“Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.
“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.
Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.
Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.
Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu
“Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa
KEMBANG DESA YANG TERNODA Suatu malam di tahun 1900 Awan hitam mulai menutupi semburat kemerahan di langit Lereng Gunung Marapi. Suasana kampung gelap gulita, kecuali di halaman rumah Nasir, sebagian warga berkumpul dengan amarah yang membuat gelap hati mereka. Mereka sedang merencanakan pembunuhan terhadap Nurlaila, seorang wanita yang katanya adalah gundik Belanda. “Sudah jelaslah bagi Tuan-Tuan semua. Perempuan tu ada hubungan khusus dengan Belanda. Lihatlah anak yang dilahirkannya. Bermata biru khas Belanda.” Nasir, seorang laki-laki yang belakangan getol memprovokasi warga angkat bicara dengan gaya pongahnya. Warga yang sudah melihat sendiri bagaimana rupa Bayi Nurlaila, mengangguk-angguk di bawah penerangan obor dalam genggaman mereka. Di kampung itu, siapa saja yang keluar rumah pastilah membawa sebuah obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang jalan. Nurlaila belakangan memang jarang keluar rumah. Terakhir kel
KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 2“Hmm, tak ada malu kau menampakkan muka di sini! Gund*k Penjajah!” bentak Nasir menunjuk Nurlaila dengan tangan kirinya. Antara rasa ragu dan keinginan ingin terlihat benar di hadapan warga.“Ambo ingin meluruskan semuanya. Ambo ndak pernah bersekutu dengan Belanda. Semua tuduhan Tuan-tuan adalah fitnah.” Bergetar suara Nurlaila berbicara di antara kerumunan warga yang kebanyakan adalah laki-laki.“Jangan munafik, Nur! Semua orang tau kalau Belanda tu sering keluar masuk rumah kau. Kalau kau ndak bersekutu dengan mereka, lalu anak yang kau lahirkan tu anak siapo? Anak setan?” sahut Nasir sembari mengangkat dagunya. Kali ini ia merasa percaya diri karena meyakini sudah mendapatkan hampir seluruh kepercayaan warga.“Astaqfirullah. Berhentilah kau mengaji di surau tu! Percuma tiap hari suara kau sampai ke langit sana mengaji di sana
KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 3Sungguh kejam kalian memperlakukan anakku seperti binatang, batin Nek Kamsiah mengutuk, air matanya merebak di kedua pipi, membayangkan sakit yang ditanggung Nurlaila. Tak ia sangka putri semata wayangnya yang ia manja bak ratu itu meregang nyawa dengan cara sesadis itu.Ternyata amarah mereka belum juga tuntas. Tidak lama kemudian, terdengar sorak sorai warga berjalan menuju rumah panggung Nek Kamsiah. Warga yang tadinya berkumpul di halaman rumah Nasir, berpindah ke rumah Nek Kamsiah. Saat ini, wanita tua itu bisa melihat dengan jelas pemandangan di sana, karena ia berada di dataran yang lebih tinggi.“Musnahkan antek penjajah!” Bergemah suara Nasir menyulut emosi warga. Berkali-kali ia ucapkan kalimat provokasi itu.Jerigen minyak tanah yang ia ambil sebelumnya dari rumahnya serta merta ia lempar ke rumah Nek Kamsiah yang dindingnya te
KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 4“Da, apa ndak sebaiknya awak lanjutkan besok saja?” usuk Izan, salah satu pemuda yang ikut mencari Nek Kamsiah. Ia sebenarnya ragu masuk ke hutan itu, tapi paksaan dari Nasir membuatnya mau tak mau harus ikut juga.“Jika menunggu besok bisa-bisa kehilangan jejak awak, Zan. Kau laki-laki, tapi cepat menyerah,” ledek Nasir sambil memukul pundak Izan, hingga pemuda itu bergeser dari tempat berdirinya.“Bukannya menyerah, Da. Susah mencari orang di hutan seluas ni, apalagi dalam keadaan gelap serupa ni, bukan Inyiak Kamsiah nanti yang akan awak temukan, Da, tapi inyiak balang (harimau).” Ocehan Izan langsung disambut dengan gelak tawa oleh orang-orang yang berada di sana.“Sstt, jangan sebut-sebut nama tu, nanti dia ke sini.” Salah seorang warga mengingatkan sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Warga yang tadi tertawa
KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 5Saat sudah menginjakkan kaki di bagian dalam gua, tiba-tiba beterbanganlah segerombolan kelelawar menabrak muka mereka. Mungkin hewan itu kaget karena sarang mereka tiba-tiba diterpa cahaya obor. Siyon dan teman-temannya lari kocar kacir mencari jalan ke luar.Bagai ditalu-talu jantung Nek Kamsiah mendengar teriakan mereka, seperti sudah di balik telinganya. Apalagi cucunya sempat kaget dan menggeliat.Menyadari Siyon dan teman-temannya berteriak karena ketakutan, sedikit tenang hati Nek Kamsiah. Hal itulah yang membuatnya merasa yakin gua itu aman dijadikan tempat persembunyian. Karena butuh nyali besar untuk masuk ke dalam sana.Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Nek Kamsiah tertegun. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak menjalar dan mendesis di kaki telanjangnya. Bercucuran keringat dinginnya menahan takut. Saat itu ia yakin, bergerak sedikit saja bisa membahayakan nya
Secepat kilat Nek Kamsiah membawa lagi bayi itu ke gendongannya. Ia tangkupkan bayi itu ke dadanya, lalu ditepuk-tepuknya bokong sang bayi. Bukannya diam, tangisannya malah semakin keras. Mengerti cucunya kehausan, Nek Kamsiah memasukkan ibu jari bayi itu ke mulutnya. Sejenak ia diam, menghisap ibu jari sendiri. Namun, tidak lama kemudian, tangisnya pecah lagi. Mungkin karena jari yang ia kira bisa melepas dahaganya tak juga kunjung mengeluarkan ASI.Bersiap Nek Kamsiah keluar dari pondok untuk mencari air, sebelum keberadaan mereka tercium oleh Nasir. Ia kuatkan lagi ikatan tingkuluaknya yang sudah mulai longgar di tubuh sang bayi. Ia takut cucunya akan masuk angin.Saat membuka pintu pondok, terkesiap Nek Kamsiah mendapati di depan sana berdiri Nasir dan teman-temannya, menatap dengan seringai miring. Rupanya tangisan sang bayi menjadi petunjuk keberadaan Nek Kamsiah.“Serahkan sajalah bayi tu, Nyiak. Jang
“Apakah sudah kau bunuh Nurlaila dan keluarganya?” tanya Edrik pada Nasir saat Nasir berkunjung ke benteng pertahanan Belanda di Batusangkar yang terletak di pusat kota. Pagi-pagi sekali, Nasir sudah berpakaian rapi demi mengunjungi Edrik.“Eeee Nurlaila dan Kamsiah sudah mati, Tuan. Anaknya untuk sementara dalam pengasuhan istri ambo. Mirip betul anak itu dengan Tuan, terlebih warna mata dan rambutnya. Sayang betul Istri ambo pada anak Tuan tu, benar-benar dirawatnya dengan baik,” jawab Nasir dengan mata berbinar-binar. Ia bermaksud menyenangkan hati tuannya. Kembang kempis hidungnya karena merasa bangga dengan pekerjaannya.“Kurang ajar,” hardik Edrik dalam Bahasa Belanda sambil menggebrak meja, hingga jatuh berserakanlah gelas yang ada di meja itu. Wajahnya merah padam menatap Nasir penuh amarah. Nasir yang duduk di depan orang Belanda itu terlonjak kaget melihat amukan Edrik. “Kenapa tak kau bunuh sekalian bayi itu?&r