Yogyakarta, di suatu hari yang terik.
Prameswari turun di terminal bus Giwangan dengan perasaan bercampur aduk menjadi satu. Marah, kecewa, benci, takut tapi juga sedih. Dalam benaknya yang sehancur Bantul seusai diguncang gempa tahun 2006 silam, berjejalan banyak pertanyaan tentang Abah dan Ummi yang telah sampai hati menjodohkannya dengan Ustadz Rayyan. Sosok yang selama ini menjadi bahan candaan di kalangan santriwati, termasuk dirinya sendiri. Mengapa begitu?
Karena Ustadz Rayyan masih belum menikah juga padahal umurnya sudah empat puluh lima tahun. Ustadz Lapuk. Begitulah Prameswari dan teman-teman memberikan label padanya. Siapapun orangnya, jika ketahuan berpapasan atau berdekatan dengannya, pasti habis, dibercandai. Bahkan, tak jarang juga jadi bahan olok-olokan di sepanjang hari. Oleh karenanya, tak seorang pun santriwati di Pondok Pesantren Al-Hidayah mau berurusan dengan Ustadz Rayyan. Termasuk Prameswari, meskipun kadang-kadang Abah atau Ummi menitipkan sesuatu untuk Ustadz Rayyan melalui dirinya. Sebisa mungkin, dia menciptakan alasan. Terlambat, tergesa-gesa atau apa saja, yang membuat mereka membatalkan untuk menitipkan sesuatu itu padanya.
'Apa sih, yang membuat Abah sama Ummi begitu?' tanya hatinya yang semakin remuk redam, 'Mereka kan tahu, Ustadz Lapuk sudah setua itu? Tega, tega, tega! Kenapa mereka setega ini padaku?' tanya hatinya lagi, kali ini sambil mengamati sekitar yang terasa asing baginya, 'Jahat, semua jahat!'
JOGJA - JAKARTA
JOGJA - SOLO
JOGJA - MAGELANG
Prameswari mengeja plakat bercat hijau dengan tulisan putih yang ada di depan sana. Sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri. Sekeras mungkin, dia mengingat-ingat petunjuk yang diberikan Meyka, sahabat baiknya di facebook. Dia nggak berani mengeluarkan ponsel di keramaian---seperti yang diajarkan Meyka---jadi nggak ada jalan lain kecuali menggunakan ingatannya dengan baik. Ingatan yang sebenarnya tajam dan cemerlang jika bukan dalam keadaan sedarurat ini. Antara hidup dan mati.
"Kamu jangan sekali-kali ngeluarin hp di terminal ya, Ri? Bahaya!" begitulah pesan Meyka tadi malam sebelum dia benar-benar kabur dari rumah, "Dari terminal Giwangan, kamu ke luar. Sampai di luar, cari halte bus trans …!"
Prameswari tersenyum tipis sekarang, karena sudah berhasil mengingat dengan baik apa yang dikatakan Meyka. Sekarang, tanpa berpikir panjang dan berliku-liku, dia berjalan ke luar terminal. Meskipun sudah mati-matian menguatkan hati, tetap saja langkahnya gontai. Oleng, seperti layang-layang yang baru saja putus dari gulungan benangnya. Ditambah dengan wajah yang pucat berkeringat, sempurnalah sudah penampilannya hari ini, kusut masai kuadrat. Untung, tengah hari. Kalau nggak? Bisa-bisa, dia jadi santapan preman jalanan!
Sesampainya di halte bus trans Jogja, Prameswari langsung bergegas menuju loket pembelian tiket. Napasnya naik turun setelah berjalan kaki cukup jauh dari terminal bus. Tak tanggung-tanggung, wajahnya sekarang sudah bukan pucat berkeringat lagi tapi biru banjir. Untung nggak terlalu banyak antrian, hanya tiga orang di depannya. Jadi, Prameswari bisa menghela napas lega untuk pertama kalinya setelah berhasil kabur dari rumah.
