Share

PART TUJUH

“Apakah sudah kau bunuh Nurlaila dan keluarganya?” tanya Edrik pada Nasir  saat Nasir berkunjung ke benteng pertahanan Belanda di Batusangkar yang terletak di pusat kota. Pagi-pagi sekali, Nasir sudah berpakaian rapi demi mengunjungi Edrik.

“Eeee Nurlaila dan Kamsiah sudah mati, Tuan. Anaknya untuk sementara dalam pengasuhan istri ambo. Mirip betul anak itu dengan Tuan, terlebih warna mata dan rambutnya. Sayang betul Istri ambo pada anak Tuan tu, benar-benar dirawatnya dengan baik,” jawab Nasir dengan mata berbinar-binar. Ia bermaksud menyenangkan hati tuannya. Kembang kempis hidungnya karena merasa bangga dengan pekerjaannya.

“Kurang ajar,” hardik Edrik dalam Bahasa Belanda sambil menggebrak meja, hingga jatuh berserakanlah gelas yang ada di meja itu. Wajahnya merah padam menatap Nasir penuh amarah. Nasir yang duduk di depan orang Belanda itu terlonjak kaget melihat amukan Edrik. “Kenapa tak kau bunuh sekalian bayi itu?” lanjutnya lagi.

“T-tapi, Tuan, Ambo kira Tuan ingin membesarkan anak tu, karena darah daging Tuan sendiri. Cantik sekali anak Tuan tu. Matanya persis dengan mata Tuan,” imbuh Nasir sembari menunduk ketakutan. Tak berani lagi ia menatap wajah tuannya yang diliputi amarah. Ia seperti kucing dibawah lidi. Berbeda sekali sikapnya saat berhadapan dengan saudara sebangsanya sendiri.

“Ikuti aku!” Perintah Edrik. Ia keluar dari ruangan itu, menuju ke bagian belakang Benteng.

Tempat yang berada persis di belakang ruangan Edrik itu ditumbuhi semak belukar yang cukup tinggi. Namun, samar-samar terlihat dari sela-sela semak, berjejer beberapa ruangan kecil yang terbuat dari kayu.

Susah payah Edrik menyibak semak belukar, untuk memperlihatkan kepada Nasir apa yang ia sembunyikan di dalam sana. Setelah menyibak semuanya, Edrik mengambil kunci dari kantong celana panjang warna coklatnya, lalu ia bukalah satu per satu ruangan yang dikunci dengan gembok yang cukup besar itu.

Baru mendengar derit pintu di buka saja, sudah tak karuan rasanya hati Nasir. Beberapa kali ia menelan ludah. Tubuhnya bergemetaran. Ia sungguh ketakutan. Inikah akhir dari hidupku? Batinnya. Ingin lari rasanya juga percuma. Benteng itu dilindungi di setiap sudut oleh tentara-tentara Belanda yang selalu siap dengan senjata laras panjangnya.

Nasir seakan ingin kembali memutar waktu dan menghabisi bayi Nurlaila dengan tangannya sendiri saat berada di gubuk tempo hari, sehingga nyawanya tak dibuat terancam seperti ini.

“Kau ingat Burhan? Dia sama sepertimu. Sok tau dan melakukan hal yang bersebrangan dengan perintahku.” Edrik menunjuk sesosok manusia dengan keadaan menyedihkan di dalam ruangan yang lebih layak disebut kandang.

Bertambah gemetar kaki Nasir melihat sosok di depannya. Nyaris ia tak mengenalinya jika saja Edrik tak menyebut nama laki-laki itu.  Ia juga orang kepercayaan Edrik. Dua bulan yang lalu tubuhnya sungguh sehat dan kekar. Dan hari ini, tubuh laki-laki itu tinggal kulit pembalut tulang, terbaring dalam ruangan yang hanya cukup untuk menampung dirinya sendiri. Bibirnya kering dan pecah-pecah, entah sudah berapa lama tak tersentuh air. Kaki dan tangannya diikat dengan rantai. Tulangnya bersumburan di sana-sini, seakan ingin menembus kulit. Entah apa kesalahannya pada orang Belanda itu.

