Home / Fantasi / PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA / BAB 3 : SENTUHAN AETHER

Share

BAB 3 : SENTUHAN AETHER

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-01-19 12:25:05

"Jadi, gimana caranya aku belajar sihir?"

Pertanyaanku memecah keheningan di ruang latihan istana yang khidmat itu. Aku duduk bersila di atas bantal beludru empuk, menatap Pangeran Elf di depanku dengan tatapan penuh harap sekaligus gugup.

Rasanya persis seperti mau ujian masuk sekolah sihir, padahal di sekolah biasa saja aku sering remedial. Benar-benar sebuah peningkatan karir yang ironis.

Ruangan latihan ini sendiri… megah sekaligus dingin. Lantainya dari batu pualam abu-abu yang dipoles begitu halus hingga memantulkan bayangan kami dengan samar. Beberapa target latihan kayu yang usang dan penuh goresan dalam tergantung di dinding, menjadi saksi bisu ribuan jam latihan para kesatria yang jelas jauh lebih berbakat dariku. Cahaya matahari pagi menyelinap malu-malu melalui jendela kaca patri yang tinggi, membuat debu-debu halus di udara tampak seperti serbuk emas yang menari-nari anggun, masing-masing seolah membawa cerita dari masa lalu.

Di hadapanku, Riel berdiri tegap. Bahunya yang lebar dan rahangnya yang tegas memancarkan wibawa seorang pangeran, namun seulas senyum tipis yang menenangkan tersungging di bibirnya. Senyum yang, entah bagaimana, berhasil melunturkan sedikit ketegangan dari wajahku.

"Pertama-tama, dan ini yang paling penting, Liora." Suara Riel yang tenang dan dalam terdengar begitu jelas.

"Kamu harus bisa merasakan Aether."

"Aether?" Keningku langsung berkerut. "Itu apaan lagi? Semacam energi gaib dari planet Namek yang bisa bikin aku tiba-tiba jadi sakti dan rambutku berubah warna jadi pirang?"

Riel terkekeh pelan, suara tawanya sama sekali tidak mengejek. "Bukan dari planet Namek. Aether adalah inti dari semua sihir di Elysia," jelasnya. "Itu adalah energi kehidupan, napas alam semesta itu sendiri. Ia mengalir di setiap bintang, di setiap helai rumput, juga di dalam diri setiap makhluk hidup, termasuk dirimu."

Ia melanjutkan, matanya yang biru kehijauan menatapku lembut. "Bayangkan saja seperti aliran sungai tak kasatmata. Sebuah sungai energi yang menghubungkan segalanya. Ia adalah melodi sunyi yang dimainkan oleh dunia, dan tugasmu adalah belajar untuk mendengarkannya."

"Kedengerannya… rumit banget," gumamku. Hebat, disuruh merasakan sesuatu yang bahkan tidak kelihatan. Ini seperti disuruh mencari sinyal Wi-Fi di tengah hutan belantara.

"Memang butuh kesabaran," sahut Riel, seolah bisa membaca pikiranku. "Tapi aku yakin kamu bisa. Sekarang, coba pejamkan matamu."

Aku menurut, berusaha memfokuskan pikiranku yang biasanya liar seperti pasar malam.

"Tarik napas dalam-dalam, Liora. Perlahan…" instruksi Riel, suaranya lembut membimbing. "Bayangkan ada energi hangat yang mengalir lembut di sekitarmu. Rasakan sentuhannya yang halus di kulitmu."

Aku mencoba. Sungguh. Tapi pikiranku yang bandel ini tetap saja melayang ke rumah, ke Nenek, ke semangkuk bakso kuah pedas dengan sambal yang banyak. Namun, perlahan tapi pasti, saat aku berhasil menyingkirkan bayangan tetelan dan mi kuning, sebuah sensasi aneh mulai menjalar.

Rasanya seperti ribuan jarum super halus menyentuh kulitku serempak tanpa rasa sakit. Menggelitik lembut namun intens, seperti selimut getaran yang berdengung dengan nada yang sangat rendah, nyaris tak terdengar. Sebuah energi yang hidup.

Ini nyata.

"Ada… sesuatu," bisikku, mataku masih terpejam rapat, takut sensasi itu akan hilang jika aku membukanya.

"Bagus sekali, Liora," kata Riel, nadanya tulus. "Itulah Aether. Sekarang, tanpa membuka mata, coba ulurkan tanganmu ke depan."

Dengan ragu, aku mengulurkan kedua tanganku. Sensasi geli itu semakin intens di telapak tanganku, seolah ada pusaran energi kecil tak terlihat yang berputar di sana, hangat dan hidup.

"Bayangkan energi itu mengalir deras melalui tanganmu," lanjut Riel. "Lalu, bentuk menjadi sesuatu. Apa pun yang terlintas pertama kali di benakmu. Jangan dipikirkan, biarkan imajinasimu yang bekerja."

Aku memejamkan mata lebih erat. Pikiranku melayang ke taman bunga kecil milik Ibu di halaman belakang rumah. Aku membayangkan setangkai bunga. Bunga matahari. Bunga favorit Ibu yang selalu menghadap cahaya, tak peduli betapa mendungnya hari.

Tiba-tiba!

