Pelan Nek Kamsiah membuka kedua kelopak matanyanya yang terasa berat. Tidak ada sedikit pun cahaya yang tertangkap oleh korneanya, hingga membuat wanita tua itu memutuskan menutup netra kembali. Badannya terasa remuk redam, bagai diinjak berton-ton beban berat.
Namun, Ia masih mengingat dengan pasti insiden yang terakhir kali dialaminya. Bagaimana Nasir menyiksanya dengan arogan hingga ia tak sadarkan diri. Lebih getir dari itu, masih lekat di ingatannya bagaimana putri Nurlaila diregang paksa dari dekapannya. Lalu dibawa pergi entah ke mana.
Apakah ini alam kubur? Ia membatin. Perlahan ia menggerakkan jemarinya yang lemah. Jari-jari yang sudah tersumbur urat-urat kasar. Ia lalu menggoyang-goyang pelan kedua kakinya, masih dalam kondisi mata terpejam. Beratnya penyiksaan Nasir, membuatnya sangsi bahwa ia masih hidup.
“Dewi … pencuri itu sudah bangun,” teriak seorang wanita.
Pencuri? Siapa yang ia maksud? batin Nek Kamsiah. Lekas ia memaksa membuka kedua kelopak mata, lalu meraba-raba sekelilingnya yang gelap gulita.
“Nyalakan semua suluh agar ia bisa melihat kita,” sahut wanita yang lain.
Dalam sekejap, terang benderanglah tempat itu. Saking silaunya, membuat Nek Kamsiah menyipitkan mata.
“Dasar wanita tua pencuri, beraninya kau mencuri benda pusaka milik kami,” lantang suaranya menuduh wanita tua tak berdaya itu.
“P-pencuri?” gumam Nek Kamsiah, keningnya berkerut mencerna tuduhan itu. Ia memaksakan bangkit, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Betapa tercengangnya wanita tua itu melihat sosok-sosok yang mengelilinginya. Enam orang wanita berpostur pendek, kira-kira satu meter dengan sebelah mata jatuh ke pipi. Kulitnya pucat dengan rambut panjang acak-acakan. Berkali-kali Nek Kamsiah memalingkan wajah dari menatap mereka, tapi wajah mereka ada di setiap penglihatan Nek Kamsiah.
“S-siapa kalian?” teriak Nek Kamsiah ketakutan. Tidak ada lagi kekuatannya untuk kabur dari tempat itu. Ia hanya pasrah menyaksikan wajah-wajah mengerikan di hadapannya.
“Seharusnya kami yang bertanya demikian, kau siapa dan apa tujuanmu mencuri benda pusaka milik orang bunian?” dengus salah seorang dari mereka dengan cuping hidung mengembang tanda emosi.
“Orang bunian?” Nek Kamsiah terperangah. Barulah ia sadar bahwa yang dihadapinya saat ini adalah orang Bunian. Dulu, Nek Kamsiah tidak percaya dengan adanya bangsa selain manusia. Ia mengira orang Bunian hanyalah dongeng turun temurun masyarakat sana. Sekarang, semuanya sudah terbukti di depan matanya. Bahkan fisik mereka lebih mengerikan dari cerita yang berkembang di tengah masyarakat.
“A-ambo indak pernah mencuri barang apa pun milik kalian. Ambo indak pernah mengganggu bangsa kalian,” lirih Nek Kamsiah ketakutan. Enam orang bunian itu semakin mendekat padanya. Jantungnya kini berdegup kencang. Seakan ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri
“Kalau kau indak mencuri, lalu kenapa keris emas ini ada di dalam bajumu?” cecar mereka sambil menunjukkan sebuah keris berwarna emas yang memang mereka temukan di dalam baju Nek Kamsiah.
Nek Kamsiah ingat, saat berada di dalam gua, ia menginjak sebuah benda tajam, lalu di simpannya di balik baju sebagai senjata untuk berjaga-jaga jika bertemu dengan orang-orang Nasir. Sialnya, saat bertemu Nasir pun ia lupa menggunakan benda itu untuk menyelamatkan dirinya dan anak Nurlaila.
“Kau mencuri langsung saat penjaga keris itu sedang tertidur. Kau tidak bisa lagi berkilah, Wanita Tua!” bentak mereka, hingga membuat Nek Kamsiah semakin ketakutan.
