Mayang
Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya.
Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang.
Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tinggal.
Aku mematikan laptop saat panggilan Mama lagi dan lagi mengagetkanku. Aku segera menjawab telepon Mama, dan masih sama yang ditanyakan “Berangkat dari Jogja jam berapa?” Aku bilang kalau selesai sholat Jumat, karena aku harus ijin ke pak Rendra dulu untuk pulang duluan. Walau surat ijinku sudah ditanda tangani Pak Rendra kemarin siang, tapi tidak etis jika aku tidak pamit dengan atasanku. Bagaimana pun beliau atasan yang dihormati bawahannya termasuk aku.
Pukul setengah satu aku melihat Danu dan Pak Rendra memasuki ruang editor. Bearti mereka sudah selesai sholat Jumat. Aku segera berdiri untuk menyambut kedatangan Pak Rendra.
“Widihhhh udah siap aja May.”
“Dari tadi di terror terus sama Mama.” Aku berkata kesal biar Danu tau penderitaanku.
“Masih sebatas terror kapan pulang kan? Belum kapan nikah kan?” Aku membelakkan mata mendengar jawaban Danu.
“Itu juga nanti kalau sampai rumah.” Aku membalas dengan ceringan berharap Pak Rendra tidak mendengar permasalahnku, yaitu dipepet untuk nikah. Ehh buat apa juga aku memedulikan pak Rendra dia kan buka siapa-siapaku.
“Bilang aja sama Tante, kalau Danu calon menantu masih menanti.” Danu menaik-naikkan alis. Padahal jelas-jelas dia sudah punya pacar.
“Kampret ya lo Dan, mana mau Mama punya menantu kayak kamu.” Aku masih membantah omongan Danu.
Tiba-tiba Gadis datang membawa lima cup esque. “Loh May udah mau balik, kirain masih nanti sore. Aku beliin esque ini.” Gadis menyodorkan esque rasa red velvet. Dia sudah hafal dengan menu kesukaanku. “Sampaikan salam buat tante ya May, oleh-olehnya bawain dasternya.”
“Ehh ehh pamrih ya yang beliin esque. Tapi gak papa, nanti aku bilang Mama kalau Gadis mau jadi reseller dan borong daster.”
“Heh ngaco kamu.”
Aku langsung menoleh ke Pak Rendra, “Pak maaf ya bikin gaduh. Saya ijin setengah hari ya Pak mau mudik ke Solo.”
“Hati-hati di jalan ya, kalau sudah sampai kabari.”
Aku kaget mendengar permintaan Pak Rendra. Buat apa aku harus mengabari beliau kalau sudah sampai Solo. Pacar aja bukan. Hanya atasan merangkap tetangga lo.
Aku langsung meninggalkan kantor. Jalanan siang ini tidak begitu ramai karena masih jam kerja. Coba saja kalau aku berangkat nanti selepas jam kerja pasti jalanan macet. Banyak keluarga yang ini weekend nya di luar kota dengan keluarga tercinta. Aku boro-boro punya keluarga tercinta yang ada malah aku yang mau ditinggal nikah. Sungguh ngenes sekali nasibku.
Pukul setengah empat aku sudah sampai di rumah tercinta. Tetapi masih sepi. Jam segini biasanya Mama baru tutup kios pasar, sedangkan Papa masih kerja pulang nanti jam empat. Untung aku masih menyimpan kunci cadangan di mobil jadi aku langsung masuk dan masuk kamar untuk istirahat. Nyetir dari Jogja lumayan capek juga. Biasanya aku kalau mudik lebih sering naik kereta daripada naik mobil. Tapi hari ini aku ingin naik mobil karena aku ingin mengangkut sepeda lipatku yang tidak terawat di sini. Dulu seminggu sekali aku selalu pulang ke Solo dan hari Minggu pagi selalu gowes dengan Rifki, tapi semenjak aku mengetahui perselingkuhannya aku mulai jarang pulang ke Solo. Bahkan juga mulai jarang untuk naik sepeda. Makanya nanti aku ingin membawa sepedaku ke Jogja biar setiap Minggu pagi aku bisa gowes sampai alun-alun.
Tempat pukul empat lebih lima belas menit Mama dan Papa pulang. Mereka selalu pulang di jam yang sama. Aku langsung keluar kamar dan menyambut mereka. Aku langsung mencium tangan mereka dan memeluk mereka satu persatu. Menumpahkan rasa rindu yang selama ini aku pendam.
“Kamu baik-baik saja kan nduk?”
Suara Papa yang pertama kali aku dengar. Aku tau kalau Papa selalu mengkhawatirkanku. Apalagi setelah mengetahui kalau aku putus dengan Rifki dengan permasalahan perselingkuhan. Papa bisa memahami pengkhianatan yang dialami anak gadisnya.
“Alhamdulillah baik Pa, Ma. Yuk sambil duduk. Atau Mama dan Papa mau bersih-bersih dulu.” Aku mengajak mereka untuk duduk di sofa ruang keluarga.
