Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-11-28 02:07:04

Isi amplop yang tak banyak itu sudah langsung Cahaya belikan beberapa tablet obat untuk Bapak dan juga seperempat ayam untuk Kirana. Setiap ada rejeki lebih, barulah Cahaya akan membeli ayam walau tak banyak. Jika dulu makan daging-dagingan itu hal yang membosankan, tetapi setelah jatuh bangkrut dan serba kekurangan, sepotong daging ayam adalah makanan termewah untuknya.

Benar jika roda berputar, benar jika rejeki hanya titipan. Dulu kedatangan Baska yang meminangnya membuat kehidupannya yang dari bawah garis kemiskinan seketika berubah. Namun, semua tak bertahan lama. Empat tahun menikah dan dikaruniai seorang bayi cantik, tiba-tiba takdir menghempaskan pada jurang yang curam, harta titipan itu kembali diambil-Nya. Namun demikian, Cahaya memilih untuk bertahan dan menunggu Mas Baska pulang. Dia yakin, selalu yakin, akan ada pelangi setelah hujan.

Dia menanamkan seribu keyakinan jika Mas Baska setia di rantau sana. Berharap semua penantian itu berbuah indah. Menepis semua kehadiran para lelaki masa lalu yang silih berganti mencoba merobohkan pertahanan kesetiaannya.

Sebelum ashar, Cahaya tiba di rumah. Lekas mencuci ayam dan membumbuinya. Kirana belum terlihat, dia intip dan ternyata masih tidur di kamarnya. Ingat dengan cucian yang belum disetrika di rumah majikannya, Cahaya bergegas ke sana dan lekas merapikan semua pekerjaannya. Keringat mengucur dan silih berganti dengan rasa lelah. Namun Cahaya tetap semangat, ingin tiba di rumah sebelum maghrib dan memasak ayam untuk Kirana berbuka.

Pukul setengah enam, akhirnya pekerjaan selesai. Kirana pulang dan berjalan cepat. Di jalan dia melihat seorang penjual es dawet yang tampak sudah berkemas untuk pulang.

“Mas, dawetnya masih ada?”

Lelaki itu menoleh dan mengangguk. Dia meletakkan lagi pikulannya.

“Mau berapa, Mbak?”

“Dua saja, Mas.”

Tangannya tampak cekatan membuat es dawet. Wangi gula merah dan daun pandan memanjakkan indera penciuman, warna putih santan berbaur dengan hijau ditambah serutan es dan tampak sangat segar. Berulang kali Cahaya menelan saliva. Rasa haus dan lelah membuat es dawet itu tampak sekali menggoda.

“Ini Mbak!” Penjual dawet itu mengangsurkan plastik warna hitam berisi dua pcs dawet manis dan segar.

“Makasih, ya, Mas! Berapa?” Cahaya mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

“Sepuluh ribu, Mbak.”

Cahaya mengangsurkan uang sepuluh ribuan dan lekas berjalan kembali. Rasa hatinya menghangat mengingat bisa berbuka puasa dengan makanan pembuka yang agak mewah sore ini. Biasanya hanya teh manis hangat dan gorengan yang dibuat. Hari ini ada es dawet, nanti juga mau membuat bakwan dan ayam semur untuk buka puasa dan sahur bersama Kirana.

Hampir maghrib ketika dia tiba di rumah. Namun tampak rumah masih sepi. Dia beranjak ke dalam dan tak tampak keberadaan Kirana di sana. Cahaya gegas membuka daun pintu, tetapi ternyata Kirana masih bergulung dalam selimut.

“Kiran … sudah mau maghrib, Nak. Yuk, bangun.” Cahaya mendekat. Namun terdengar lirih Kirana merintih. Tampak keringat bermunculan pada dahinya.

Cahaya duduk pada tepi ranjang, lantas menggoyangkan tubuh Kirana perlahan.

“Astaghfirulloh … panas banget.” Cahaya terkesiap ketika memegang dahi Kirana yang ternyata sangat panas. Matanya terpejam, bibirnya tampak kering dan bergetar.

“Kiran … bangun, Sayang.” Cahaya cukup panik dan menepuk-nepuk pipi Kirana. Namun hanya rintihan dan tampak sekali tangan Kirana gemetaran.

“Ya Allah ….”

