Jantung Laurent memompa lebih cepat saat kakinya kembali menapaki kota tempat kelahirannya. Pras yang setia berdiri di sampingnya pun bisa merasakan jemari dingin dan basah Laurent yang ia genggam.
Lebih dari delapan tahun ia tak pulang. Perkembangan kota Manado sungguh pesat. Kota tampak ramai walau Laurent melihatnya dari dalam mobil SUV putih yang di sewa Pras selama mereka di sana.
"Rent, kita nginap di hotel yang paling bagus di sini, karena aku tau tempat tinggal mu-" Laurent mengangguk. Ia tersenyum menatap Pras yang menyetir mobil.
"Langsung ke pemakaman atau mau ke hotel?" tanya Pras lagi.
"Langsung aja. Tapi mampir ke toko bunga, aku mau beli untuk mereka. Tapi- aku lupa alamat toko bunganya."
"Ada GPS, Rent." Pras memainkan ponsel di tangannya. Laurent merasa b
Desahan nafas dari dua manusia itu membuktikan apa yang mereka rasakan di dalam diri masing-masing. Dengan bringas namun mampu membuat Laurent terbuai, Pras terus menikmati apa yang saat itu ada di hadapannya. Tubuh mulus Laurent begitu indah di pandangan matanya. Raut wajah penuh kenikmatan karena Pras begitu luar biasa memasuki area sensitifnya begitu membuatnya terbakar dan nikmat bersamaan. Katakan mereka kebablasan. Semua ini terjadi karena kegemasan Pras dengan wanita yang bersamanya itu. Setelah Laurent tenang, dan tak menangis lagi. Pras kembali berucap jika ia hanya mau menjahili Laurent yang tampak datar-datar saja sikapnya kepada Pras. Laurent marah dan, Flash back beberapa waktu sebelumnya, "Kamu khawatirin aku sampai nangis kayak gini pasti ada
Galang dan Aira menatap lekat Pras yang hanya bisa senyum-senyum setelah mereka kembali ke Jakarta dan langsung ke rumah Galang. Laurent tampak malu-malu, bagaimana tidak, Pras bahkan berbicara tentang kebablasannya itu. Aira khawatir. Bagaimana jika tau kondisi Pras yang mandul. Apa ia akan mundur dari hubungan itu? "Jadi- kalian akan tinggal bersama tanpa ikatan sah?" Galang bersedekap. Pras menoleh ke Laurent. "Aku maunya di apartemen sendiri, Lang, tapi tua bangka ini memaksaku. Ia bahkan berjanji menjaga hasratnya itu." Laurent menoleh dan menatap tak yakin dengan janji Pras. "Mana bisa dia tahan," sinis Galang. "Kak, bisa ikut aku sebentar," pinta Aira lembut sambil beranjak. Aira membawa Pras ke kamar anak-anaknya.
Kedua mata Laurent perlahan terbuka. Cahaya terang dari balik tirai yang hanya setengah terbuka masuk menerangi kamarnya. Kedua netranya menatap Pras yang sedang menatapnya. "Aku-" "Pingsan. Apa yang kamu rasain, Rent?" Pras mendekat. Duduk di tepi ranjang. Laurent menggeser tubuhnya sedikit ketengah ranjang. "Lemas," jawab Laurent. "Aku buatkan teh hangat ya, tunggu sebentar." Pras mengecup kening Laurent sekilas. Lalu berjalan ke luar kamar. Laurent diam. Ia duduk perlahan. Menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Tak lama, Pras kembali dengan cangkir teh di tangannya. Sambil tersenyum. Laurent menerima dan meminum teh itu. Matanya menatap Pras yang tampak khawatir. "Aku mau
Tak selalu gaun pengantin berwarna putih dengan ekor panjang menjuntai. Aira yang tak bisa memastikan ukuran tubuh Laurent hanya mampu menerkanya, maka ia menyiapkan gaun panjang berwarna salem.Sedangkan Pras, menggunakan setelan jas miliknya yang berwarna hitam dengan kemeja putih. Tampak biasa dan sederhana.Aira juga membawa mekap artis kenalannya. Mereka pun berdandan di pelataran gereja. Aira menggantikan baju Laurent di toilet gereja."Kakak itu gila. Dalam waktu kurang dari enam jam kita semua kelabakan menyiapkan ini semua. Urus surat-surat untuk didaftarkan pernikahannya kan nggak cepet. Tua bangka gila," omel Aira sambil menggandeng tangan Laurent saat ia keluar dari toilet. Mereka berjalan kedalam mobil SUV hitam itu kembali.Laurent hanya diam dan sesekali tersenyum.
Harum bau rumah sakit bergitu menyengat tercium di hidung mancung Pras. Ia akan menemani Laurent yang akan menjalani pemeriksaan lanjutan.Istrinya itu belum mau memberi tahu sakitnya. Biarkan dokter yang berbicara. Supaya lebih jelas dan tertata setiap katanya.Jemari Laurent membelai wajah sisi kanan Pras. Bulu-bulu halus di wajah Pras sudah mulai tumbuh. Laurent betah terus memainkan jemarinya di sana. Ia duduk di sebelah kiri Pras yang tangan kiri Pras tak lepas memeluk bahu Laurent."Nyonya Laurent Margaretha!" panggil perawat.
Penerbangan mereka lancar. Apartemen yang ditempati Pras, dijaga oleh anak buah Dastan. Begitu pun lokasi ia dan keluarganya tinggal.The Red Dragontak bisa disepelekan, apalagi Hongkong wilayah mereka.Anak buah Dastan memberi tau Pras kalau tim dari intel kepolisian Hongkong sudah datang. Laurent terus berada di sisi Pras. Saat Pras berbicara dengan bahasa cina pun, ia tak paham. Hanya menatap kagum betapa pintar suaminya itu."Laurent,""Ya Pras," tatapan Laurent menangkap ada yang tak beres. Terlihat dari raut wajah suaminya itu."Sepertinya akan berat. Apa dengan kondisi kamu, bisa bertahan?""Untuk? Ada apa sebenarnya?" Laurent berdebar hebat.Feelingnya buruk. Kali ini bukan karena Laura, tapi kepada dirinya."Pedro. Dia menyebarkan video kalian waktu- bersama kepadaThe Re
Hari itu pun tiba, Pras kini bertemu dengan Pedro yang membawa barang bukti video ia dan Laurent. Dastan ada di samping Pras juga. Tentu. Ia akan pasang badan untuk koleganya itu.Senyum dan aura wajah dingin Pedro seakan puas menatap Pras yang akan hancur. Dipikiran Pedro, Pras akan menyerahkan Laurent. Jelas tidak. Laurent diapartemen bersama Dara. Kondisinya tiba-tiba lemah. Ini bisa juga berhubungan dengan kondisi Laura juga."Mana Laura?" tanya Pras. Kekehan sinis tampak di wajah Pedro."Aku mau pelacurku. Di mana dia. Aku-" tatapan Pedro menusuk ke arah Pras."Rindu ingin menjamah tubuhnya. Merasakan dirinya meliuk di atasku, apa, kau sudah merasakannya?" Pedro sedikit memajukan tubuhnya saat berbicara kepada Pras.Istrinya dibicarakan seperti itu oleh Pedro. Ia marah. Sangat. Ingin rasanya merebut senjata yang ada di pinggang Dastan dan menembakan langsung ke kepala Pedro.
Laura dan Laurent begitu identik. Kemiripan mereka hanya beda di tahi lalat yang terdapat di dagu Laura serta tinggi tubuh Laurent yang lebih dari Laura. Laurent mengeringkan rambut Laura denganhairdryer. Ia sisir hingga rapih. Laura menatap kembarannya dari pantulan di cermin."Terima kasih udah temuin aku, Rent," Laura menggenggam jemari Laurent."Kita kembar. Sejauh apa pun kita pisah, suatu saat akan bertemu. Kondisimu gimana, Ra? Maksud ku- sakit mu." Laurent menatap lekat Laura."Aku tinggal tunggu waktu, Rent," wajah Laura sendu. Laurent memeluk Laura dari belakang."Aku juga sakit, Ra. Kanker rahim, stadium dua." Laura melepaskan rengkuhan tangan Laurent di pundaknya."Ya Tuhan, Rent." Laura beranjak dan memeluk Laurent. Mereka menangis berdua. Tangisan itu pecah."Berobat ya, Ra, ayo kita bareng-bareng berusaha sembuh. Pras mau b