Secepat kilat Nek Kamsiah membawa lagi bayi itu ke gendongannya. Ia tangkupkan bayi itu ke dadanya, lalu ditepuk-tepuknya bokong sang bayi. Bukannya diam, tangisannya malah semakin keras. Mengerti cucunya kehausan, Nek Kamsiah memasukkan ibu jari bayi itu ke mulutnya. Sejenak ia diam, menghisap ibu jari sendiri. Namun, tidak lama kemudian, tangisnya pecah lagi. Mungkin karena jari yang ia kira bisa melepas dahaganya tak juga kunjung mengeluarkan ASI.
Bersiap Nek Kamsiah keluar dari pondok untuk mencari air, sebelum keberadaan mereka tercium oleh Nasir. Ia kuatkan lagi ikatan tingkuluaknya yang sudah mulai longgar di tubuh sang bayi. Ia takut cucunya akan masuk angin.Saat membuka pintu pondok, terkesiap Nek Kamsiah mendapati di depan sana berdiri Nasir dan teman-temannya, menatap dengan seringai miring. Rupanya tangisan sang bayi menjadi petunjuk keberadaan Nek Kamsiah.
“Serahkan sajalah bayi tu, Nyiak. Jangan buat kami membuang-buang waktu lagi di hutan ni,” seru Nasir dengan dagu yang terangkat sambil mengulurkan tangannya meminta putri kecil Nurlaila.
“Lebih elok aku mati daripada menyerahkan anak ni kepada orang biadap macam kau, Nasir.” Matanya melotot dipenuhi api amarah menatap kepada Nasir.
Merah padam wajah Nasir dengan ucapan wanita itu. Merasa terhina ia dengan kata-kata Nek Kamsiah. Tangannya mengepal, hingga membuat buku jemarinya memutih, lalu, kepalan tangan itu secepat kilat menyambar wajah Nek Kamsiah.
Meringis wanita tua dengan rambut putih yang sudah acak-acakan itu menerima pukulan Nasir. Mata tajamnya seperti menelanjangi Nasir. Hilang rasa takutnya menghadapi laki-laki itu, walaupun ia tau, tenaga mereka tak sebanding.
“Cuiihhh …” Tiba-tiba saja, ia sembur Nasir dengan ludahnya. Seulas senyum penuh penghinaan terukir di satu sudut bibir Nek Kamsiah.
“Kurang ajar kau, Wanita Tua!” berang Nasir. Darahnya mendesir, merangkak naik ke wajahnya. Tidak ia sangka wanita tua itu begitu bernyali meludahinya. Sedangkan empat teman Nasir yang lain hanya bergeming.
“Ambil keturunan Belanda tu dari wanita tua ni, menghabiskan waktu saja awak melayani perempuan tua ni!” perintah Nasir kepada teman-temannya.
Sebenarnya, ada rasa tak enak hati keempat teman-teman Nasir untuk berlaku kasar kepada Nek Kamsiah, karena mereka sendiri sebenarnya belum yakin Nurlaila berkhianat kepada warga dengan menjadi antek Belanda. Namun, Nasir selalu menghubungkan kematian tetua-tetua kampung dua bulan yang lalu dengan Nurlaila,─yang notabene adalah keluarga mereka─hingga walau belum sepenuhnya percaya, mereka terpaksa melakukan perintah Nasir, demi harga diri keluarganya.
Dua orang di antara mereka menarik tangan Nek Kamsiah yang memegang erat bayi itu, sedangnya yang satunya lagi mengambil paksa bayi itu dari tangan Nek Kamsiah. Meronta-ronta Nek Kamsiah karena cengkraman tangan-tangan kekar di bagian lengannya.
“Semoga kalian dipisahkan dengan anak dan cucu kalian seperti apo yang sudah kalian perbuat malam ni,” jerit Nek Kamsiah sembari meronta dan menghentak-hentakkan kakinya mencoba sekuat tenaga lepas dari dua laki-laki itu. “dan kau, Nasir, Manusia berhati iblis! Aku akan membalas semua ni!” lanjutnya dengan mata yang menyala dan rambut putih panjang acak-acakan.