Cahaya mencoba menarik napas, menenangkan hati dan pikiran. Dia lekas bangkit dan menuju ke dapur. Mengambil satu gelas air dan mengambil nasi. Namun karena belum masak, dia berikan kuah pada nasi dari air termos yang dibubuhinya sedikit garam. Tergopoh, Cahaya beranjak kembali ke kamar Kirana.

“Kiran bangun, buka dulu puasanya, ya, Nak!”

Tak ada sahutan. Dia membantu putrinya duduk meskipun tangannya tampak menggigil. Tetesan air mata Cahaya luruh. Diminumkannya perlahan air ke dalam mulut Kirana yang bibirnya tampak mengering itu. Namun rupanya lambungnya menolak dan Kirana malah muntah.

“Ya Allah ….”

Cahaya memijit tengkuk Kirana, tak peduli dia bajunya terkena muntahan. Usai Kirana sedikit tenang, Cahaya kembali meminumkan air pada bibir kering Kiran, tetapi putri kecilnya malah muntah lagi dan kondisinya semakin lemas saja.

Tangan Cahaya bergetar dan lekas memijit nomor Ibu Mertuanya. Hanya Bu Rini yang terlintas dalam kepalanya yang bisa dimintai tolong.

“Hallo, Ma! Assalamu’alaikum … Aya boleh minta tolong, Ma?” Suara Cahaya bergetar di tengah isaknya.

“Wa’alaikumsalam! Ngapain kamu nelpon-nelpon Mama? Dia lagi buka puasa sama Mbak Fatma dan cucunya. Ganggu saja.” Rupanya yang mengangkat panggilan adalah Mbak Fiska.

“Mbak, boleh minta tolong pinjam mobil, Mbak. Kiran panas banget dan dari tadi muntah-muntah, Mbak. Ini sudah lemes banget.” Cahaya bicara sambil menangis, tak tega melihat putri semata wayanganya tampak semakin lemah.

“Gak ada, mobil dibawa Mas Fajri. Kamu cari ojek saja. Sudah jangan ganggu-ganggu kami, kita lagi buka bersama. Gitu doang manja! Kebiasaan dimanja si Baska sih dulu, apa-apa bergantung sama orang!” hardiknya. Lalu panggilan itu ditutupnya.

Cahaya mengelus dada. Kirana mulai meracau tak jelas dan matanya terpejam. Keringat dingin makin banyak bermunculan.

“Ya Allah … Kiran … sabar, Nak.”

Cahaya mengelap keringat Kirana. Lantas dia berlari ke depan rumah dan mencari tetangga untuk dimintai tolong. Namun tetangga depan rumah malah menutup pintunya ketika melihat Cahaya datang. Tetangga samping kanan rumahnya tampak sepi, sore tadi dia berpapasan, sepertinya sedang pergi. Sebelah kanan, pemilik rumah berpagar tinggi yang jarang bersosialiasi.

Akhirnya Cahaya berlari mencari tukang ojek ke pangkalan ojek. Beruntung ada Mang Wardi---seorang lelaki paruh baya yang baru saja hendak pulang. Dia bergegas membantu Cahaya dan membopong Kirana hingga di klinik terdekat.

Sepanjang jalan Kirana menggigil dengan suhu tubuh yang terasa semakin panas. Racauannya makin terdengar dan samar terdengar dia memanggil-manggil ayah. Cahaya peluk sambil diciumi pucuk kepala anak gadis kesayangannya itu. Air mata mengalir membuat semua pandangannya berkabut.

Jarak rumah ke klinik menghabiskan waktu lima belas menit.

“Makasih, Mang!” Cahaya susah payah menggendong tubuh Kirana yang terus menggigil. Adzan maghrib berkumandang ketika akhirnya dia tiba di ruangan. Bayangan buka puasa dengan dawet dan makan ayam, menguap sudah. Bagi Cahaya kesembuhan Kirana kini adalah segalanya.

Perawat langsung membawa Kirana dalam brankar untuk dilakukan observasi. Cahaya terduduk lemas di ruang tunggu, rasa haus mendominasi, letih dan cemas berbaur menjadi satu. Dalam keadaan lemas, Cahaya berjalan menuju keluar klinik. Teringat uang kiriman dari Mas Baska hanya tersisa tinggal seratus ribu karena sudah dibelanjakan ini dan itu. Cahaya pun membeli air mineral dan segera meneguknya untuk mengusir dahaga. Setelah itu, bergegas Cahaya menuju mushola klinik dan menunaikan tiga rakaat, memanjatkan doa berharap mengetuk arasy’Nya.