Ruangan ini yang selalu aku rindukan. Dulu. Kenapa aku selalu berbicara dulu, karena pengalaman dulu itu sangat indah sebelum akhirnya aku memilih untuk pergi. Dulu setiap hari Minggu pagi Rifki selalu mebfajak aku naik sepeda sampai Pasar Klewer. Kemudian sampai siang dia akan nonton TV dan bercerita denganku di ruang keluarga ini. Di sofa yang saat ini aku duduki. Papa dan Mama dari dulu memang sudah menganggap Rifki anaknya sendiri dan percaya bahwa Rifki tidak akan mengkhianataku. Tapi ternyata salah. Kepercayaan yang Mama dan Papa berikan sudah Rifki hancurkan. Semua keluargaku yang dulu berharap kalau Rifki akan menjadi menantu idaman di keluarga ini. Tapi ternyata salah. Setelah semuanya terbongkar hati keluargaku menjadi beku. Bahkan sampai saat ini perasaanku masih beku.
“Mama mau mandi dulu aja, Papa temanin Mayang dulu ya.” Mama meninggalkan kami.
“Kerjaan kamu lancar kan nduk?” Papa itu orangnya tidak bisa diam. Beliau selalu membuat topik pembicaraan agar tidak sepi dalam ruangan.
“Lancar Pa. Papa gak perlu khawatir semua sudah berjalan sesuai dengan jalannya masing-masing.” Aku tidak berani menatap bola mata Papa, karena pasti ada rasa kecewa di sana. Dan aku belum bisa mengobati rasa kecewa tersebut. “Tunggu Mayang menemukan menantu idaman yang lebih sempura dari Rifki ya Pa” batinku.
Selanjutnya tidak ada lagi percakapan antara aku dengan Papa karena Papa lebih menikmati singkong goreng dan teh anget yang aku buatkan.
Jika dalam keadaan seperti ini rasa bersalahku kembali lagi muncul. Walaupun Papa dan Mama tidak pernah menyalahkanku, tapi aku yang merasa bersalah. Bersalah karena sudah menyia-nyiakan calon menantu idaman Papa. Dari dulu Papa memang menginginkan menantu seorang Sekretaris Desa sesuai dengan pekerjaan Papa. Tapi semua sudah sirna karena Rifki selingkuh dengan salah satu stafnya. mulai saat itu Papa tidak membatasi aku untuk mencari siapa pendampingku kelak. Aku juga gak tau apakah aku akan terus dengan kesendirian ini atau akan ada pangeran yang datang mewujudkan semua mimpiku. Saat ini yang aku lakukan adalah ikuti alur yang sudah Allah gariskan untuk setiap umatnya. Sudah tidak ada lagi Rifki dalam ingatanku yang ada masa depan yang menantiku untuk terus berjuang dan semangat dalam mewujudkan mimpi.
Masih di Solo dan masih mengingat semua kenangan yang sampai saat ini masih terikat jelas. Sabtu pagi ini aku ingi gowes sampai Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Kota Surakarta. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini juga merupakan pusat perbelanjaan kain batik yang menjadi rujukan para pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasarini juga pusat batik yang menjadi tempat kulakan para pedagang di wilayah Solo dan sekitarnya bahkan di Jawa Tengah. Berdiri sejak tahun 1970,Pasar Klewertetap menarik untuk dikunjungi.Berangkat dari rumah pukul enam dan sampai di Pasar Klewer pukul tujuh, seharusnya tidak selama ini karena aku snegaja mengayuh sangat pelan. Gowes sendiri itu rasanya gabut banget. Tidak ada yang diajak ngobrol. Sampai di Pasar Klewer aku istrirahat sejenak sebelum nanti sarapan. Tak pernah ketinggalan ketika aku pulang ke
Rendra Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu. Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana. Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. A
“Ma, Pa, Mayang balik ke Jogja dulu ya.” Aku pamitan dengan kedua orang tuaku, gak tega sebenarnya meninggalkan mereka.“Hati-hati ya Nduk, kalau tidak ada teman gak usah datang ke nikahan Rifki.” Papa mengingatkanku.Aku hanya mengangguk dan segera menyalami mereka. Aku memeluk mereka. Harus kuat dan ga boleh nangis. Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku sampai mobil yang aku kendarai menghilang.Suasana dalam mobil sangat sepi. Aku menyalakan musik dari flasdisk. Tak pernah kudugaSemuanya berubahSaat kau memandangkuBergetar hati iniKau berikan harapan tentang oh..Warna warni harikuSemenjak ada dirimuDunia terasa indahnyaSemenjak kau ada disiniKu mampu melupakannyaKini aku tak sabarIngin hati kau untukkuKat
