Share

PART ENAM

Secepat kilat Nek Kamsiah membawa lagi bayi itu ke gendongannya. Ia tangkupkan bayi itu ke dadanya, lalu ditepuk-tepuknya bokong sang bayi. Bukannya diam, tangisannya malah semakin keras. Mengerti cucunya kehausan, Nek Kamsiah memasukkan ibu jari bayi itu ke mulutnya. Sejenak ia diam, menghisap ibu jari sendiri. Namun, tidak lama kemudian, tangisnya pecah lagi. Mungkin karena jari yang ia kira bisa melepas dahaganya tak juga kunjung mengeluarkan ASI.

Bersiap Nek Kamsiah keluar dari pondok untuk mencari air, sebelum keberadaan mereka tercium oleh Nasir. Ia kuatkan lagi ikatan tingkuluaknya yang sudah mulai longgar di tubuh sang bayi. Ia takut cucunya akan masuk angin.

Saat membuka pintu pondok, terkesiap Nek Kamsiah mendapati di depan sana berdiri Nasir dan teman-temannya, menatap dengan seringai miring. Rupanya tangisan sang bayi  menjadi petunjuk keberadaan Nek Kamsiah.

“Serahkan sajalah bayi tu, Nyiak. Jangan buat kami membuang-buang waktu lagi di hutan ni,” seru Nasir dengan dagu yang terangkat sambil mengulurkan tangannya meminta  putri kecil Nurlaila.

“Lebih elok aku mati daripada menyerahkan anak ni kepada orang biadap macam kau, Nasir.” Matanya melotot dipenuhi api amarah menatap kepada Nasir.

Merah padam wajah Nasir dengan ucapan wanita itu. Merasa terhina ia dengan kata-kata Nek Kamsiah. Tangannya mengepal, hingga membuat buku jemarinya memutih, lalu, kepalan tangan itu secepat kilat menyambar wajah Nek Kamsiah.

Meringis wanita tua dengan rambut putih yang sudah acak-acakan itu menerima pukulan Nasir. Mata tajamnya seperti menelanjangi Nasir. Hilang rasa takutnya menghadapi laki-laki itu, walaupun ia tau, tenaga mereka tak sebanding.

“Cuiihhh …” Tiba-tiba saja, ia sembur Nasir dengan ludahnya. Seulas senyum penuh penghinaan terukir di satu sudut bibir Nek Kamsiah.

“Kurang ajar kau, Wanita Tua!” berang Nasir. Darahnya mendesir, merangkak naik ke wajahnya. Tidak ia sangka wanita tua itu begitu bernyali meludahinya. Sedangkan empat teman Nasir yang lain hanya bergeming.

“Ambil keturunan Belanda tu dari wanita tua ni, menghabiskan waktu saja awak melayani perempuan tua ni!” perintah Nasir kepada teman-temannya.

 Sebenarnya, ada rasa tak enak hati keempat teman-teman Nasir untuk berlaku kasar kepada Nek Kamsiah, karena mereka sendiri sebenarnya belum yakin Nurlaila berkhianat kepada warga dengan menjadi antek Belanda. Namun, Nasir selalu menghubungkan kematian tetua-tetua kampung dua bulan yang lalu dengan Nurlaila,─yang notabene adalah keluarga mereka─hingga walau belum sepenuhnya percaya,  mereka terpaksa melakukan perintah Nasir, demi harga diri keluarganya.

Dua orang di antara mereka menarik tangan Nek Kamsiah yang memegang erat bayi itu, sedangnya yang satunya lagi mengambil paksa bayi itu dari tangan Nek Kamsiah. Meronta-ronta Nek Kamsiah karena cengkraman tangan-tangan kekar di bagian lengannya.

“Semoga kalian dipisahkan dengan anak dan cucu kalian seperti apo yang sudah kalian perbuat malam ni,” jerit Nek Kamsiah sembari meronta dan menghentak-hentakkan kakinya mencoba sekuat tenaga lepas dari dua laki-laki itu. “dan kau, Nasir, Manusia berhati iblis! Aku akan membalas semua ni!” lanjutnya dengan mata yang menyala dan rambut putih panjang acak-acakan.

“Wanita tua tak tau diri.” Lagi, tanpa belas kasih ia pukuli Nek Kamsiah di bagian kepala dan perutnya berkali-kali. Darah mengucur dari hidung dan telinganya. Sesaat kemudian, Nek Kamsiah terkapar tak sadarkan diri. “Tinggalkan saja dia di sini, biar di makan binatang buas,” ucap Nasir kepada ketiga temannya. Mereka berlalu pergi membawa bayi Nurlaila, dan meninggalkan Nek Kamsiah yang mereka kira sudah tak bernyawa. 

***

“Bukannya tadi kata Uda Nasir ia akan membunuh bayi Nurlaila? Kenapa malah dibawanya pulang bayi tu?” ucap salah satu suruhan Nasir kepada teman-temannya yang lain saat melihat Nasir membawa masuk bayi Nurlaila ke dalam rumahnya. Mereka tak tau orang yang mereka percayai itu berubah pikiran saat melihat bayi Nurlaila.

“Mmmm, ndak taulah. Awak serahkan sajalah semuanya kepada Uda Nasir tu. Mau diapakannya anak tu. Ambo yakin uda tu akan melakukan yang terbaik untuk awak di nagari ni. Selama ni ‘kan hanya uda tu yang peduli dengan awak, dia sering mengadakan rapat ke Nagari lain untuk membicarakan bagaimana awak bisa lepas dari penjajahan ni. Uda tu ‘kan juga sering memberi bantuan makanan kepada awak agar awak ndak kelaparan,” ucap temannya menimpali.

Temannya yang lain hanya mengangguk tanda setuju. Memang benar, Nasir suka memberi makanan atau meminjamkan uang kepada warga di nagari itu. Jadi, apa pun yang diperbuat Nasir, mereka enggan menegurnya. Karena mereka yakin, Nasir akan melakukan yang terbaik untuk orang-orang di sana.

Sedangkan di rumahnya, istri Nasir sangat bahagia saat suaminya itu membawakannya bayi Nurlaila. Ia ganti semua pakaian sang bayi dengan pakaian-pakaian terbaik. Lalu, segera ia masak nasi untuk ditampung airnya, kemudian memberikannya kepada sang bayi yang menangis terus karena kehausan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status