“Wanita tua tak tau diri.” Lagi, tanpa belas kasih ia pukuli Nek Kamsiah di bagian kepala dan perutnya berkali-kali. Darah mengucur dari hidung dan telinganya. Sesaat kemudian, Nek Kamsiah terkapar tak sadarkan diri. “Tinggalkan saja dia di sini, biar di makan binatang buas,” ucap Nasir kepada ketiga temannya. Mereka berlalu pergi membawa bayi Nurlaila, dan meninggalkan Nek Kamsiah yang mereka kira sudah tak bernyawa.
***
“Bukannya tadi kata Uda Nasir ia akan membunuh bayi Nurlaila? Kenapa malah dibawanya pulang bayi tu?” ucap salah satu suruhan Nasir kepada teman-temannya yang lain saat melihat Nasir membawa masuk bayi Nurlaila ke dalam rumahnya. Mereka tak tau orang yang mereka percayai itu berubah pikiran saat melihat bayi Nurlaila.
“Mmmm, ndak taulah. Awak serahkan sajalah semuanya kepada Uda Nasir tu. Mau diapakannya anak tu. Ambo yakin uda tu akan melakukan yang terbaik untuk awak di nagari ni. Selama ni ‘kan hanya uda tu yang peduli dengan awak, dia sering mengadakan rapat ke Nagari lain untuk membicarakan bagaimana awak bisa lepas dari penjajahan ni. Uda tu ‘kan juga sering memberi bantuan makanan kepada awak agar awak ndak kelaparan,” ucap temannya menimpali.
Temannya yang lain hanya mengangguk tanda setuju. Memang benar, Nasir suka memberi makanan atau meminjamkan uang kepada warga di nagari itu. Jadi, apa pun yang diperbuat Nasir, mereka enggan menegurnya. Karena mereka yakin, Nasir akan melakukan yang terbaik untuk orang-orang di sana.
Sedangkan di rumahnya, istri Nasir sangat bahagia saat suaminya itu membawakannya bayi Nurlaila. Ia ganti semua pakaian sang bayi dengan pakaian-pakaian terbaik. Lalu, segera ia masak nasi untuk ditampung airnya, kemudian memberikannya kepada sang bayi yang menangis terus karena kehausan.
“Apakah sudah kau bunuh Nurlaila dan keluarganya?” tanya Edrik pada Nasir saat Nasir berkunjung ke benteng pertahanan Belanda di Batusangkar yang terletak di pusat kota. Pagi-pagi sekali, Nasir sudah berpakaian rapi demi mengunjungi Edrik.“Eeee Nurlaila dan Kamsiah sudah mati, Tuan. Anaknya untuk sementara dalam pengasuhan istri ambo. Mirip betul anak itu dengan Tuan, terlebih warna mata dan rambutnya. Sayang betul Istri ambo pada anak Tuan tu, benar-benar dirawatnya dengan baik,” jawab Nasir dengan mata berbinar-binar. Ia bermaksud menyenangkan hati tuannya. Kembang kempis hidungnya karena merasa bangga dengan pekerjaannya.“Kurang ajar,” hardik Edrik dalam Bahasa Belanda sambil menggebrak meja, hingga jatuh berserakanlah gelas yang ada di meja itu. Wajahnya merah padam menatap Nasir penuh amarah. Nasir yang duduk di depan orang Belanda itu terlonjak kaget melihat amukan Edrik. “Kenapa tak kau bunuh sekalian bayi itu?&r
Keesokan harinya, dua orang suruhan Nasir menjemput bayi Nurlaila.“Kalian bunuh dengan ini, atau kubur saja hidup-hidup!” Nasir menyodorkan sebilah pisau yang sebelumnya sudah ia asah. Pastilah mampu memutus leher sang bayi dalam satu tebatas saja, saking berkilaunya mata pisau itu.Siyon dan Munir saling berpandangan. Siyon bergegas meraih pisau yang disodorkan Nasir. Ia mengangguk takzim terhadap tuannya itu. Baginya, melaksanakan perintah Nasir adalah sesuatu yang membanggakan. Layaknya prajurit menjalankan perintah panglimanya. Segala hajatnya akan ia tunda. Bahkan, tubuhnya yang masih penuh luka karena diseruduk induk babi tempo hari ia abaikan demi menerima amanah Nasir. Nasir pun tau kesetiaan Siyon. Itu sebabnya Siyonlah orang pertama yang ia panggil untuk melancarkan misinya.Sedangkan Munir tak yakin bisa tega membunuh bayi tak berdosa itu. Sungguh pun ia anak Belanda yang telah membunuh keluarga m
