Share

Bagian 9

Mayang

Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya.

Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang.

Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tinggal.

Aku mematikan laptop saat panggilan Mama lagi dan lagi mengagetkanku. Aku segera menjawab telepon Mama, dan masih sama yang ditanyakan “Berangkat dari Jogja jam berapa?” Aku bilang kalau selesai sholat Jumat, karena aku harus ijin ke pak Rendra dulu untuk pulang duluan. Walau surat ijinku sudah ditanda tangani Pak Rendra kemarin siang, tapi tidak etis jika aku tidak pamit dengan atasanku. Bagaimana pun beliau atasan yang dihormati bawahannya termasuk aku.

Pukul setengah satu aku melihat Danu dan Pak Rendra memasuki ruang editor. Bearti mereka sudah selesai sholat Jumat. Aku segera berdiri untuk menyambut kedatangan Pak Rendra.

“Widihhhh udah siap aja May.”

“Dari tadi di terror terus sama Mama.” Aku berkata kesal biar Danu tau penderitaanku.

“Masih sebatas terror kapan pulang kan? Belum kapan nikah kan?” Aku membelakkan mata mendengar jawaban Danu.

“Itu juga nanti kalau sampai rumah.” Aku membalas dengan ceringan berharap Pak Rendra tidak mendengar permasalahnku, yaitu dipepet untuk nikah. Ehh buat apa juga aku memedulikan pak Rendra dia kan buka siapa-siapaku.

“Bilang aja sama Tante, kalau Danu calon menantu masih menanti.” Danu menaik-naikkan alis. Padahal jelas-jelas dia sudah punya pacar.

“Kampret ya lo Dan, mana mau Mama punya menantu kayak kamu.” Aku masih membantah omongan Danu.

Tiba-tiba Gadis datang membawa lima cup esque. “Loh May udah mau balik, kirain masih nanti sore. Aku beliin esque ini.” Gadis menyodorkan esque rasa red velvet. Dia sudah hafal dengan menu kesukaanku. “Sampaikan salam buat tante ya May, oleh-olehnya bawain dasternya.”

“Ehh ehh pamrih ya yang beliin esque. Tapi gak papa, nanti aku bilang Mama kalau Gadis mau jadi reseller dan borong daster.”

“Heh ngaco kamu.”

Aku langsung menoleh ke Pak Rendra, “Pak maaf ya bikin gaduh. Saya ijin setengah hari ya Pak mau mudik ke Solo.”

“Hati-hati di jalan ya, kalau sudah sampai kabari.”

Aku kaget mendengar permintaan Pak Rendra. Buat apa aku harus mengabari beliau kalau sudah sampai Solo. Pacar aja bukan. Hanya atasan merangkap tetangga lo.

Aku langsung meninggalkan kantor. Jalanan siang ini tidak begitu ramai karena masih jam kerja. Coba saja kalau aku berangkat nanti selepas jam kerja pasti jalanan macet. Banyak keluarga yang ini weekend nya di luar kota dengan keluarga tercinta. Aku boro-boro punya keluarga tercinta yang ada malah aku yang mau ditinggal nikah. Sungguh ngenes sekali nasibku.  

Pukul setengah empat aku sudah sampai di rumah tercinta. Tetapi masih sepi. Jam segini biasanya Mama baru tutup kios pasar, sedangkan Papa masih kerja pulang nanti jam empat. Untung aku masih menyimpan kunci cadangan di mobil jadi aku langsung masuk dan masuk kamar untuk istirahat. Nyetir dari Jogja lumayan capek juga. Biasanya aku kalau mudik lebih sering naik kereta daripada naik mobil. Tapi hari ini aku ingin naik mobil karena aku ingin mengangkut sepeda lipatku yang tidak terawat di sini. Dulu seminggu sekali aku selalu pulang ke Solo dan hari Minggu pagi selalu gowes dengan Rifki, tapi semenjak aku mengetahui perselingkuhannya aku mulai jarang pulang ke Solo. Bahkan juga mulai jarang untuk naik sepeda. Makanya nanti aku ingin membawa sepedaku ke Jogja biar setiap Minggu pagi aku bisa gowes sampai alun-alun.

