Share

Chapter 6

Waktu masih menunjukkan pukul 6 lewat seperempat namun Matthew sudah siap dari 20 menit yang lalu dengan kemeja navy dan celana kain hitam yang melekat sempurna di tubuh proposionalnya. Tak lupa dengan dasi bergaris yang berwarna sepadan dengan kemejanya yang sedari tadi ia pastikan melekat sempurna di antar kerah kemejanya.

Sama halnya dengan pantofel hitam yang ia kenakan, di pastikan untuk tetap mengkilat di bawah sana.

Acara kelulusannya akan di mulai setengah delapan namun ia telalu cepat mempersiapkan diri.

Bahkan cermin panjang yang bersandar di samping tempat tidurnya sudah bosan melihatnya menampakkan pantulan dirinya untuk ke sekian kalinya. Yang benar saja. Ia terlalu antusias sampai-sampai ujung jemarinya seperti habis didiamkan dalam lemari pendingin cukup lama.

Dan jangan lupakan, ia juga berulang kali merapalkan kembali sebuah pidato singkat yang sebenarnya sudah ia ulang-ulangi dari sehari sebelumnya. Sangat luar biasa persiapannya bukan?

Sempurna

Untuk kesekian kalianya juga, ia mengcapkan kata itu.

Ia lalu berjalan menuju dapur kecil miliknya, mengambil selembar roti dan melumurinya dengan selai coklat disana. Setidaknya ia harus memberi sedikit asupan sebelum berangkat, sangat tak lucu jika ia pingsan akibat gugup yang berlebihan dan perut yang dalam keadaan kosong.

Ddrrtt. Ddrrtt..

Dering ponsel gengamnya yang ia letakkan di meja makannya, membuatnya beralih aktivitas sejenak. Nama kontak yang bertuliskan 'Ayah' terlihat di sana. Ia sedikit berdeham sejenak lalu mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, ayah.”

Matt, sudah berangkat?” suara pria berusia hampir 50 tahun itu terdengar di ujung sana.

“Belum, aku baru saja menyelesaikan sarapanku.” Ucap Matthew sembari mengambil menyeruput kopi instan yang ia buat.

Matthew melirik arlojinya. Sudah pukul setengah tujuh, berbeda 8 jam dengan Korea yang berarti di sana pukul 2 siang.

Matt, maafkan ayah dan ibu yang tak bisa datang di hari kelulusanmu.”

Matthew yang tengah meneguk hot cappuccino-nya itu tersenyum tipis, “Iya ayah, aku paham, sudah ku katakan tidak apa-apa”

Di hari yang seharusnya di rayakan bersama keluarga dan orang tersayang harus Matthew lewatkan seorang diri. Bukan, bukan karena orangtua mereka lebih memilih menghabiskan waktu untuk mengurus pekerjaan mereka layaknya dalam cerita novel dan sejenisnya. Hanya saja kondisi sang ayah yang mendadak menurun menyebabkan kedua orangtuanya tak mungkin untuk memaksakan diri kesana.

Siapa yang tak ingin datang di hari yang begitu menggembirakan ini. Melihat anak semata wayang mereka yang sukses dalam dunia pendidikan, apalagi jika lulus dengan predikat lulusan terbaik? Luas biasa bukan. Momen yang harus di abadikan.

Tapi kuasa berkata lain, ya harus apa.

Itu tak membuat Matthew kecil hati. Sudah di katakan bukan jika Matthew anak yang tak banyak tingkah. Tentu saja ia tak bersedih hanya karena hal ini. Menurutnya masih banyak moment luar biasa yang bisa di hadiri orangtua mereka selain kelulusannya. Seperti pernikahannya mungkin?

Cukup lama Matthew bertukar kabar dan cerita kepada ayah dan ibunya juga disana. 30 menit lagi acara akan mulai dan Matthew siap untuk berangkat.

(.)

Halaman utama kampus terlihat begitu ramai. Rasanya seperti mengingat masa lalu saat mereka memasuki tahun pertama di kampus tersebut. Namun nuasa kali ini tentunya berbeda. Tak hanya Matthew rupanya. Sebagian besar dari mereka di sana merasakan degupan jantung yang luar biasa.

Akhirnya, setelah berupaya berjuang selama beberapa tahun, akhirnya mereka bisa menyelesaikan satu dari sekian banyak impian mereka. Benar-benar mengharukan.