Pelan Nek Kamsiah membuka kedua kelopak matanyanya yang terasa berat. Tidak ada sedikit pun cahaya yang tertangkap oleh korneanya, hingga membuat wanita tua itu memutuskan menutup netra kembali. Badannya terasa remuk redam, bagai diinjak berton-ton beban berat.Namun, Ia masih mengingat dengan pasti insiden yang terakhir kali dialaminya. Bagaimana Nasir menyiksanya dengan arogan hingga ia tak sadarkan diri. Lebih getir dari itu, masih lekat di ingatannya bagaimana putri Nurlaila diregang paksa dari dekapannya. Lalu dibawa pergi entah ke mana.Apakah ini alam kubur? Ia membatin. Perlahan ia menggerakkan jemarinya yang lemah. Jari-jari yang sudah tersumbur urat-urat kasar. Ia lalu menggoyang-goyang pelan kedua kakinya, masih dalam kondisi mata terpejam. Beratnya penyiksaan Nasir, membuatnya sangsi bahwa ia masih hidup.“Dewi … pencuri itu sudah bangun,” teriak seorang
“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar.“Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.”Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah.
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
Delapan jam sebelumnya.Suara burung hantu dan jangkrik saling bersahut-sahutan menyambut datangnya malam. Langit sudah semakin gelap. Dinginnya udara pegunungan bagai menusuk-nusuk kulit Edrik dan dua pengawalnya. Mereka kebingungan mencari jalan pulang. Memang, jalan-jalan di hutan itu belum mereka kuasai, apalagi terlalu banyak persimpangan.“Tidak becus kalian bekerja. Pastilah kalian lupa membuat tanda-tanda itu,” hardik Edrik sembari menendang bokong dua pengawal yang menyertainya.“Ampun, Tuann,” ucapnya meminta maaf, ketakutan. Mereka tidak berani beralasan. Mereka tahu betul, Edrik tidak akan menerima alasan apa pun. Semakin keras hukuman yang akan diterima seandainya berani beralasan. Mereka pun heran, bagaimana bisa tanda-tanda yang sudah dibuat di pohon setiap persimpangan jalan bisa hilang begitu saja. Padahal, tak setetes pun hujan yang turun, jikalau tanda itu terhapus hujan.Dari tadi, setiap jalan persi
Merasa bujukannya diabaikan, Nek Kamsiah mendobrak pintu dengan kasar, hingga bergetarlah seisi gubuk. Tak butuh kekuatan lebih, terlepaslah daun pintu yang telah lapuk itu dari tiang penyanggahnya, dan hampir saja mengenai Imus dan anaknya. Nek Kamsiah mengulum senyum menyaksikan Imus yang begitu ketakutan.Tak ada pilihan lain, posisi Wanita itu sudah terdesak, tak ada celah untuk melarikan diri. Dengan sudut matanya, Imus terpaksa menilik Nek Kamsiah yang terus saja meyakinkannya jika dia belum meninggal. Dengan hati-hati, ditatapnya Nek Kamsiah dari kepala sempai kaki berulang kali, sambil komat kamit membaca surah Al-Ikhlas.“K-Kau benar Inyiak Kamsiah?” tanyanya dengan rasa takut kian memudar melihat bagaimana rupa Nek Kamsiah saat ini.“Benar, Indak usah takut. Aku manusia. Sampai berbusa pun mulut kau tu membaca Kul Huwolloh indak akan berpengaruh padaku,” tekan Nek Kamsiah menahan amarah di dadanya yang hendak meledak ba