Tempat pukul empat lebih lima belas menit Mama dan Papa pulang. Mereka selalu pulang di jam yang sama. Aku langsung keluar kamar dan menyambut mereka. Aku langsung mencium tangan mereka dan memeluk mereka satu persatu. Menumpahkan rasa rindu yang selama ini aku pendam.

“Kamu baik-baik saja kan nduk?”

Suara Papa yang pertama kali aku dengar. Aku tau kalau Papa selalu mengkhawatirkanku. Apalagi setelah mengetahui kalau aku putus dengan Rifki dengan permasalahan perselingkuhan. Papa bisa memahami pengkhianatan yang dialami anak gadisnya.

“Alhamdulillah baik Pa, Ma. Yuk sambil duduk. Atau Mama dan Papa mau bersih-bersih dulu.” Aku mengajak mereka untuk duduk di sofa ruang keluarga.

Ruangan ini yang selalu aku rindukan. Dulu. Kenapa aku selalu berbicara dulu, karena pengalaman dulu itu sangat indah sebelum akhirnya aku memilih untuk pergi. Dulu setiap hari Minggu pagi Rifki selalu mebfajak aku naik sepeda sampai Pasar Klewer. Kemudian sampai siang dia akan nonton TV dan bercerita denganku di ruang keluarga ini. Di sofa yang saat ini aku duduki. Papa dan Mama dari dulu memang sudah menganggap Rifki anaknya sendiri dan percaya bahwa Rifki tidak akan mengkhianataku. Tapi ternyata salah. Kepercayaan yang Mama dan Papa berikan sudah Rifki hancurkan. Semua keluargaku yang dulu berharap kalau Rifki akan menjadi menantu idaman di keluarga ini. Tapi ternyata salah. Setelah semuanya terbongkar hati keluargaku menjadi beku. Bahkan sampai saat ini perasaanku masih beku.

“Mama mau mandi dulu aja, Papa temanin Mayang dulu ya.” Mama meninggalkan kami.

“Kerjaan kamu lancar kan nduk?”  Papa itu orangnya tidak bisa diam. Beliau selalu membuat topik pembicaraan agar tidak sepi dalam ruangan.

“Lancar Pa. Papa gak perlu khawatir semua sudah berjalan sesuai dengan jalannya masing-masing.” Aku tidak berani menatap bola mata Papa, karena pasti ada rasa kecewa di sana. Dan aku belum bisa mengobati rasa kecewa tersebut. “Tunggu Mayang menemukan menantu idaman yang lebih sempura dari Rifki ya Pa” batinku.

Selanjutnya tidak ada lagi percakapan antara aku dengan Papa karena Papa lebih menikmati singkong goreng dan teh anget yang aku buatkan.

Jika dalam keadaan seperti ini rasa bersalahku kembali lagi muncul. Walaupun Papa dan Mama tidak pernah menyalahkanku, tapi aku yang merasa bersalah. Bersalah karena sudah menyia-nyiakan calon menantu idaman Papa. Dari dulu Papa memang menginginkan menantu seorang Sekretaris Desa sesuai dengan pekerjaan Papa. Tapi semua sudah sirna karena Rifki selingkuh dengan salah satu stafnya. mulai saat itu Papa tidak membatasi aku untuk mencari siapa pendampingku kelak. Aku juga gak tau apakah aku akan terus dengan kesendirian ini atau akan ada pangeran yang datang mewujudkan semua mimpiku. Saat ini yang aku lakukan adalah ikuti alur yang sudah Allah gariskan untuk setiap umatnya. Sudah tidak ada lagi Rifki dalam ingatanku yang ada masa depan yang menantiku untuk terus berjuang dan semangat dalam mewujudkan mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status