Memandang hotel yang saat ini menjadi tempat resepsi Rifki dan istrinya membuat hatiku pilu. Seharusnya aku yang mengadakan pesta tapi kenyataan berkata lain. Saat ini aku dan Danu masih di antri salaman dengan pengantin. Aku diam sejak berangkat tadi. Danu pun tidak berani menggangguku, biasanya dia akan membully ku habis-habisan jika menyangkut Rifki. Padahal hanya beberapa kali Danu dan Gadis bertemu dengan Rifki. Itu dulu waktu Rifki masih jadi pengangguran dan sering menjemputku di Jogja. Ahh sudah lupakan. Saatnya melupakan dia dan mencari yang serius.Danu menepuk bahuku saat antrian semakin menipis. “Yakin siap? Kalau gak siap kita bisa langsung pulang?”Aku hanya mengangguk. Beberapa among tamu juga masih saudara Rifki yang masih mengingatku. Bahkan ketika mereka menatapku pun seperti ada tatapan kekecewaan. Aku belum bertemu dengan Mbak Sinta, kakak Rifki yang nomor satu. Mbak Sinta lah yang tidak bisa terima saat Rifki memutuskan hubunga
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu berkali-kali. Mataku enggan untuk membuka, badanku rasanya berat, bahkan mataku terasa panas. Aku mengucek-ucek mata sebelum membuka pintu siapa yang berani membangunkan tidurku pagi ini. Jelas-jelas ini masih sangat pagi. Mungkin bisa dibilang habis subuh. Aku kaget ketika melihat jam ternyata sudah pukul setengah delapan. Aku sangat bersyukur ada orang yang mengetuk pintu pagi ini. Tapi ketika aku menginjakkan kaki di lantai badanku terasa mau jatuh. Mataku semakin panas dan mengeluarkan air mata. Aku menempelkan tangan ke dahi, ternyata aku demam. Pantas saja badanku terasa berat. Aku jalan pelan-pelan untuk membuka pintu. Tanpa cuci buka dan mengucir rambutku biar terlihat rapi aku langsung jalan ke depan. Begitu membuka pintu aku kaget ternyata yang datang Pak Rendra. Penampilan Pak Rendra sangat rapi. Ya jelaslah karena ma uke kantor. Pak REndra menatapku dari atas sampai bawah. Dia heran melihat penampilanku pagi ini.
Malam ini ketika aku nontn drama korea yang aku sambungkan ke televisi. Suara ketukan pintu membuat aku penasaran karena malam ini aku tidak ada janji dengan siapa-siapa. Ternyata Pak Rendra yang datang. Tidak heran lagi ketika Pak Rendra sering datang ke sini malam-malam atau saat libur kerja. Dia seperti tidak punya kerjaan.Pak Rendra langsung duduk di sampingku “Nonton apa Yang?”“Suspecious partner, pak.” Pak Rendra mengerutkan kening. Aku tau kalau dia tidak bakal suka dengan drama korea. Malam ini aku mengulang drama tersebut, karena aku belum bosan dengan dramanya dan bingung mau nonton drama apa.“Drama korea, Pak.”“Ohh..” Hanya jawaban ohh yang Pak Rendra keluarkan. Dia langsung membuka toples iki kacang mete. Dia memang sudah tidak sungkan lagi bahkan rumah ini sudah seperti rumah ke dua bagi dia. Dia langsung jalan ke dapur dan mengambil air kemasan yang ada di kulkas.
Minggu pagi ini aku ingin olaraga, sehingga sejak sholat subuh tadi aku tidak tidur lagi. Pukul setengah enam aku mengeluarkan sepeda dan gowes keliling Jogja sekalian mampir beli sarapan. Aku melihat rumah depanku lampunya masih menyala, tandanya Rendra masih tidur. Aku cuek saja. Aku langsung mengayuh sepedaku hingga keluar kompleks. Aku menyesuri jalan Parangtritis. Niatku pagi ini akan gowes sampai alun-alun kidul nanti pulangnya mampir sarapan sop ayam Klaten Pak Min.Aku mengayuh sepeda santai, karena tujuanku juga untuk mengurangi pikiran yang dari kemarin kepikiran Rendra. Sampai Alun-Alun Kidul suasana ramai sekali. Banyak yang jogging. Bahkan ada juga yang hanya sekedar sarapan soto. Memang hari Minggu ini kota Jogja akan terlihat ramai tidak seperti hari biasanya. Aku duduk di bawah pohon untuk istirahat sejenak, minum air mineral tadi tadi aku bawa dari rumah. Udara pagi seperti ini yang aku suka sejak dulu, tapi sekarang sudah bany
“Tante, tadi Mayang bikin bolu kukus. Mungkin mau nyobain. Kalau rasanya gak enak bilang ya tan, baru pertama bikin.”“Eh boleh.” Ibu Rendra tampak antusias mencicipi.“Mbak Mayang salah kalau nawarin tante, tante itu jago bikin kue mbak. Katanya syarat utama jadi mantunya harus bisa bikin kue.”Aku kaget mendengar perkataan Clara.“Eh, duhh nanti kalau kurang pas rasanya gak papa ya tante, baru belajar bikin kue ini.”Tante hanya tersenyum. Senyumannya itu teduh banget. Aku menawari tante dan Clara untuk makan di belakang saja sambil ngobrol yang lebih santai. Saat jalan ke belakang melewati dapur Clara langsung memuji isi perabotan dapur yang lengkap. Bahkan dia juga memuji taman minimalis belakang yang aku dekor sendiri.“Mbak Mayang dapat ide dekor seperti ini dari mana? Bayar berapa mbak?” Clara Sudah mulai penasaran. Sedangkan Ibu Rendra hanya menjadi pendengar setia.