rumah, katanya ada pekerjaan di luar kota.

Begitu pun anggota keluarga yang lain. Naima tidak tahu kapan Maisya berangkat, mungkin di saat dirinya sedang ribut-ribut dengan Madina tadi wanita itu menyelinap pergi. Gema mungkin masih tidur atau mungkin tidak pulang semalam. Abang iparnya yang satu itu sangat jarang terlihat di rumah. Sesekali ada hanya saat makan siang atau makan malam. Sementara itu ibu mertuanya sedang jalan-jalan ke luar kota bersama teman-temannya.

Untuk beberapa saat Naima duduk termangu di meja itu, menikmati kesepian yang kini menjadi hal yang langka dalam hidupnya. Selama ini dirinya juga tidak dekat dengan hiruk pikuk dunia, di rumah orang tuanya pun Naima lebih sering menghabiskan waktu di kamar, tetapi setidaknya ia bisa menikmati kesendirian itu dengan melakukan hal yang menyenangkan. Membaca, menulis, menggambar, atau bermain gam di ponselnya.

Sementara sekarang, dari bangun tidur hingga tidur lagi dirinya sibuk dengan rutinitas rumah tangga yang seolah tidak ada habis-habisnya. Duduk sendiri, membiarkan waktu berlalu tanpa melakukan apa-apa adalah hal yang sangat mustahil ia lakukan sekarang terutama di saat anggota keluarga lainnya sedang ada di rumah.

Naima menghela napas panjang.

"Berhenti meratapi nasibmu, Nai. Bangkitlah, lalu lihat ke sekelilingmu. Rumah masih belum disapu, tumpukan piring kotor masih menggunung, dan cucian masih menunggu untuk diputar. Tidak ada waktu untuk berleha-leha!" Naima menyemangati dirinya sendiri. Ia berdiri, kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Hampir dua jam, akhirnya Naima selesai juga mengerjakan semua pekerjaannya. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia memutuskan untuk mandi dulu, setelah itu baru masak untuk makan siang.

Badan dan pikirannya terasa segar setelah selesai mandi. Masih dengan handuk membungkus kepala, Naima berjalan menuju kulkas, lalu mengeluarkan bahan-bahan yang akan ia olah hari ini.

Naima fokus memilih bahan tanpa sadar sepasang mata tengah menatapnya lapar. Ia baru terkesiap kaget ketika tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang.

"Siapa kamu?! Lepaskan aku!" teriak Naima yang sadar kalau orang yang sedang memeluknya adalah orang asing. Meski Gala tidak pernah lagi memeluknya, tetapi ia hapal aroma parfum lelaki itu.

Naima meronta, seketika berbalik untuk melihat orang itu. "Mas Gema?!" pekik Naima dengan mata membesar.

"Halo, Adik Ipar. Wangi banget pagi ini. Baru mandi, ya?" Tangan kurang ajar Gema terangkat, bergerak lancang membelai pipi Naima.

Tentu saja Naima langsung menepis tangan itu dengan kasar. "Jangan kurang ajar, Mas! Ingat aku istri adikmu!" sergah Naima seraya mendorong tubuh Gema menjauh.

"Aku nggak mabok, Nai. Tentu saja tahu kamu istrinya Gala," sahutnya dengan seringai yang terlihat menjijikkan di mata Naima. "Tapi ... aku juga tahu kalau adikku itu tidak pernah lagi menyentuhmu setelah malam pertama kalian. Dia kecewa karena kamu ... ternyata ... tidak perawan." Dua kata terakhir diucapkan Gema dengan setengah berbisik membuat Naima semakin merasa jijik.

Namun, rasa jijik itu kalah oleh rasa kagetnya. Naima kaget karena Gema mengetahui permasalahannya dengan Gala. 'Mas Gala keterlaluan. Katanya tidak akan mengatakan tentang malam pertama kami pada siapa pun. Tetapi kenapa Mas Gema sampai tahu?' umpat Naima di dalam hati.

"Wajah kamu berubah pucat, Nai. Berarti yang aku katakan benar, dong? Hahahaha ... aku pikir Gala bercanda waktu cerita malam itu. Ternyata beneran? Waaah, aku tidak menyangka ternyata kamu sudah pro, ya? Aku pikir masih amatir, lho!"

Gema semakin kurang ajar. Sekarang ia memepet tubuh Naima ke dinding dapur, tangannya mulai meraba paha Naima yang hari itu cukup terbuka karena dia hanya mengenakan daster selutut.

"Karena Gala bukan yang pertama, berarti aku juga boleh mencicipi kamu dong, Nai. Aku penasaran pengen ngerasain tubuh kamu yang sintal ini."

PLAK!

Tangan Naima mendarat di wajah Gema.

"Berengsek kamu, Mas! Menjauh dariku atau aku akan teriak!" ancam Naima. Tangannya kembali mendorong tubuh Gema untuk menjauh, tetapi kali ini gagal. Gema semakin merapatkan dirinya ke tubuh Naima, membuat Naima semakin terpojok.

"Teriak aja, Nai. Yang akan rugi kamu, bukan aku. Nanti aku tinggal bongkar semua aib kamu di hadapan orang-orang. Kamu pikir warga di perumahan ini akan lebih mendengar kamu atau aku?"

Gema tak peduli dengan ancaman Naima, tangannya kembali menyusuri paha Naima, kali ini bergerak liar menuju area pribadinya, sementara bibirnya sibuk meraih bibir Naima yang terus meronta dan menghindar.

Naima panik. Ia tidak mau diperkosa oleh lelaki ini. Akan tetapi, ia juga tidak berdaya. Kedua kakinya ditahan oleh kaki Gema, sementara jari lelaki itu mulai menyusup ke celana dalamnya.

"Tidak! Jangan sentuh aku. Lepaskan!" pekik Naima berurai air mata.

Dalam keadaan genting itu, sudut mata Naima menangkap sebuah gelas yang terletak di atas kulkas. Ia yakin gelas itu berada di dalam jangkauannya. Membulatkan tekad, Naima meraih gelas itu lalu memukulkannya ke kepala Gema.

PRANG!

Gelas itu hancur seketika, sementara Gema mengaduh sambil memegangi kepalanya yang luka.

"Sialan! Dasar perempuan jalang!"

"Diaaam! Aku bukan perempuan jalang! Aku wanita baik-baik, bukan wanita murahan yang bisa kamu jamah sesuka hati!"

Tanpa Naima duga, Gema justru tertawa terbahak-bahak.

"Kamu pikir kami di rumah ini tidak tahu siapa kamu, heh? Kamu itu hanya anak angkat yang tidak tahu diri. Kamu adalah anak pelacur yang diselamatkan oleh Mahesa! Apa yang kamu banggakan, heh? Kamu tidak beda dengan ibumu yang pelacur itu. Jalang murahan yang dengan suka rela membuka kakinya di depan banyak pria."

PLAK!

Gema tersungkur, tetapi bukan karena Naima, melainkan karena pukulan seseorang yang kini berdiri dengan sepasang mata yang menatapnya tajam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   26. Berjuang di Perantauan

    Bentakan diiringi tatapan nyalang menyambut kedatangan Naima di rumah masa kecilnya itu. Asmita berkacak pinggang, menghalangi langkah Naima yang hendak memasuki rumah."Ma, bisa izinkan aku masuk dulu? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama dan juga Papa."Asmita menggeleng. "Mahesa sedang ke luar kota. Sebentar lagi saya juga harus pergi arisan."Naima melirik penunjuk waktu yang ada di layar ponselnya, tertera angka 17.15 di sana. Arisan apa yang diadakan sore menjelang malam? Naima menghela napas panjang, dia tahu Asmita berbohong karena tidak ingin dirinya berlama-lama di rumah itu."Hanya sebentar, Ma."Asmita berdecak kesal. "Sebenarnya kamu itu mau bicarain apa sih? Harus sekarang juga? Merepotkan!" Dia masuk, lalu duduk di kursi tamu. "Buruan sini, ngapain buang-buang waktu dengan bengong di situ?"Mengabaikan sikap jutek ibu angkatnya itu, Naima pun menyusul masuk, lalu duduk berhadapan dengan Asmita."Begini, Ma. Aku cuma mau kasih tau kalau mulai hari ini aku keluar dari

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   25. Kenyataan Pahit

    "Aku paling benci dengan orang yang menggunakan kekerasan, apalagi jika itu dilakukan di perusahaan ku!" Sena menatap tajam pada Gala yang wajahnya seketika memucat. Bagaimana Gala tak akan pucat jika dirinya tertangkap basah oleh sang direktur perusahaan tempat ia mencari nafkah. Gala jadi khawatir dengan apa yang Sena pikirkan tentang dirinya. Susah payah dia membangun citra positif sebagai karyawan baik selama ini, bisa hancur jika Sena sampai berpikir dirinya adalah pria bar-bar yang melakukan kekerasan pada perempuan."I-ini ti-tidak seperti yang Bapak pikirkan kok, Pak," jawab Gala dengan suara terbata. "Saya hanya sedang berusaha untuk ... mendisiplinkan istri saya." Sena menatap Naima, beberapa saat mengernyitkan kening karena merasa mengenali Naima. 'Oh, iya. Dia karyawan toko Mama yang waktu itu,' gumam Sena di dalam hati. Jawaban Gala membuat Sena ingin segera menarik diri, tetapi ia kembali teringat pada momen di saat mobilnya menyenggol Naima waktu itu. Bagaimana lusuh

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   24. Tidak Memiliki Tempat Pulang

    "Mas Gala!"Gala yang sedang terlena dengan permainan lidah itu pun spontan melepaskan pagutannya. Raut wajahnya berubah saat melihat Naima berdiri hanya terpaut beberapa langkah darinya."Ngapain kamu di sini?" sergah Gala penuh amarah."Siapa wanita ini, Sayang?" tanya Sandra sambil bergelayut manja di lengan Gala."Bukan siapa-siapa. Kamu tunggu di mobil, ya, biar aku bicara dulu dengannya." Suara Gala terdengar sangat lembut di telinga Naima. Naima menggigit bibir, hatinya perih melihat perbedaan sikap Gala terhadap wanita yang Naima yakini merupakan pacar sang suami. Tanpa sadar Naima keterusan memandangi Sandra yang berjalan menjauh, sehingga ia terkejut sekali ketika tiba-tiba Gala menarik tangannya, menyeret Naima menjauh."Cepat katakan ... kenapa kamu sampai berada di sini?" tanya Gala dengan mata membesar."Aku ada urusan pekerjaan di sini. Mumpung masih jam makan siang, aku mau mengajak kamu makan bareng, eh ... nggak tahunya kamu udah kenyang makan yang lain," sindir Nai

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   23. Ciuman Mesra

    Pukul lima pagi, alarm ponsel Naima berdering. Ia segera mematikan alarm itu agar Gala tidak terganggu. Beringsut turun dari ranjang, Naima pun memulai rutinitasnya seperti biasa."Kamu mau bikin apa, Nai?" tanya Madina saat melihat Naima membuka kulkas."Nasi goreng, Mbak."Madina berdecak kecewa. Reaksinya selalu begitu setiap kali Naima memasak nasi goreng dan mie goreng. Katanya terlalu berminyak, ia lebih suka makan sandwich atau roti dengan selai kacang."Emangnya nggak ada roti?""Roti habis, Mbak. Saya lupa beli kemarin."Madina mendengus kesal. "Tugas kamu itu cuma belanja lho, Nai! Bukannya mencari uang. Tugas sepele aja nggak bisa. Nggak becus amat sih jadi orang."Naima menghela napas panjang, tetapi tidak membalas perkataan Madina. Wanita itu selalu punya perbendaharaan kata yang banyak untuk memojokkan dirinya. "Ada apa sih, ribut-ribut?" Gilang ke luar dari kamar, langsung duduk di samping istrinya."Ini, Mas. Naima. Dia udah tahu aku nggak suka makanan yang berminyak

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   22. Awal yang Berat

    "Nama suaminya?"Maharani mengangguk. "Iya. Mama merasa cukup familiar dengan nama lelaki itu, tetapi bisa-bisanya lupa."Sena menghela napas sambil tertawa kecil. "Mending besok Mama tanya sama Naima langsung, dari pada repot-repot begini."."Ih, buat apaaaa? Naima pasti bingung kalau Mama sampai nanyain hal itu. Apa gunanya coba Mama tahu nama suaminya?""Nah, itu ... Mama tahu, kenapa masih dicari juga?"Maharani mendengus kesal. "Kamu ngerti nggak sih apa yang Mama bilang tadi? Sekilas Mama sempat baca namanya di kartu undangan, waktu itu Mama sempat membatin, 'kok Mama rasa-rasa kenal dengan nama suaminya.' Tapi karena waktu itu Mama lagi sibuk, Mama ngga cari tahu lebih jauh. Tapi, setelah bertemu dengan Naima setelah dia menikah, Mama merasa kehidupan Naima itu berubah. Mama yakin sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Karena itu Mama jadi penasaran dengan sosok suaminya itu!"Maharani menjelaskan panjang lebar agar Sena mengerti. "Berubah bagaimana maksud, Mama?""Kam

  • PRAHARA CINTA PERAWAN TUA   21. Pekerja Paruh Waktu

    Naima menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, setelah itu pergi ke toko Qishan Furniture. Tidak ingin menarik perhatian, sesampai di toko ia langsung menghubungi Maharani. Maharani yang memahami situasi Naima, menunjuk asistennya untuk menjemput Naima di showroom, langsung membawa Naima ke ruangan Maharani di lantai tiga."Maaf, saya jadi merepotkan Ibu," kata Naima sambil menundukkan kepala dengan dalam."Tidak perlu sungkan, Nai. Saya paham situasi kamu. Kamu menghindari rekan-rekan kerja kamu karena tidak ingin mereka bertanya-tanya tentang pernikahan kamu, 'kan?""Iya, Bu. Apa lagi sebagian mereka kenal dengan suami saya. Saya nggak mau kedatangan saya ke sini sampai ke telinga dia."Maharani menghela napas berat, kasihan melihat kondisi rumah tangga Naima yang ia yakini jauh dari kata bahagia. Ia ingin menyarankan Naima untuk berpisah saja, tetapi ia juga tidak berani, karena Maharani yakin pasti ada alasan kuat mengapa Naima bertahan di dalam pernikahan itu."Mengenai pekerjaan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status