“Algojo, seret dia ke ruang bawah tanah! Cuci otaknya biar dia menjadi gila!” titah seorang laki-laki gemuk berperut buncit yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Nek Kamsiah. Matanya terus memelototi Nek Kamsiah.
Dulu, seringkali Nek Kamsiah menyaksikan seseorang hilang di hutan, saat ditemukan sudah dalam kondisi gila, suka bicara dan tertawa sendiri. Ia kira itu hanya kebetulan saja. Hukuman itukah yang ia maksud? Batin Nek Kamsiah. Ia bergidik membayangkan hidup tanpa kewarasan.
“Sungguh, Ambo bersumpah indak pernah mencuri. Ambo mendapatkan benda itu saat bersembunyi di dalam gua.” Menangis Nek Kamsiah memohon ampun sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Ia tak menyangka, bahkan di bangsa lain pun ia dituduh melakukan hal yang tidak pernah ia perbuat. Ia sungguh merasa tidak ada lagi keadilan untuk takdir hidupnya.
Seorang Algojo bertubuh tinggi kekar dan tanduk di kepalanya lantas menyeret kedua tangan Nek Kamsiah dengan kasar. Wanita tua itu memukul-mukul tangan makhluk yang penuh bulu itu dengan sisa-sisa tenaganya. Sesampainya di pintu keluar, seorang wanita yang duduk di kursi bak singgasana angkat bicara.
“Tunggu! Lihat dulu kebenarannya di cermin masa lalu. Bangsa kita bukanlah bangsa yang menghukum tanpa bukti.” Perempuan itu merentangkan tangannya memberi kode agar algojo dan bunian lainnya untuk berhenti menyakiti Nek Kamsiah.
“Baik, Dewi,” ucap mereka bersamaan.
Wanita itu sepertinya ratu orang-orang bunian. Secara fisik, penampilannya terlihat sama seperti manusia, hanya saja alis matanya sangat tebal dan bertaut antara satu sama lain. Sedangkan bagian antara bibir dan hidungnya tidak memiliki lekukan. Sementara kakinya terbalik−tumitnya menghadap ke depan.
Ia duduk di atas singgasana berukirkan emas. Saat ia bertitah, tanpa membantah sedikit pun laki-laki bertanduk itu melepas cengkramannya dari tangan Nek Kamsiah. Sedangkan keenam wanita-wanita pendek berwajah menyeramkan yang tadinya mengelilingi Nek Kamsiah berjalan mundur teratur dengan sedikit membungkukkan badan.
Ruangan tempat Nek Kamsiah berada saat ini sungguhlah megah. Dindingnya berukir mutiara warna warni, langit-langit ruangan berwarna biru cerah dengan ukiran awan-awan putih, terlihat nyata bak langit sungguhan, menenangkan hati siapa saja yang melihatnya.
Bibir wanita yang mereka panggil Dewi itu komat kamit seperti melafalkan sesuatu. beberapa detik, matanya terpejam. Saat kembali membuka mata, Seketika, terbukalah tirai berajutkan sutera yang menutupi dinding sebelah kirinya. Nek Kamsiah terpana, kala memandang di sana ada video dirinya sedang meringkuk ketakutan di dalam gua tempo hari.
Terdengar pula teriakan-teriakan orang-orang Nasir yang memanggil-manggil namanya dari luar gua. Di dekat kaki Nek Kamsiah, nampak sebuah keris berkilauan yang kemudian ia masukkan ke dalam bajunya. Video terus berlanjut hingga mempertontonkan saat di mana Nasir memukuli Nek Kamsiah dan merebut bayi perempuan Nurlaila dari tangannya. Membara hati Nek Kamsiah menyaksikan lagi peristiwa itu.
Rekaman itu kemudian diputar mundur, hingga memperlihatkan sesosok laki-laki gemuk dengan perut buncit, di kepalanya juga terdapat tanduk seperti halnya algojo negri bunian. Ia Masuk ke dalam gua tersebut. Dialah sosok yang dipercayakan untuk menjaga keris pusaka. Saat hendak membuka sepatu, sosok itu tak menyadari keris yang terselip di pinggangnya terlepas dari sarungnya lalu jatuh ke lantai.