Kehangatan yang familier, namun kini jauh lebih intens, menyengat telapak tanganku. Bukan rasa sakit, melainkan sensasi panas yang nyaman dan penuh kehidupan, berdenyut selaras dengan detak jantungku.

Aku membuka mataku dengan cepat. Napasku tercekat.

Di antara kedua telapak tanganku, mengambang dengan anggun, muncul setangkai bunga matahari kecil. Bukan bunga biasa. Bunga ini bercahaya lembut dari dalam, kelopak kuningnya berkilauan seolah ditaburi serbuk emas dari surga. Aku bahkan bisa melihat detail serbuk sarinya yang berpendar.

"Aku… aku berhasil?" bisikku tak percaya, menatap bunga ajaib itu. Ini bukan hanya sihir. Ini adalah serpihan ingatanku akan Ibu, sebuah kenangan yang kini bisa kugenggam. Kehangatan yang menjalar bukan hanya dari Aether, tapi dari memori itu sendiri. Nyata dan indah.

Riel tersenyum bangga, senyum yang kali ini lebih lebar dan hangat. "Kamu luar biasa, Liora. Tidak semua orang, bahkan di antara bangsa elf, bisa memanifestasikan Aether menjadi bentuk fisik secepat ini pada percobaan pertama."

Bunga matahari itu perlahan memudar menjadi serpihan cahaya keemasan, meninggalkan sisa kehangatan yang menyenangkan di telapak tanganku.

"Tapi, gimana cara ngendaliin ini?" tanyaku. "Tadi kayaknya muncul sendiri aja."

"Itu karena koneksi naluriahmu," jelas Riel. "Semakin sering berlatih, semakin mudah kamu mengendalikannya. Sekarang, kita coba lagi. Fokus pada elemen air."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba lagi. Aku membayangkan air terjun deras, tapi… tidak ada yang terjadi. Kosong.

"Nggak bisa," keluhku, membuka mata dengan kecewa. "Kayaknya bakat terpendamku adalah menjadi tukang kebun sihir."

Riel tertawa kecil. "Setiap individu memiliki ikatan alami yang berbeda dengan elemen tertentu. Mungkin ikatanmu memang lebih kuat dengan elemen cahaya atau tumbuhan. Tapi, jangan menyerah."

Ia menatapku dengan sorot mata yang memotivasi. "Teruslah berlatih. Kamu mungkin akan sangat terkejut dengan apa yang sebenarnya bisa kamu lakukan."

"Oke deh, oke," kataku. Sebuah pertanyaan lain tiba-tiba muncul. "Tapi, Riel… kenapa kamu mau repot-repot ngajarin aku?"

Riel terdiam sejenak. Tatapannya melembut, namun ada kedalaman yang tak terbaca di sana. "Karena aku percaya kamu bisa melakukannya, Liora."

"Dan juga…" ia berhenti, seolah menimbang kata-katanya.

"Karena aku benar-benar ingin membantumu kembali ke duniamu."

Kalimat terakhir itu menggantung di udara.

"Kamu tidak seharusnya berada di sini, Liora."

Aku tertegun oleh kejujurannya. "Tapi… tapi bukannya ada cara lain buat pulang? Yang… berbahaya itu?"

Riel menghela napas panjang, raut wajahnya berubah serius. "Memang ada. Tapi itu melibatkan perjalanan yang sangat berbahaya ke Wilayah Umbra. Tempat yang dikuasai kegelapan, di mana udaranya sendiri adalah racun bagi jiwa dan tanahnya dijaga oleh makhluk-makhluk mengerikan yang lahir dari mimpi buruk."

Ia menatapku lurus. "Dan aku tidak mau kamu mengambil risiko sebesar itu."

"Tapi kalau itu memang satu-satunya cara…" potongku nekat. "Aku nggak keberatan, Riel. Aku nggak mau terus-terusan ngerepotin kamu."

"Kamu tidak merepotkanku, Liora," kata Riel tegas, sorot matanya yang tajam seolah menahan niatanku. "Dengar, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi ke Wilayah Umbra. Itu bukan pilihan."

"Tidak akan pernah."

Ada jeda yang terasa sangat panjang di antara kami, hanya suara napas kami yang terdengar di ruangan yang hening itu.

"Aku berjanji padamu, Liora," lanjut Riel, suaranya kini lebih pelan namun penuh kesungguhan. "Aku akan mencari cara lain untuk memulangkanmu. "Cara yang aman. "Apa pun risikonya bagiku."

Aku terdiam, balas menatap mata biru kehijauannya. Ada ketulusan dan kekhawatiran yang begitu dalam di sana, yang entah mengapa membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang. Bukan lagi karena sihir, tapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih hangat dan membingungkan.

"Oke," bisikku akhirnya, mengalihkan pandanganku, berusaha menyembunyikan pipiku yang terasa sedikit hangat. "Aku… aku akan terus berlatih."

Senyum lega tersungging di bibir Riel. "Bagus. Itu semangat yang kumaksud. Sekarang, kita coba lagi dengan elemen air."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (3) : PENGAKUAN SAAT KAU TERTIDUR

    Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (2): CERITA DUA DUNIA

    Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (1) : KENAPA DIA TAK TIDUR?

    (Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 60: DUA DUNIA, SATU TAKDIR

    Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 59: MENYUCIKAN JANTUNG HUTAN

    Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 58: UNICORN

    Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status