Sebenarnya, dia juga meneteskan air mata karena teringat Ummi. Dia berpikir, Ummi pasti sedih dan hancur dengan kepergiannya yang seperti ini. Tapi, apa boleh buat? Ummi juga nggak bisa membelanya di depan Abah. Nggak berdaya, untuk lebih tepatnya. Cara apa lagi yang bisa membuatnya selamat dari perjodohan yang sangat sangat sangaaat menyedihkan itu? Nggak ada lagi, hanya ini. Ya, yaaahhh, meskipun tadi sebelum berangkat, hatinya sempat digelayuti keragu-raguan.
"Maafkan Wari, Ummi." bisiknya lirih,"Tapi Wari harus pergi, Ummi. Wari nggak mau nikah sama Ustadz Rayyan, sampai kapan pun, nggak mau. Karena cinta dan harti Wari hanya untuk Mas Eiden."
"Apa, Mbak?" kata petugas dari dalam loket menyentakkan kesadaran Prameswari, "Tujuannya ke mana, Mbak?"
Malu dan gerapan, Prameswari menjawab, "Sa saya ma mau ke Condong …?"
Kata-kata Prameswari terpotong begitu saja karena tiba-tiba bayangan Abah yang sedang murka muncul dalam benaknya dengan sempurna. Membara. Sementara Ummi hanya bisa berlinang-linang air mata di hadapannya.
"Oooh, Condong Catur?" tanya petugas dengan hangat, ramah dan sopan.
Prameswari mengangguk, tersenyum tipis lalu mengangsurkan selembar uang sepuluh ribu dan menerima selembar tiket bus untuknya. Sekarang, wajah pucat itu mulai terpulas warna lain, merah muda. Cantik.
***
Sejauh mata Prameswari memandang, yang ada di dalam benaknya hanya Ummi dan Abah. Marah sekali rasanya setiap kali teringat bagaimana tiba-tiba Abah mengatakan, "Wari, sekarang kan kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu menyempurnakan ibadahmu dengan menikah. Siapkan dirimu Wari, karena besok malam, Ustadz Rayyan akan mengkhitbah kamu!"
Duaaarrr!
"Apa Bah, Ustadz Rayyan mau mengkhitbah Wari?" Prameswari bertanya dengan kemarahan yang berkobar-kobar hingga ke ubun-ubunnya, "Nggak salah, Bah?" tanya Prameswari lagi tanpa bisa dicegah, "Abah yakin, kalau Ustadz Lapuk bisa membahagiakan hidup Wari?"
Plaaakkk, plaaakkk!
Abah melayangkan tamparan mautnya ke pipi Prameswari, kanan dan kiri hingga meninggalkan bekas jari tangan di sana. Ummi yang menjerit tertahan di samping Abah, tak mampu menghentikan gerakan ringan telapak tangan Abah. Begitu juga dengan jerit tangis kesakitan Prameswari, sia-sia. Abah sudah terlanjur murka.
Tilulit, tilulit!
Ringtone chat di whatsapp memberai ingatan Prameswari tentang Ummi, Abah dan Ustadz Rayyan. Seketika konsentrasinya tertuju pada chat yang baru saja masuk. Harapannya membuncah, semoga itu Meyka. 'Eh, ya Meyka, lah. Siapa lagi? Dia kan satu-satunya yang tahu nomer whatsapp-ku?' batinnya mempertegas buncah harapan di hatinya.
Chats (11) Status Calls (7)
Ternyata, selain chat, Meyka juga voice call sebanyak tujuh kali. Karuhan saja nggak terangkat, benak Prameswari terlalu padat. Overload.
Meyka:
[Ri, km udh smpe mana?]
[Kabari ea kalo dah smpe?]
[Aku tunggu di halte bus trans concat]
[Jgn smpe slh turun ea?]
[Reply!]