“Berilah aku minum, Tuan,” rintih Burhan menatap dengan sorot yang sudah sayu.

“Kau masih ingin kuperlihatkan lagi hukuman untuk orang-orang yang tolol dan sok tau?”

Edrik membuka ruangan di sebelah Burhan. Di sana terdapat kerangka tubuh manusia yang juga diikat kaki dan tangannya. Nasir bergidik. Ia mamalingkan wajahnya dari tulang-belulang itu, lalu berlutut di kaki Edrik.

“Ampun, Tuan. Jangan hukum Ambo. Ambo janji indak akan melakukan hal yang bersebrangan dengan perintah Tuan lagi.” Suara Nasir bergetar.

“Aib besar bagi Pimpinan Belanda jika mempunyai anak dari kalangan pribumi rendahan. Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan ingin punya anak. Cepat bunuh anak itu! Aku tak ingin ada teman-temanku yang tau. Jika tak segera kau selesaikan, tau sendiri akibatnya.” Ia menekan suaranya saat teman-temannya dan beberapa tentara Belanda lalu lalang di sekitar sana. Berita itu tentu harus ditutupi dari siapa pun.

           

“B-baik, Tuan.” Cepat Nasir menjawab.

Pupus harapan Nasir mendapatkan koin emas dari Belanda. Tidak seperti biasanya, setiap kali ia membawa kabar yang menyenangkan hati tuannya itu, Edrik akan memberikan beberapa koin emas sebagai imbalan. Nasir mengira, saat mengetahui anaknya itu begitu mirip dengannya, laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu akan luluh. Ternyata sama saja.

Bergegas Nasir meninggalkan tempat itu. Kepada anak sendiri saja Edrik tega. Apalagi kepada dirinya. Ia takut Edrik memetik pelatuk pistol yang sudah dari tadi ia putar-putar di tangannya. Tak susah baginya membunuh pribumi seperti Nasir. Walaupun Nasir telah bertahun-tahun mengabdikan diri sebagai antek Belanda di Nagarinya sendiri.

Ketakutan akan diketahui penghianatannya itulah yang membuat Nasir begitu benci kepada Nurlaila. Secara tak sengaja, Nurlaila mendengarkan percakapan antara Nasir dan Edrik di sebuah pos kecil milik Belanda di dekat pemandian umum di nagari mereka.

Sore itu, Nurlaila baru pulang dari luak (Pemandian Umum). Ia penasaran dengan dua orang yang sedang berbicara di sana, karena ia seperti mengenali wajah salah seorang di antara mereka. Nurlaila lalu mengintip dari lobang kecil di belakang pos. Saat itu, Nasir sedang melaporkan kepada Edrik tentang dua puluh orang tetua kampung yang merencanakan pemberontakan terhadap Belanda.

Karena syok dengan kenyataan bahwa Nasir ternyata antek Belanda, Nurlaila tak sengaja menjatuhkan ember tempat baju yang baru saja dicucinya. Suara ember jatuh itu langsung tertangkap oleh telinga Pimpinan Belanda itu. Edrik langsung mengejar Nurlaila saat menyadari ia menguping dari belakang pos.

Karena ketakutan, wanita itu berlari ke kebun warga, berniat mengecoh Edrik. Namun, larinya kalah cepat dibanding Edrik, apalagi ia hanya menggunakan kain sarung untuk menutupi tubuhnya─kebiasaan orang di nagari itu saat pulang dari pemandian umum─sehingga menghambat langkahnya.  

Saat Nurlaila terjatuh, tersingkaplah sedikit kain sarung yang menutupi bagian kakinya. Ternyata, tubuh seputih pualam dan wajah bak purnama Nurlaila membuat pimpinan Belanda itu terpesona. Wangi tubuh Nurlaila sehabis mandi membuat sesuatu dalam diri Edrik menuntut untuk dipenuhi. Niat awalnya membunuh ia batalkan, berganti dengan melakukan berbuatan yang tak seharusnya ia lakukan terhadap gadis perawan itu.