Ia terus saja melangkah menuju pojok gua, menunggu Dewi dan orang bunian lainnya pulang dari pesta, karena hanya Dewi yang bisa membuka pintu istana. Gua itu adalah penghubung antara hutan dan Negeri Bunian. Lama menunggu, sang penjaga keris sampai tertidur di sana dengan suara dengkuran yang amat keras. Di dalam Vidio itu, terlihat pula Nek Kamsiah ketakutan dengan suara dengkuran sang Algojo.
Saat Algojo bangun, ia terkesiap menyadari bahwa keris yang terselip di pinggangnya sudah tiada. Dengan kemampuan penciuman yang kuat, ia mengendus keberadaan keris itu, hingga akhirnya ia sampai ke gubuk tempat di mana Nek Kamsiah tak sadarkan diri. Penjaga benda pusaka itu kemudian membawa Nek Kamsiah ke istana bangsa bunian.
Tertunduk malulah wajah penjaga keris berperut buncit itu saat menyadari kejadian sebenarnya. Ia telah salah menuduh Nek Kamsiah.
“Maafkan Ambo, Dewi! Sungguh ambo indak menyadari keris pusaka itu jatuh.” Ia berlutut di hadapan Dewi yang tampak kesal dengan ulah penjaga kerisnya.
“Hampir saja kita menyakiti orang yang indak bersalah. Minta maaflah padanya!” titah Dewi yang langsung dilaksanakan oleh laki-laki berbadan tambun itu.
***
Semua luka di tubuh Nek Kamsiah sudah diobati oleh Dewi dengan ramuan yang dibuat oleh tabib-tabib bangsa Bunian. Pakaian kotor dan lusuh Nek Kamsiah juga sudah diganti dengan kebaya bertaburkan mutiara ala bangsa Bunian. Rambut putihnya kini disanggul, hingga membuat penampilan wanita tua itu menjadi segar. Jika tiba waktu makan, Dewi hanya menjentikkan jari, seketika semua makanan lezat tersaji di meja makan. Terkesima Nek Kamsiah melihat keajaiban demi keajaiban di istana itu.
“Aduhai … sekiranya ambo bisa tinggal di sini. Pastilah Bahagia sekali hati ini. daripada terus menjadi bulan-bulanan Nasir,” gumam Nek Kamsiah sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi istana.
“Apakah inyiak ingin tinggal selamanya di sini?” tanya Dewi memastikan lagi gumaman Nek Kamsiah yang baru saja tertangkap oleh indra pendengarannya.
“B-betul, Dewi. Apakah itu bisa terjadi?” Ia balik bertanya.
“Sangat bisa, tetapi dengan satu syarat,” jawab Dewi menggantung ucapannya sembari mengembangkan senyum.
“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar.“Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.”Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah.
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
Delapan jam sebelumnya.Suara burung hantu dan jangkrik saling bersahut-sahutan menyambut datangnya malam. Langit sudah semakin gelap. Dinginnya udara pegunungan bagai menusuk-nusuk kulit Edrik dan dua pengawalnya. Mereka kebingungan mencari jalan pulang. Memang, jalan-jalan di hutan itu belum mereka kuasai, apalagi terlalu banyak persimpangan.“Tidak becus kalian bekerja. Pastilah kalian lupa membuat tanda-tanda itu,” hardik Edrik sembari menendang bokong dua pengawal yang menyertainya.“Ampun, Tuann,” ucapnya meminta maaf, ketakutan. Mereka tidak berani beralasan. Mereka tahu betul, Edrik tidak akan menerima alasan apa pun. Semakin keras hukuman yang akan diterima seandainya berani beralasan. Mereka pun heran, bagaimana bisa tanda-tanda yang sudah dibuat di pohon setiap persimpangan jalan bisa hilang begitu saja. Padahal, tak setetes pun hujan yang turun, jikalau tanda itu terhapus hujan.Dari tadi, setiap jalan persi