[Aq dah di sini]
Dengan perasaan mengharu biru, Prameswari membalas chat Meyka. Dikatakannya kalau dia sudah di atas bus trans, seperti yang dipesannya kemarin. Dia juga cerita, kalau rasanya gemetar, hampir pingsan karena menahan lapar. Uangnya hanya tersisa tujuh ribu rupiah lagi.
Namanya juga Meyka, bukannya sedih atau bagaimana, malah mengirimkan emotikon senyum lebar sekali pada Prameswari. Kontan, Prameswari cemberut dan mengomel panjang kali lebar sama dengan luas persegi panjang, di chat room. Hehe. Dua sahabat baik di facebook itu sekarang saling balas chat di whatsapp dengan santainya. Dari hati ke hati. Eh, salah. Dari jari ke jari. Hehe. Iyalah, dari hati ke hati. Jari kan, hanya perantara hati?
Tilulit, tilulit!
Meyka:
[Ea udh ea Ri? Ati2]
[Aq tunggu ea? Bntr lg smpe kug!]
Lemas, gemetar dan pusing karena kelaparan, Prameswari mengetik chat balasan untuk Meyka, [Ya. Makasih banyak sebelumnya ya, Mey?]
Sayang sekali! Prameswari, gadis berumur delapan belas tahun dan baru saja menamatkan pendidikannya di SMU itu nggak tahu, kalau sebenarnya Meyka yang selama ini dia kenal dengan baik di facebook itu seorang laki-laki paruh baya. Dia, menggunakan aplikasi perubah suara setiap kali menelepon Prameswari. Sehingga yang dia tahu, Meyka benar-benar seorang gadis belia, sama seperti dirinya. Ah, sungguh disayangkan juga, Prameswari nggak begitu memperhatikan mengapa Meyka selalu menolak jiga dia Mengajaknya video call.
Apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu nanti?
Apakah Prameswari kuat menghadapi semua kenyataan pahit ini?
"Neng Wari, sekarang kamu sudah sah menjadi istri Ustadz Rayyan." Abah memegangi kedua pundak Prameswari. "Abah bermaksiat kepadamu, jadilah istri yang shalihah ya, Neng Wari? Taatilah suamimu, jangan kecewakan hatinya. Semoga Allah menjadikan kalian keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah dan barakah."Tak urung jua, air mata Abah merembes hangat. Menetes-netes deras, selayaknya gerimis sehingga Prameswari tersentuh keharuan yang begitu mendalam. Tak terasa, tangisnya pun merebak. Membuncah tumpah ruah dalam pelukan kasih sayang Abah."Neng Wari, sudah Neng." ucap Abah lirih, sembari melepaskan pelukannya, "Abah yakin, ini yang terbaik dari Allah untuk kamu. Insya Allah Ustadz Rayyan hamba yang shalih dan amanah, Neng. Kamu tak perlu khawatir. Ada Allah yang akan selalu menjaga dan melindungi kamu. Ingat ya Neng, kalau kamu
"Wa Wari!" Audry memanggil dengan suara parau, "Tunggu, Wari?"Prameswari menghentikan langkah, memutar setengah badan menghadap Audry. "Ya, Audry?"Prameswari berusaha menggambar senyum untuk sahabat baik sekaligus Ummi barunya itu, menghalau rasa sesak yang memaksa masuk ke dalam rongga dada. Ini bukan kesalahan Audry, bukan. Siapa yang punya kuasa untuk mengusik kehendak Allah? Berat seperti apa pun, Prameswari mengharuskan diri untuk bisa menerima Audry sebagai umminya. Toh, selama ini mereka sudah bersahabat baik, bukan? Tak ada hal yang perlu disangsikan lagi. Satu lagi, Ummi sudah tenang dan bahagia di alam sana. Tak ada kaitan apa-apa lagi dengan kehidupan dunia."Wa Wari sudah makan?" tanya Audry penuh perhatian, "Maaf ya, tadi aku eh Ummi diajak Abah ke