Di lain waktu, berulang kali Edrik melakukan perbuatan bejat itu lagi. Ia mengancam akan membunuh Nek Kamsiah jika Nurlaila menolak permintaannya, hingga akhirnya gadis malang itu pun hamil.

Seiring berjalannya waktu, Edrik dan Nasir menyadari bahwa Nurlaila adalah ancaman, mengingat wanita itu sangat keras kepala. Berulang kali ia balik mengancam untuk membeberkan penghianatan yang telah dilakukan Nasir terhadap nagarinya. Tak gentar lagi ia dengan ancaman pembunuhan yang dilontarkan Nasir. Ia tetap keukeuh akan membuka semua kedok laki-laki penghianat itu.

Namun, kelicikan penjajah sudah menular pada diri Nasir. Sebelum Nurlaila membuka semua boroknya, ia terlebih dulu menfitnah Nurlaila bersekutu dengan Edrik. Memutar balikkan fakta, hingga semua warga percaya padanya. Dan untuk menyenangkan hati tuannya agar bisa merelakan Nurlaila, Nasir mencarikan wanita lain yang tak kalah cantik untuk Edrik.

***

“Udaaa, berapa piti yang Uda dapat dari Belanda tu? Lihatlah, anaknya sudah gemuk berkat pengasuhan Imus, bahkan Imus merawatnya lebih dari anak sendiri!” desah Imus—istri Nasir—dari biliknya saat mendengar pintu di buka. Ia sedang menyuapkan air tajin─sebagai pengganti susu─kepada anak Nurlaila yang sudah tiga hari ia rawat.

“Piti saja isi otak kau tu, Mus! Ndak kau liat muka uda kau ni pucat? Hampir berserak otak Uda ditembak Belanda tu. Bukannya mengambilkan minum, piti yang kau tanya-tanya!” gerutu Nasir sambil membuka tirai pintu kamarnya.

“Lah, mana Imus tau.  Uda ‘kan ndak cerita,” balasnya membela diri. Sejenak ia menatap serius kepada suaminya itu, meminta Nasir bercerita, karena biasanya ia tak pernah bermasalah dengan orang-orang Belanda.” Ada masalah apo Uda dengan Belanda tu?” lanjutnya lagi merasa penasaran.

Nasir mengambil tempat di bibir ranjang, membelangi istrinya yang menggerutu-gerutu tidak jelas. Tercenung ia di sana mengingat kejadian di Benteng Belanda tadi.

“Anak yang kau asuh tu, rupanya Edrik ndak menginginkannya. Salah Uda rupanya, ndak langsung membunuhnya kemaren,” jawab Nasir sembari menunjuk bayi itu dengan bibirnya.

“Ha? Jadi, sia-sia saja Imus membuang tenaga mengasuh anak haram ni?” sungut Imus sambil memonyongkan mulutnya. Ia geser bayi merah itu menjauh darinya. Sendok yang tadinya ia gunakan untuk menyuapi bayi itu ia lempar asal karena kesal. Tadinya, ia berharap akan mendapatkan imbalan besar karena telah mengasuh bayi pimpinan Belanda itu.

“Uda akan suruh warga membunuh bayi tu. Biar ndak ada lagi masalah awak,” ujar Nasir.

“Iya, Da. Janganlah sampai membuat kesal hati Tuan Edrik tu. Lakukan sajalah semua yang dia mau. Nanti awak dapat piti dari mana lagi kalau sampai Tuan tu membenci awak? Imus ndak ingin hidup susah, Da,” gerutu Imus. Ia takut sekali jika Belanda sampai  memutus hubungan kerja dengan mereka. Kerja memata-matai Nagari sendiri.

“’Kan piti lagi yang kau bahas, Mus. Kalau sampai Tuan tu membenci awak, bukan sekedar piti yang ndak akan dikasihnya pada awak. Gigi kau yang monyong tu bisa rontok semuanya di tendang Tuan tu. Dengan apa lagi kau buka karung beras di belakang tu.” Imus merengut, merasa tersinggung dengan ucapan suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status