Usai shalat, Cahaya beranjak kembali ke ruangan di mana tadi Kirana sedang dilakukan observasi. Seorang suster menghampirinya dan memanggilnya ke ruang administrasi.

“Bu Cahaya, Kirana teridentifikasi terkena thyphoid dan harus dirawat setidaknya tiga hari. Apakah Ibu ada kartu asuransi atau asuransi dari pemerintah?”

Glek!

Cahaya menelan saliva lalu menggeleng perlahan. Kartu BPJS-nya dulu didaftarkan di perusahaan. Semenjak bangkrut, sampai kini belum diaktifkan lagi mengingat keterbatasannya untuk membayar iuran. Untuk masuk ke dalam data rakyat tidak mampu sedikit sulit, karena dulu Mas Baska termasuk salah satu pengusaha yang tergolong kaya. Untuk mendapatkan bansos saat ini cukup selektif juga.

“Kalau tidak ada, tolong Ibu bayar dulu deposit administrasinya! Ibu bisa bayarkan sebesar dua juta rupiah agar kami segera bisa lakukan penanganan lebih lanjut!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 54 - End

    Salah satu orang yang beruntung adalah orang yang istiqomah dalam kebaikan dan khusnul khotimah. Namun begitu, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Terkadang ada juga yang masih tersesat dalam keburukan hingga ujung usia. Terik kota Surabaya mengiringi kepergian Karina dan Bang Fajar yang hendak kembali pergi ke rantau. Namun, bukan untuk selamanya. Melainkan hanya untuk menyelesaikan pendingan tanggung jawab di perusahaan milik Mas Baska. Setelah itu, Abi memintanya pulang dan mengurus usahanya yang ada di Surabaya. Di Bandara kini mereka berada. Berdiri berhadap-hadapan dengan Umi dan Abi yang mengantarnya. “Fajar, setelah urusan dengan Baska selesai. Segeralah kembali. Banyak hal yang harus Abi serah terimakan pada kalian!” “Iya, Abi.” “Kami juga belum mengadakan resepsi, karena itu segera kembali.” Umi pun tak kalah antusias pada pernikahan putri sulungnya. Karina mencebik dan menggoyang-goyangkan kepala. Dia tak mau mengadakan resepsi. “Adeeek!” Bang Fajar mendeli

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 53

    Dunia seakan berhenti berputar ketika aku melihat siapa yang berdiri di sana. “B--Bang, Fajar?” Lelaki yang disebut namanya oleh Karina itu menoleh. Seulas senyum tersungging pada bibirnya. “Yes, Karin!” Sepasang bola bening milik Karina berkaca-kaca. Karina sudah berlari hendak memeluk Bang Fajar, tapi lengan Abi sigap menghadangnya. “Eh, anak gadis Abi mau ke mana? Bukan mahram, gak boleh peluk-peluk!” celoteh Abi sambil menahan tubuh Karin yang sudah siap menerkam Bang Fajar. “Isshhh, Abi!” Wajah Karina bersemu. Rasanya sungguh malu. Apalagi orang tua Bang Fajar serentak tertawa. Umi pun mengajak calon besannya masuk. Semua duduk pada sofa berbentuk U yang tertata apik di ruangan yang cukup luas. Bang Fajar tampak kalem. Sementara itu, Karina sejak tadi menangkup wajah. Dia masih terisak pelan. Umi memeluknya seraya mengusap-usap punggung Karina. “Duh, kok malah nangis, sih? Apa kedatangan Abang mengganggu?” Suara Bang Fajar menggoda Karina. “Berisik!” omel Karina seraya m

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 52

    “Mau minum apa?” Lelaki yang duduk di sisi kiri Karina tersebut bertanya ketika pramugari sedang menawari makanan dan minuman. Karina menoleh malas lalu mengedik. Akhirnya dia memesan sendiri kopinya. “Kamu kerja di sini? Atau di Surabaya?” “Di sini.” “Kalau aku, kerjanya di Surabaya. Mungkin akan segera dapat jodoh orang sana juga.” Karina mengangguk malas. Dia pun tak menimpali. Mendengar kata-kata jodoh, membuatnya semakin malas. Akhirnya dia lebih memilih memejamkan mata. Satu jam lebih saja harusnya tiba di sana. Hanya saja … entah kenapa. Waktu terasa beranjak sangat lama. “Bang Fajar … selamat tinggal.” Batin Karina sibuk mengucapkan kata perpisahan. Dia pun terus berpura-pura saja tertidur agar tak diajak ngobrol oleh lelaki yang ada di sampingnya. Tampan, sih. Namun, Karina bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Tiba di Bandar Udara Internasional Juanda. Karina keluar dengan berjalan lunglai. Ponselnya sudah diaktifkan. Namun, tak ada satu pun pesan dari Bang Faja

