"Jadi, gimana caranya aku belajar sihir?"
Pertanyaanku memecah keheningan di ruang latihan istana yang terasa cukup khidmat. Aku duduk bersila di atas bantal beludru empuk yang disiapkan Riel, menatap Pangeran Elf di depanku dengan tatapan penuh harap sekaligus gugup.
Rasanya persis seperti mau ujian masuk sekolah sihir, padahal di sekolah biasa saja aku sering remedial.
Ruangan latihan ini sendiri… megah sekaligus dingin. Lantainya terbuat dari batu pualam abu-abu yang dipoles begitu halus hingga memantulkan bayangan kami dengan samar.
Beberapa target latihan kayu yang sudah usang dan penuh dengan goresan pedang tergantung di dinding-dinding tinggi, menjadi saksi bisu ribuan jam latihan para kesatria dan penyihir istana yang jelas jauh lebih berbakat dariku.
Cahaya matahari pagi yang keemasan menyelinap malu-malu melalui jendela-jendela kaca patri yang tinggi melengkung, membuat debu-debu halus yang tak terlihat di udara kini tampak seperti serbuk emas murni yang menari-nari dengan anggun dalam keheningan.
Di hadapanku, Riel berdiri tegap sempurna. Bahunya yang lebar dan rahangnya yang tegas memancarkan wibawa seorang pangeran sejati, namun seulas senyum tipis yang menenangkan tersungging di bibirnya.
Senyum singkat yang, entah bagaimana, berhasil melunturkan sedikit ketegangan dari wajahku yang pasti sudah mirip kanebo kering.
"Pertama-tama, dan ini yang paling penting, Liora."
Suara Riel yang tenang dan dalam terdengar begitu jelas, seolah setiap katanya memiliki bobot.
"Kamu harus bisa merasakan Aether."
"Aether?" Keningku langsung berkerut dalam. "Itu apaan lagi? Semacam energi gaib dari planet Namek yang bisa bikin aku tiba-tiba jadi sakti dan rambutku berubah warna jadi pirang?"
Nada skeptis yang kental dalam suaraku sepertinya susah sekali hilang bahkan saat aku sudah pindah dunia.
Riel terkekeh pelan, suara tawanya merdu dan sama sekali tidak mengejek.
"Bukan dari planet Namek, Liora. Aether adalah inti dari semua sihir di Elysia," jelasnya, suara tenangnya seolah mampu menenangkan lautan, membuatku tanpa sadar duduk lebih tegak. "Itu adalah energi kehidupan, napas alam semesta itu sendiri. Ia mengalir di setiap bintang yang berkelip, di setiap helai rumput yang tumbuh, juga di dalam diri setiap makhluk hidup, termasuk dirimu."
Ia melanjutkan, matanya yang biru kehijauan menatapku lembut, seolah ingin aku benar-benar memahaminya.
"Bayangkan saja seperti aliran sungai tak kasatmata. Sebuah sungai energi yang menghubungkan setiap helai daun yang gugur dari pohonnya, setiap embusan angin yang membelai wajahmu, bahkan setiap detak jantungmu sendiri."
"Kedengerannya… rumit banget," gumamku, takjub sekaligus bingung.
Pandanganku menyapu sekeliling ruangan yang luas, seolah Aether adalah debu kasatmata yang bisa kulihat jika aku cukup jeli.
Hebat, disuruh merasakan sesuatu yang bahkan tidak kelihatan. Tipikal dunia fantasi banget.
"Memang butuh kesabaran dan kepekaan batin," sahut Riel, seolah bisa membaca setiap keraguan yang berkelebat di benakku.
"Tapi aku sangat yakin kamu bisa, Liora. Setiap jiwa memiliki kapasitas untuk merasakan dan memanfaatkan Aether. Hanya saja, ada yang lebih mudah merasakannya, ada pula yang butuh usaha ekstra untuk membangkitkannya dari tidur panjangnya."
Ia memberi jeda sejenak, tatapannya seolah menembus keraguanku.
"Sekarang, coba pejamkan matamu."
Aku menurut tanpa membantah. Kelopak mataku menutup perlahan, berusaha memfokuskan pikiranku yang biasanya liar seperti pasar malam.
"Tarik napas dalam-dalam, Liora. Perlahan… rasakan udaranya yang sejuk mengisi paru-parumu," instruksi Riel, suaranya yang lembut kini membimbingku seperti alunan musik.
"Bayangkan ada energi hangat yang mengalir lembut di sekitarmu. Rasakan sentuhannya yang halus di kulitmu. Seperti cahaya matahari pagi di hari libur yang membelai wajahmu dengan lembut."