Matthew sedari tadi melihat ke segala penjuru arah, mencari-cari letak di mana teman-teman fakultasnya berkumpul. Ia kembali terlihat seperti bocah, kali ini bocah yang hilang di tengah kerumunan banyak orang.

“Tuan Muda Flint!” teriak suara bass dari bagian agak ujung sana. terlihat Carl yang tengah melambaikan topinya bersama dnegan Benneth yang ia rangkul di sampingnya. Dengan cepat Matthew sedikit berlari menghampiri mereka.

“Hah, sudah ku katakan jangan panggil aku seperti itu.” Keluh Matthew.

“Hey tenang lah, kau masih saja emosian.” Ucap Carl

“Hey Matt, sudah menyiapkan pidato sebagai lulusan terbaik nantinya?” kini giliran Benneth yang menggoda Matthew. Sungguh mereka berdua seperti tak ada kerjaan lain selain menggoda Matthew.

“Ohya, kau bertemu dengan Fleur?” tanya Benneth.

Tiba-tiba, ada apa?

Sudah lebih dari setengah tahun Matthew tak mendengar nama gadis yang pernah mengisi hatinya itu, begitupun juga dengan kabarnya, Matthew sama sekali tak tahu. Bukan Matthew tak ingin tahu, awal-awal mereka putus  Matthew mencoba mencari kabar tentang Fleur namun hasilnya nihil. Ia bahkan mendatangi kampus Fleur namun tak berbuah hasil juga. Lambat laun, seiring berjalannya waktu Matthew nampak biasa saja. Seperti sekarang, saat Benneth menyebut nama itu, Matthew terlihat tak berekspresi. Sepertnya dia berhasil move on dari Fleur.

“Tidak, aku tak bertemu dengannya.” Balas Matthew cuek.

“Memangnya ada apa?” tanya Carl.

“Awalnya kupikir aku salah lihat. Ketika hendak memasuki area fakultas aku berpapasan dengannya yang tengah berjalan sendirian. Namun, Nick menghampiriku dan bertanya soalmu, katanya Fleur datang mencarimu.”

Aneh, pikir Matthew.

“Ada apa wanita ular itu?” ucap Carl sarkas.

Mendengar itu langsung saja Benneth memberikan tinju kecil di perut Carl yang membuatnya kesakitan dan terlihat begitu dramatis padahal  Benneth tak memukulnya dengan keras.

Tak ingin ambil pusing soal Fleur, Matthew memisahkan Carl dan Benneth yang terlibat pergulatan kecil dan menggiring mereka untuk duduk di kursi yang di sediakan.

(.)

Gadis itu mengambil sepuntung rokok di dalam laci meja yang berada tepat di belakangnya. Ia menjepit rokok tersebut di antara kedua bibirnya dan membakar ujungnya dengan korek api. Kepulan asap tebal ia hembuskan dari mulutnya, berharap hal itu bisa meredahkan sedikit stress yang di alaminya.

Kurang ajar.

Ada ribuan sumpah serapah yang ia lontarkan hari ini. Bukan hanya untuk seseorang namun juga untuk dirinya sendiri. Berulang kali ia memukul kepalanya sendiri sebagai bentuk hukuman untuk dirinya, juga agar otak nya kembali berfungsi dengan baik.

Kacau.

Lantas apa yang bisa ia lakukan saat ini? Semuanya terlalu terlambat untuk di benarkan.

Ia melirik satu pesan dari seseorang disana.

Dia lagi, gerutuhnya dalam hati.

Ia mengambil ponsel genggamnya dan menghapus semua notifikasi di sana. Akan tetapi, ia masih menatap layar ponselnya itu, lebih tepatnya pada wallpaper ponselnya yang menampakkan foto dirinya bersama seseorang.

Oh, harusnya ia bisa sedikit lebih dewasa dan tak mementingkan ego. Ia pernah mendapatkan segalanya, bahkan yang tak mampu ia beli dan butuh berbulan-bulan untuk mendapatkannya, namun dengan mudah ia dapatkan ketika bersama pria itu.

Ia kembali mengutuk dirinya lagi.

“Maafkan aku, tapi..”

“Kau harus kembali denganku”

(.)

“Kau sungguh tak ikut minum dengan kami?” ucap Carl.

Acara kali ini berjalan dengan lancer dan begitu menyenangkan. Matthew pun dapat memberikan pidato singkatnya dengan begitu tenang dan berhasil menghipnotis para hadirin yang ada di sana menjadi focus kepadanya. Luar biasa pesona Matthew.