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 51

    Enam bulan berlalu dari saat tragedi penyekapan Mbak Fiska. Semua sudah hidup normal kembali sesuai porsinya. Perusahaan dagang milik Mas Baska yang join venture dengan Pak Martadinata sudah stabil. Hal itu juga yang menjadikan alasan Karina memutuskan untuk mengganti agency. Lagi pula kontrak dengan perusahaan konslutan dan pajak milik Mbak Nency sudah selesai. Karina tak mau lagi diperpanjang. Alasannya, perusahaan mereka sudah stabil dan ada sendiri orang pajak internal. “Kita masih butuh konsultan pajak, Rin.” Mas Baska menatap draft kontrak kerja sama yang Mbak Nency ajukan kembali kemarin. “Konsultan masih banyak, Mas. Hanya butuh advise sekarang ini, bukan pekerjaan harian.” Karina menjawab judes. Bahkan dia tak segan merobek kertas-kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. “Tim Nency kerjanya bagus. Apa ada alasan yang lebih masuk akal selain perusahaan sudah settel?” Mas Baska menatap Karina. Gadis itu benar-benar keras kepala. “Yup, betul dia nagus, tapi kita membayar

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 50

    Mbak Fiska sudah berada di rumah sakit setempat sekarang. Yang pertama dilihatnya ketika matanya terbuka adalah Cahaya. Perempuan yang sepenuh hati dibenci, justru menjadi penyelamatnya dikala sedang seperti ini. Air matanya tiba-tiba menetes, lalu beralih isak.“Alhamdulilah, Mbak sudah sadar?” Cahaya mendekat dan menatap wajah tirus dan kusam yang terbaring lemah itu. Hanya anggukkan dari kepala Mbak Fiska yang menjawab. Dia menatap dengan sorot mata lemah.“Baska mana?” Suara serak Mbak Fiska terdengar. “Mas Baska lagi nganterin Kiran dulu. Kasihan ikut tidur di sini. Mas Baska titip di tempat Karina, Mbak.” Cahaya menjawab sambil tersenyum. Memang pernah sakit hati, pernah kesal, pernah benci. Namun, tak menghalanginya untuk berbuat baik. Seburuk apapun Mbak Fiska, dia adalah kakak dari suami yang dicintainya, Mas Baska. “Maafin, Mbak … Mbak sudah salah menilai kamu. Maafin, Mbak ….” Dia terisak lagi. Cahaya duduk dan menggenggam jemarinya lalu menatap lekat pada pupil hitam Mb

  • PULANG DARI PERANTAUAN   Bab 49

    Mas Fajri tersenyum lebar ketika akhirnya CCTV yang ada di villa berhasil diretasnya. Kini dia kembali fokus pada tujuan utama yaitu meretas sistem perusahaan Mas Baska. Hanya saja pikirannya kini jadi bercabang dengan menghilangnya Mbak Fiska. “Kamu itu kenapa jadi biang masalah sih, Fiska?” Mas Fajri mengacak kesal rambutnya. Dia pun bangun lalu mengambil air mineral dingin dari dalam lemari es yang ada di apartemen barunya. Ponselnya berkedip-kedip, ada panggilan dari Rena. Namun mood Mas Fajri telanjur rusak dan berantakan sehingga panggilan itu pun dia abaikan. Dia pun kesal juga karena Rena hanya omong kosong doang untuk bisa mendekati Mas Baska. “Apa aku lapor polisi saja, ya? Bilang kalau istriku hilang. Hmmm … tapi nanti buat berita acaranya gimana, ya? Hmmm … tapi ini terlalu berisiko. Sepertinya aku lihat sikon saja, tinggal korbankan Enjam jika pada akhirnya ada yang membuat laporan ke polisi. Semoga saja Fiska bisa segera ditemukan oleh Enjam dan diamankan.” Mas Fajri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status