Aku mencoba. Sungguh, aku berusaha keras. Tapi pikiranku yang bandel ini tetap saja melayang ke rumah, ke Nenek, ke semangkuk bakso kuah pedas langgananku, dan ke pertanyaan abadi bagaimana aku bisa terdampar di tempat seaneh tapi sekeren ini.
Namun, perlahan tapi pasti, sebuah sensasi aneh mulai menjalar di permukaan kulitku.
Ini nyata.
Rasanya seperti ribuan jarum super halus menyentuh kulitku serempak tanpa rasa sakit, atau mungkin lebih mirip aliran listrik statis yang menggelitik lembut namun intens. Aneh, tapi… sama sekali tidak menakutkan.
"Ada… sesuatu," bisikku, mataku masih terpejam rapat. Suaraku bergetar, campuran antara takjub yang meluap dan sedikit rasa takut yang menggelitik.
"Bagus sekali, Liora," kata Riel, nadanya tulus dan terdengar begitu dekat di telingaku. "Itulah Aether. Sekarang, tanpa membuka mata, coba ulurkan tanganmu ke depan."
Dengan ragu, aku mengulurkan kedua tanganku lurus ke depan. Sensasi geli itu semakin intens di telapak tanganku, seolah ada pusaran energi kecil tak terlihat yang berputar lembut di sana, semakin lama semakin kuat.
"Bayangkan energi Aether itu mengalir deras melalui tanganmu," lanjut Riel, suaranya masih membimbing dengan sabar. "Lalu, bentuk energi itu menjadi sesuatu. Apa pun yang terlintas pertama kali di benakmu. Jangan terlalu dipikirkan, jangan dianalisis. Biarkan saja imajinasimu yang bekerja."
Aku memejamkan mata lebih erat, mencoba berkonsentrasi sekuat tenaga. Pikiranku melayang, entah kenapa kembali ke taman bunga kecil milik Ibu di halaman belakang rumah, taman yang selalu penuh warna-warni cerah dan aroma harum.
Aku membayangkan setangkai bunga. Bunga matahari. Bunga favorit Ibu.
Tiba-tiba!
Kehangatan yang terasa familiar, tapi kini terasa jauh lebih intens, menyengat telapak tanganku. Bukan rasa sakit, tidak.. sama sekali bukan. Melainkan sensasi panas yang nyaman, berdenyut lembut, dan penuh dengan kehidupan.
Aku membuka mataku dengan cepat. Napasku tercekat di tenggorokan.
Di antara kedua telapak tanganku yang terulur, mengambang dengan anggun, muncul setangkai bunga matahari kecil. Bukan bunga biasa. Bunga matahari ini bercahaya lembut dari dalam, kelopak kuningnya berkilauan indah seolah ditaburi serbuk emas murni dari surga.
"Aku… aku berhasil?" Aku menatap bunga ajaib itu tak percaya, memutarnya perlahan dengan menggerakkan tanganku.
Ini gila. Benar-benar gila!
Riel tersenyum bangga, senyum yang kali ini lebih lebar dan jauh lebih hangat dari sebelumnya. Senyum yang sukses membuat hatiku menghangat juga.
"Kamu luar biasa, Liora. Tidak semua orang, bahkan di antara bangsa elf sekalipun, bisa memanifestasikan Aether menjadi bentuk fisik secepat dan semurni ini pada percobaan pertama."
Bunga matahari bercahaya itu perlahan memudar, kelopaknya menghilang menjadi serpihan cahaya keemasan, meninggalkan sisa kehangatan yang menyenangkan di telapak tanganku.
"Tapi, gimana cara ngendaliin ini?" tanyaku, menatap tanganku yang kembali kosong. "Tadi kayaknya muncul sendiri aja, gitu. Enak banget kalau sihir segampang itu terus."
"Itu karena koneksi naluriahmu dengan Aether," jelas Riel sabar. "Semakin sering kamu berlatih dan memahami sifatnya, semakin mudah kamu mengendalikannya. Membentuknya, mengarahkannya, bahkan memanipulasinya."
Riel melanjutkan, "Sekarang, kita coba lagi. Fokus pada elemen air. Pejamkan matamu lagi. Bayangkan air terjun yang megah, atau sungai yang tenang dan dalam."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba lagi.
Aku membayangkan air terjun deras yang pernah kulihat fotonya di majalah travelling.
Aku bisa merasakan sensasi dingin yang samar di telapak tanganku, tapi… hanya itu. Tidak ada yang terjadi.
"Nggak bisa," keluhku, membuka mata dengan rasa kecewa yang menusuk. "Kayaknya aku memang lebih cocok sama bunga matahari. Mungkin bakat terpendamku adalah menjadi Penyihir merangkap jadi tukang kebun."