"Syukurlah, suhu tubuh kamu sudah mulai normal, Yuka!" Prameswari memberi tahu sahabat dekatnya itu sembari menggambar senyum simpul gembira, "Kami khawatir banget tahu, semalam?" sebagai pemanis rasa syukur, Prameswari mencubit kecil pinggang Yuka. Gadis berdarah Jepang - Indonesia itu pun meringis kesakitan, namun tawa lirihnya terdengar melegakan."Duh, makasih ya Wari?" ungkap Yuka dengan mata berkaca-kaca merah, "Audry juga. Eh ke mana dia, Wari? Oooh, ehem ehem baru siap-siap ya? Nanti malam kan, ada yang mau datang. Hihihi … Wari, kita harus cepet-cepet nyari kado spesial nih, buat si Calon Pengantin?"Audry pura-pura marah dan menjerit menja dari balik gorden pembatas kamar, "Iiihhh, Yuka!"Bukan Yuka namanya kalau tidak malah tertawa cekikik
"Ning Wari?" tak ada lagi keberanian yang tersisa dalam diri Evan, meskipun hanya untuk sekadar mengangkat wajah. Hanya bisa menunduk malu oleh karena perbuatan jahatnya pada Prameswari dulu.Sebenarnya Prameswari sempat ragu untuk menyapa Evan, tetapi akhirnya terucap juga dari mulutnya yang kering dan pahit. "Evan!"Resmilah sudah, itu adalah sapaan pertama Prameswari untuk Meyka palsu setelah pertemuan singkat mereka di Al-Hidayah beberapa bulan yang lalu. Pertemuan singkat yang mampu mengungkap segala tindak kejahatan Evan. Lebih tepatnya setelah Abang menjebloskannya ke dalam penjara."Apa kabar kamu, Evan?" Prameswari bertanya sambil menarik pandangan turun ke lantai ruang pengunjung nara pidana. Tercekat lagi kerongkongannya sehingga hanya itu yang m
Dari tempatnya berdiri, tak jauh dari rak buku di belakang Prameswari, Ustadz Rayyan menatap malu-malu. Dia hanya mengambil hak pandangan pertamanya, lalu menunduk lagi setelah itu. Membaca baris-baris kalimat yang tertulis dengan apik dan rapi di buku motivasi yang ingin dibelinya nanti.Tak pernah menyangka sebelumnya, kalau di sore yang gerimis ini, akan bertemu dengan Prameswari, sungguh. Jangankan berharap, sedangkan untuk sedikit memikirkan pun Ustadz Rayyan tak memiliki cukup keberanian. Sampai detik ini, semenjak tragedi perjodohan yang ditawarkan Abah dulu, sebisa mungkin dia melupakannya.Pasrah. Menyerahkan urusan itu pada Allah. Terlebih setelah menyadari kalau Prameswari mengalami sesuatu yang bernama amnesia atau hilang ingatan. Dia selalu berjuang untuk mengutuhkan tawakal dalam dada. Percaya sepenuhnya, kalaulah
"Wari!" Yuka memanggil dari balik gorden yang membatasi kamar mereka, "Kamu sudah tidur belum, Wari?"Sebenarnya Wari sudah mengantuk tapi karena Yuka memanggil, dia kembali duduk di tepi tempat tidur. Memandang ke arah tempat tidur Yuka sambil memeluk selimut yang masih terlihat rapi."Ada apa, Yuka?" Prameswari bertanya dengan memelankan suara, takut mengganggu Audry. Di antara mereka bertiga, Audry-lah yang memiliki jam tidur paling awal."Aku boleh ke kamarmu, sebentar?" Yuka balik bertanya membuat Prameswari tersenyum geli."Boleh," sahut Prameswari dengan dahi berkerut. Selama mereka menuntut ilmu di AISYAH baru kali ini Yuka seperti ini. Biasanya, menunggu pagi dulu baru menemui Prameswari. Kecual