Merasa bujukannya diabaikan, Nek Kamsiah mendobrak pintu dengan kasar, hingga bergetarlah seisi gubuk. Tak butuh kekuatan lebih, terlepaslah daun pintu yang telah lapuk itu dari tiang penyanggahnya, dan hampir saja mengenai Imus dan anaknya. Nek Kamsiah mengulum senyum menyaksikan Imus yang begitu ketakutan.Tak ada pilihan lain, posisi Wanita itu sudah terdesak, tak ada celah untuk melarikan diri. Dengan sudut matanya, Imus terpaksa menilik Nek Kamsiah yang terus saja meyakinkannya jika dia belum meninggal. Dengan hati-hati, ditatapnya Nek Kamsiah dari kepala sempai kaki berulang kali, sambil komat kamit membaca surah Al-Ikhlas.“K-Kau benar Inyiak Kamsiah?” tanyanya dengan rasa takut kian memudar melihat bagaimana rupa Nek Kamsiah saat ini.“Benar, Indak usah takut. Aku manusia. Sampai berbusa pun mulut kau tu membaca Kul Huwolloh indak akan berpengaruh padaku,” tekan Nek Kamsiah menahan amarah di dadanya yang hendak meledak ba
“Kau ingin emas yang banyak, ‘kan?” Nek Kamsiah dan seorang pelayan istana membuka sebuah ruangan khusus yang dipenuhi emas dan berlian. Berbagai ukuran dan model perhiasan ada di sana. Di pajang di dalam sebuah kaca jumbo yang mengelilingi ruangan itu. Penduduk negeri Bunian bebas memakainya. Imus melongoh takjub. Tanpa basa-basi, ia membuka kaca penutup perhiasan dan mengambil cincin-cincin berukuran besar, lalu memasangkan ke semua jemarinya. Begitu pun gelang dan kalung, tak luput dari incaran wanita berkulit coklat itu. Ia lentikkan jemarinya, rambut sebahunya yang menutupi leher, ia kibaskan ke belakang, agar terlihat kilauan-kilauan berlian yang terpancar dari kalungnya.Ia berhayal sedang berlenggak lenggok di tengah orang-orang kampung. Memamerkan pakaian dan perhiasan-perhiasan baru yang tidak dimiliki siapa pun. Pastilah mereka akan iri melihat kecantikan d
Di pinggir telaga Kubangan, duduklah sesosok bunian wanita menggendong seorang bayi. Beberapa kali ia menciumi dan mendekap erat bayi tersebut, melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Bunian itu amatlah cantik dibanding bunian lainnya. Rambutnya panjang dan hitam legam, menjuntai hingga ke betis. Kulitnya halus bak porselen. Dan wajahnya cerah layaknya bulan purnama. Belakangan, kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan laki-laki bunian. Wanita itu adalah primadona baru di bangsa tersebut. Dialah Nek Kamsiah, yang telah menjelma menjadi wanita cantik usia tiga puluh tahun. Setelah menuntaskan urusannya dengan manusia dan berhasil menggagalkan pembunuhan cucunya, Nek Kamsiah melakukan ritual berendam di Telaga Kubangan selama tiga hari berturut-turut. Mereka menyebutnya “ritual ngapuang”, yang dipimpin oleh ratunya kaum bunian, Dewi. Selain berubah menjadi belia, ritual itu ber
Nurlian menajamkan pendengarannya. Memastikan suara yang samar-samar ia dengar. Namun, teriakan itu ditelan oleh bisingnya dentaman air yang jatuh ke batu. Mungkin hanya perasaanku saja,” batinnya.Seperti biasa, Nurlian berenang di kolam terjun beraliran jernih itu. Sesekali ia duduk persis di bawah jatuhnya air, menikmati setiap dentaman-dentaman air yang jatuh di kepalanya. Membuat kepala gadis itu bagai di pijit-pijit. Keasyikan menikmati dinginnya air pegunungan, Nurlian abai terhadap arak-arakan awan hitam. Ia masih asyik mengejar ikan-ikan yang bersembunyi di balik batu, teman bermainnya setiap kali datang ke sana.Akhirnya, awan hitam yang sedari tadi sudah memberi peringatan, kini benar-benar memuntahkan isi perutnya. Bukannya segera keluar, Nurlian malah bertambah senang berenang di tengah hujan yang turun semakin deras. Ia memang sangat menyukai hujan, karena di Negri Bunian tidak pernah terjadi hujan. Selain itu, ia