Riel tertawa kecil, suara tawanya yang renyah dan menular.
"Setiap individu memiliki afinitas atau ikatan alami yang berbeda dengan elemen tertentu, Liora. Mungkin ikatanmu memang lebih kuat dengan elemen cahaya atau tumbuhan. Tapi, jangan menyerah begitu saja pada elemen lain."
Ia menatapku dengan sorot mata yang memotivasi. "Teruslah berlatih. Kamu mungkin akan sangat terkejut dengan apa yang sebenarnya bisa kamu lakukan jika terus berusaha."
"Oke deh, oke. Akan kucoba," kataku, meskipun keraguan masih menggelayut manja di hatiku. Sebuah pertanyaan lain yang lebih personal tiba-tiba muncul di benakku. "Tapi, Riel… kenapa kamu mau repot-repot ngajarin aku? Ini kan pasti ribet banget buatmu."
Riel terdiam sejenak.
Tatapannya melembut seketika, namun ada kedalaman yang tak terbaca di sana, campuran antara kelembutan yang tulus dan sebersit kesedihan samar yang sulit untuk kuartikan.
"Karena aku percaya kamu bisa melakukannya, Liora," jawabnya pelan, suaranya sarat dengan keyakinan yang entah bagaimana terasa begitu meyakinkan.
"Dan juga…" ia berhenti, seolah menimbang kata-katanya.
"Karena aku benar-benar ingin membantumu kembali ke duniamu."
Kalimat terakhir itu menggantung di udara di antara kami, terasa berat dan penuh makna.
"Kamu tidak seharusnya berada di sini, Liora."
Aku tertegun oleh kejujuran dan nada dalam suaranya. "Tapi… tapi bukannya ada cara lain buat pulang? Yang… yang katanya berbahaya itu?"
Riel menghela napas panjang, raut wajahnya yang tadi lembut kini berubah serius seketika.
"Memang ada cara lain itu, Liora. Tapi itu melibatkan perjalanan yang sangat berbahaya ke Wilayah Umbra. Tempat yang dikuasai kegelapan, penuh dengan makhluk-makhluk mengerikan yang bahkan tak sanggup kamu bayangkan kengeriannya."
Ia menatapku lurus, tatapan matanya menghunjam.
"Dan aku tidak mau kamu mengambil risiko sebesar itu."
"Tapi kalau itu memang satu-satunya cara…" potongku nekat, sebuah tekad yang entah datang dari mana mulai membara di dadaku. "Aku nggak keberatan, Riel. Serius. Aku nggak mau terus-terusan ngerepotin kamu."
"Oh.. tidak.. tidak.. Kamu tidak merepotkanku, Liora," kata Riel tegas, sorot matanya yang tajam seolah menahan niatanku. "Dan aku.. tidak akan pernah membiarkanmu pergi ke Wilayah Umbra. Tidak akan pernah. Jujur.. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika sesuatu yang buruk.. menimpamu di sana."
Ada jeda yang terasa sangat panjang di antara kami.
"Aku berjanji padamu, Liora," lanjut Riel, suaranya kini lebih pelan namun penuh dengan kesungguhan. "Aku akan mencari cara lain untuk memulangkanmu. Yang pasti cara yang aman."
Aku terdiam, balas menatap mata biru kehijauannya yang kini terasa begitu intens. Ada ketulusan yang tak terbantahkan dan kekhawatiran yang begitu dalam di sana, yang entah mengapa membuat jantungku yang tadinya sudah tenang kini berdebar sedikit lebih kencang.
Kenapa dia begitu peduli padaku, orang asing yang tiba-tiba muncul di dunianya?
"Oke," bisikku akhirnya, mengalihkan pandanganku ke arah jendela, berusaha menyembunyikan pipiku yang entah kenapa terasa sedikit hangat. "A-aku… aku akan terus berlatih sihir ini."
Senyum lega yang tulus tersungging di bibir Riel, membuat wajahnya terlihat semakin… ah, sudahlah.
"Bagus, Liora. Itu semangat yang kumaksud," ia mengangguk puas.
"Sekarang, kita coba lagi dengan elemen air. Kali ini, bayangkan dirimu sedang berenang santai di sebuah danau yang sangat tenang dan jernih. Rasakan kedamaiannya."
INFO UNTUK PEMBACA BARU & SETIA : Bab 3 ini telah aku revisi ke versi definitif dengan kualitas cerita, detail dunia, dialog yang lebih mendalam dll. untuk memberikan pengalaman membaca terbaik bagi kalian. aku selalu terbuka pada saran & kritik apapun yang baik dari kalian ges, demi bisa terus meningkatkan cerita ini. selamat menikmati Fantasi Epik ini yah!😉
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi