Share

PART DELAPAN

Keesokan harinya, dua orang suruhan Nasir menjemput bayi Nurlaila.

“Kalian bunuh dengan ini, atau kubur saja hidup-hidup!” Nasir menyodorkan sebilah pisau yang sebelumnya sudah ia asah. Pastilah mampu memutus leher sang bayi dalam satu tebatas saja, saking berkilaunya mata pisau itu.

Siyon dan Munir saling berpandangan. Siyon bergegas meraih pisau yang disodorkan Nasir. Ia mengangguk takzim terhadap tuannya itu. Baginya, melaksanakan perintah Nasir adalah sesuatu yang membanggakan. Layaknya prajurit menjalankan perintah panglimanya. Segala hajatnya akan ia tunda. Bahkan, tubuhnya yang masih penuh luka karena diseruduk induk babi tempo hari ia abaikan demi menerima amanah Nasir. Nasir pun tau kesetiaan Siyon. Itu sebabnya Siyonlah orang pertama yang ia panggil untuk melancarkan misinya.

Sedangkan Munir tak yakin bisa tega membunuh bayi tak berdosa itu. Sungguh pun ia anak Belanda yang telah membunuh keluarga mereka tempo hari, tetapi bayi itu tetaplah suci. Tak ada hubungannya dengan dosa yang telah dilakukan orang tuanya.

“Bawa anak haram tu dari sini, ndak sudi lagi Imus menjaganya!” ketus Imus sembari memberikan bayi itu kepada Munir dengan kasar. Jemarinya ia tepuk-tepuk setelah melepas sang bayi ke tangan Munir, mengekspresikan rasa jijiknya. Ia melengos, lalu berlalu ke dalam kamarnya. Dari tadi malam, perempuan judes itu enggan menjaga bayi Nurlaila karena ia tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari Belanda.

Bergetar tangan Munir menerimanya. Selain tak tega, ia baru pertama kali menggendong bayi sekecil itu. Terlebih dalam kondisi seperti ini.

“T-tapi, Da, apa ndak terlalu kejam kalau awak membunuh bayi tak berdosa ni?” protes Munir.

“Alah, Belanda tu membunuh saudara awak ndak pernah memikirkan dosa. Mengapa pula awak harus bicara dosa terhadap keturunannya? Sudahlah Nir, jangan banyak protes, ini demi keamanan awak dan seluruh warga di nagari ni. Malah awak akan dianggap sebagai pahlawan karena membunuh musuh. Surga nanti menanti awak,” kilah Nasir, seenaknya menjanjikan surga, seperti surga itu punya bapaknya.

“Kenapa ndak Uda saja yang melakukannya?” tanya Munir masih diselimuti perasaan ragu. Pemuda berkulit hitam dan bertubuh pendek itu ingin menolaknya, tetapi ia takut jika Nasir murka.

“Ambo ingin berkunjung ke Nagari lain, ingin membicarakan dengan tetua-tetua Nagari lain bagaimana awak bisa lepas dari penjajahan ni. Ndak sanggup lagi Ambo melihat hasil panen orang-orang di nagari awak di ambil paksa Belanda. Nyawa saudara-saudara awak seakan ndak berharga di tangan Belanda tu. Ndak inginkah kalian awak cepat merdeka?” jawab Nasir berbohong. Ia malah sebenarnya akan pergi menemui tuannya, Edrik. Untuk melaporkan kejadian-kejadian baru di nagarinya yang membahayakan kedudukan Belanda di sana.

Dalih Nasir membuat Munir dan Siyon mau tak mau mengikuti perintahnya. Segera mereka melangkahkan kaki menuju hutan. Rencananya mereka akan mengeksekusi bayi itu di hutan, jauh dari keramaian.

“Apak, kenapa adik tu dibawa pergi?” Berkaca-kaca mata Usmar—anaknya Nasir—sembari menarik-narik celana bapaknya. “Biarkan saja adik kecil tu di sini, Pak. Biar bisa main dengan Uus,” lanjutnya lagi mendesak agar Nasir mengambil bayi itu kembali. Ia belum mengerti apa pun.

Memang semenjak ada anak Nurlaila di sana, Usmar begitu gembira. Ia selalu berada di samping sang bayi, melihat bagaimana Imus merawatnya. Kadang ia menyuapinya dengan pisang yang dikerik, meniru apa yang dilakukan Imus—ibunya. Usmar juga jadi betah di rumah. Padahal, biasanya dari pagi ia selalu bermain di halaman surau atau pun berlari-larian keliling kampung bersama teman-teman sebayanya.

“Eh, besok kita minta adik baru pada amak, ya. Ayo masuk … ayo masuk!”

***

“Da, apa Uda tega melakukannya?” tanya Munir kepada Siyon saat mereka sudah memasuki hutan. Munir tak henti-hentinya menatap wajah bayi itu. Bayi dengan iris mata berwarna biru itu dari tadi menatapnya seolah meminta perlindungan. Tangan mungilnya keluar dari bedong. Lalu menggapai-gapai lengan baju Munir, membuatnya semakin tak tega.

“Yaaa, mau bagaimana lagi, Nir. Ada benarnya juga perkataan Uda Nasir tu. Membesarkan anak ni sama saja dengan membesarkan anak ular. Dia besar, awak dimakannya tu. Lebih baik dibunuh dari sekarang,” ucapnya enteng.

“Ambo ndak berani, Da. Uda lakukan sajalah sendiri. Ndak tega ambo melakukannya. Terbayang di mata ambo jika anak ni adalah anak ambo sendiri,” ucap Munir. Berkaca matanya sambil mencium kening bayi dalam gendongannya. Mengerjap bayi itu saat dicium oleh Munir. Wajahnya yang menggemaskan membuat hati pemuda itu semakin terenyuh.

“Percuma kumis tebal tu kau pelihara sampai menutup bibir, jika punya hati macam kerupuk, mana pulalah bisa kau membayangkan rasanya punya anak sedangkan kau sendiri belum mencicipi bagaimana nikmatnya  ‘yang setumpuk’ tu,” seringai Siyon mengejek Munir yang memang belum menikah.

“Terserah penilaian Udalah. Awak benar-benar ndak sanggup, Da.” Ia menyerahkan Bayi itu ke tangan Siyon. Jikalau bukan karena takut dengan Nasir dan warga lainnya, ia akan membawa pulang lagi bayi itu.

“Janganlah penakut seperti itu! kalau kau ndak mau membunuhnya, biar Uda yang lakukan, tapi antarkan Uda sampai ke bukit dekat gua tu. Di situ awak kerjakan, bangkainya bisa dimakan binatang buas, biar ndak bertambah kerja awak menggali-gali tanah,” bujuk Siyon, ia enggan menggendong bayi Nurlaila.

“Atau kalau anak ni kita letakkan saja di sana bagaimana, Da? Tidak perlulah uda sampai menebas lehernya,” tawar Munir lagi. Tersentuh hatinya mendengar tangis sang bayi. Berulang kali ia gerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri untuk menghentikan tangisan bayi itu, tapi tetap saja ia menangis, seakan tau bahaya sudah di depannya.

Munir merapikan bedong yang tadi menutupi seluruh tubuh sang bayi yang sudah acak-acakan, karena ia terus saja merengek dan menggeliat, gelisah.

“Bisa marah Nasir pada Awak, Nir. Sudahlah Nir, ikuti saja Uda, ndak perlu bercakap banyak,” jawab Siyon, memberi kode pada Munir untuk melanjutkan perjalanan.

Munir, perawakannya memang sangar, berkulit hitam dan berkumis tebal, tetapi untuk urusan bunuh membunuh, apalagi membunuh bayi, ia tidak setega itu. Sungguh salah Nasir memerintahkannya melakukan pekerjaan ini.

“Uda curiga, Nir. Masuk pulak ndak ‘bibit’ kau pada Nurlaila sampai begitu sayangnya kau pada anak tu? Jangan-jangan ini bukan anak Belanda, tapi anak kau.” Siyon tertawa terbahak-bahak, hingga membuat lari burung-burung yang bertengger di dahan pohon karena keras suaranya. Sedangkan Munir yang masih diliputi ketakutan dan kesedihan, hanya diam saja mendengar dirinya diolok-olok.

Mereka lalu berjalan menuju tempat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, sang bayi sering menangis. Bagaimana tidak, sejak Imus─istri Nasir─tau kalau Edrik tidak menginginkan anak itu, Imus tidak mau lagi repot-repot menampung air tajin untuk diberikan kepada sang bayi. Ia hanya akan memberi air putih jika benar-benar sudah terganggu dengan tangisan bayi.

Sesampainya di atas bukit, Siyon meletakkan bayi itu pada sebuah batu besar pipih yang cukup tinggi. Tak tersentuh sedikit pun hatinya mendengar tangis sang bayi. Ia benar-benar akan melaksanakan perintah Nasir. Mata pisau di tangannya sudah berkilau diterpa sinar matahari sore.

Sedangkan Munir, memilih lebih dulu bergerak meninggalkan gua. Ia tidak tega jika harus melihat bayi yang menggemaskan itu mati di tangan Siyon. Ia sudah terlanjur sayang pada bayi bermata biru itu.

Bergegas ia menuruni jalan yang landai. Berharap tidak mendengar lagi tangisan sang bayi, agar hilang rasa bersalahnya. Wajah menggemaskan bayi Nurlaila selalu bermain dalam memori otaknya. Namun, Sekitar seratus meter perjalanan, tiba-tiba ia mendengar teriakan Siyon.

“Tolooongg, Niiir, Tolong Udaaa!” Bergidik Munir mendengar teriakan Siyon. Ia mencoba menerka berbagai macam kemungkinan, yang membuatnya semakin takut. Apalagi saat ini ia hanya seorang diri.

“Niiirr, To … Tooo ….” Setelah teriakan itu, suara Siyon lalu lenyap begitu saja.

Dengan kaki yang gemetar, ia mencoba balik lagi ke atas bukit. Sepanjang perjalanan, kedua bola matanya bergerak pelan memindai sekeliling, memastikan tidak ada apa-apa di sekitarnya. Silih berganti bayangan-bayangan buruk menyelinap di pikirannya, membuatnya ingin segera melarikan diri dari hutan itu. Namun, rasa setia kawan menuntutnya harus segera memastikan apa  yang terjadi di atas sana.

Sesampainya di atas, betapa kagetnya Munir menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Tubuh kekar Siyon tergeletak di atas batu pipih tempat di mana tadi ia meletakkan bayi Nurlaila. Tangan dan kakinya telah terpisah-pisah. Darah segar mengalir dari potongan-potongan tubuhnya.

Bergetar seluruh tubuh Munir. Saking ketakutannya Ia nyaris tak dapat merasakan dirinya sendiri. seluruh tubuhnya terasa kebas seketika. Pontang panting ia berlari mencari jalan pulang, meninggalkan jasad Siyon yang sudah terpotong-potong, dan bayi Nurlaila yang hilang entah ke mana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status