Carl, Benneth dan beberapa temannya yang lain mengajaknya unutk menghabiskan waktu bersama semalaman di guesthouse milik salah satu dari temannya, namun hal itu di tolak oleh Matthew.

Ia berencana untuk terbang ke Negara tempat dimana ia lahir besok pagi buta, makanya malam ini ia gunakan untuk beristirahat sebelum berangkat.

“Tentu, bersenang-senanglah!”

“Yasudah, aku akan menyusulmu dan Benneth di sana.” ucap Carl lalu mengucapkan salam perpisahan kepada Matthew, begitu juga Benneth dan teman-temannya yang lain.

(.)

Matthew baru saja selesai mandi usai berkutat dengan barang-barang bawaannya. Sebenarnya tak banyak, hanya Matthew saja yang terlalu repot. Ia memasukkan beberapa pakaian, lalu mengeluarkannya lagi, menukar beberapa pakaian di sana, lalu memasukkan barang-barang yang tak penting tapi menurutnya penting—seperti sepatu— bukan apa, ia memiliki banyak sepatu juga di sana. Ia bahkan memasukkan setelan jas yang—, hey untuk apa?

Ting tong~

Suara bel apartemenya membuatnya bergerak cepat untuk membuka pintu. Terlihat seorang delivery driver dengan sekotak pizza medium di tangannya. Usai mengucapkan terima kasih, ia bergegas untuk menyantap pizza-nya bersama dengan cola sembari menonton film action di laptopnya.

Usai menyelesaikan makan malam dan film actionnya, Matthew bersiap-siap untuk beristirahat lebih cepat malam ini. Tiba-tiba ponsel gengamnya berbunyi, ada pesan masuk di sana dan beberapa panggilan tidak terjawab dari Fleur.

Matthew menaikkan sebelah alisnya bingung. Ada apa gerangan? Setelah sekian lama hilang bak di telan bumi Fleur kembali menghubunginya. Ia lalu beralih ke pesan yang masuk barusan. Lagi-lagi dari Fleur

From : Fleur

Matt, bisakah kita bertemu?

Aku perlu menjelaskan sesuatu,

Ku tunggu besok pagi di Restaurant Spagetthi

kesukaanmu..

Baiklah, ini mencurigan dan entah sejak kapan, tapi Matthew merasa asing. Menjelaskan apa? Soal dia yang tertangkap basah dan dengan sadarnya memeluk pria lain di hadapannya?  Padahal baru sehari setelah dia memutuskan Matthew secara sepihak. Jika memang tentang itu, Matthew rasa tak perlu ada penjelasan. Karena matthew sudah merasa tak butuh lagi. Dan jika bukan karena hal itu tetap juga ia tak bisa menemui gadis itu. Ia harus berangkat pukul 6 pagi dari apartemennya.

Reply to : Fleur

Sepertinya tak bisa Fleur,

Maaf

Kau bisa mengirmiku pesan singkat

Akan aku balas, tentunya.

Tanpa ragu, Matthew langusng menekan tombol kirim lalu kembali menyimpan ponsel genggamnya di atas nakas.

Sejujrnya Matthew bertanya-tanya, ada apa dengan Fleur? Pertama, ia datang ke kampusnya pagi ini dan mencarinya, lalu kedua, ia menelponnya dan mengirimkan pesan singkat yang mengatakan ingin bertemu dan ingin menjelaskan sesuatu.

Matthew paham, Fleur bukan tipikal yang suka repot-repot menjelaskan sesuatu yang menurutnya tak begitu penting. Matthew mencoba mengingat-ingat kembali, namun ia rasa semuanya tak ada yang perlu di jelaskan lagi. Ini sudah lewat setengah tahun, jadi untuk apa mengungkit hal yang sudah berlalu begitu lama? Mengenang luka hanya membuat kita menjadi pribadi yang tanpa sadar terkurung dalam satu keadaan yang sama setiap saatnya.

Hah, baiklah, Matthew mencoba mengalihkan pikirannya.

Bukan urusanku.

Bukan urusannya, tentu. Ia memposisikan dirinya dan memejamkan matanya, secara perlaham, tenggelam ke alam mimpinya.

ann peonysue

haloo, selamat malam. Maaf hari ini sedikit lama update :(( entahlah, keadan hari ini tak mendukung. Aku tak akan menuliskan pesan panjang untuk hari ini xixiix. Terima kasih telah setia menunggu kelanjutan cerita ini.. Selamat beristirahat semuaa...

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status