"Argh! Susah banget, sih, fokus sama air sialan ini!"
Aku menghela napas panjang dan kasar, rasanya ingin kubanting saja bantal empuk yang kini kududuki. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi dahi yang berkerut frustrasi.
Kenapa sihir tidak bisa segampang membalikkan telapak tangan?
Aku duduk bersila di lantai kayu ruang latihan istana yang dingin. Mataku terpaku kesal pada kedua telapak tangan yang kosong melompong.
Sama sekali tidak ada tanda-tanda keajaiban.
Sudah berjam-jam lamanya aku dan Riel berkutat di sini. Latihan intensif yang katanya akan membantuku mengendalikan Aether ini belum juga membuahkan hasil signifikan, setidaknya untuk elemen air. Tadi pagi, bunga matahari ajaib itu muncul begitu saja. Kenapa sekarang, saat aku benar-benar berusaha, malah tidak ada apa-apa?
Frustrasi mulai merayapiku seperti tanaman beracun, membuat dadaku sesak.
Apa memang aku ini tidak ada bakat sama sekali, ya? Mungkin aku memang ditakdirkan jadi orang biasa saja, bukan pahlawan atau penyihir di dunia antah-berantah ini.
Riel, yang dari tadi bersandar santai di dinding seberang ruangan—dengan gaya Pangeran Elf yang entah kenapa selalu terlihat keren bahkan saat tidak melakukan apa-apa—mengamatiku dengan sabar. Senyum tipis masih tersungging di bibirnya. Apa dia tidak bosan melihatku gagal terus?
"Memang butuh waktu, Liora," katanya lembut, suaranya seperti biasa, tenang dan menenangkan. "Jangan terlalu memaksakan diri sampai kepalamu berasap begitu. Proses ini butuh kesabaran, ketekunan, dan yang terpenting… koneksi."
"Tapi, kamu sendiri yang bilang ini satu-satunya caraku bisa kembali ke duniaku!" sahutku, nada suaraku tanpa sadar meninggi beberapa oktaf, memantulkan semua kekecewaan yang menumpuk di dada.
"Bagaimana kalau aku nggak bisa menguasainya? Bagaimana kalau aku gagal total? Apa aku akan terjebak di sini selamanya, jadi pajangan aneh di istana elf?" Rentetan pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, sarat dengan nada putus asa.
"Kamu pasti bisa, Liora," kata Riel mantap, tatapan matanya yang biru kehijauan itu kini sarat dengan keyakinan tulus. Ia mendorong tubuhnya dari dinding, melangkah mendekat. "Kamu sudah berhasil memunculkan bunga matahari bercahaya itu. Ingat? Itu bukti nyata bahwa potensimu luar biasa besar. Jangan pernah meragukan dirimu sendiri."
"Hmph, itu juga nggak sengaja," gumamku pelan, lebih pada diriku sendiri, menyembunyikan sedikit rasa bangga yang sempat muncul. Tipikal aku, selalu saja meremehkan pencapaian sendiri. "Aku, kan, cuma membayangkan bunga biasa."
"Justru di situlah intinya, Liora," jelas Riel sabar. Ia kini berjongkok di hadapanku, menenangkan gejolak emosiku. "Sihir, pada dasarnya, adalah soal koneksi emosi dan resonansi jiwa. Kamu harus benar-benar merasakan apa yang kamu bayangkan. Menghayati setiap detailnya, dan membiarkan emosimu mengalir deras bersamanya. Tanpa koneksi emosional yang kuat, sihir akan tetap menjadi potensi yang tertidur."
Penjelasannya masuk akal. Tapi tetap saja kedengarannya susah.
"Oke, deh. Aku coba sekali lagi," ujarku akhirnya, mengumpulkan sisa-sisa konsentrasi. Mungkin ini kesempatan terakhirku sebelum aku benar-benar menyerah dan minta pekerjaan jadi tukang cuci piring di dapur istana.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung dan memfokuskan pikiran. Mata terpejam.
Kali ini, aku membayangkan diriku berada di tepi danau yang sangat tenang. Airnya jernih berkilauan diterpa sinar mentari pagi. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Aku bisa mendengar ombak-ombak kecil yang pecah di tepian, mencium aroma segar air danau bercampur wangi bunga liar.
Aku mencoba menghayati setiap detail bayangan itu, membiarkan diriku tenggelam dalam suasana damai. Damai… tenang… air…
Tiba-tiba!
Aku merasakan sensasi dingin yang familier menggelitik di kedua telapak tanganku. Perlahan, sensasi itu menyebar, menarikku lebih dalam ke bayanganku.
Aku membuka mata hati-hati.
Dan… berhasil!
Setetes air sebening kristal melayang indah di atas telapak tanganku, berkilauan seperti permata. Keajaiban kecil yang terasa begitu besar artinya.
"Riel! Lihat! Aku berhasil!" seruku penuh semangat, mataku berbinar gembira, senyum lebar tak bisa kutahan lagi.
Riel, yang dari tadi mengamatiku dengan saksama, balas tersenyum lebar dan tulus. "Kamu berhasil, Liora! Selamat! Aku tahu kau bisa. Aku bangga padamu."
Perasaan bangga dan haru membuncah di dadaku. Setetes air itu perlahan membesar, membentuk bola kecil yang melayang anggun. Dengan hati-hati, aku mencoba menggerakkan jariku. Ajaib! Bola air itu dengan patuh mengikuti arah gerakanku.
Rasanya seperti baru saja menemukan bakat terpendam.
"Keren banget! Sumpah!" Aku tertawa lepas, terus memainkan bola air kecil itu—memutarnya, membalikkannya, bahkan mencoba membentuknya menjadi rupa sederhana.
Kepercayaan diriku yang sempat jatuh kini membuncah tinggi. Mungkin aku memang punya bakat sihir!
Tiba-tiba—
BRAKK! DENTANG! TRENG!
Suara gaduh yang memekakkan telinga meledak dari luar. Disusul teriakan panik bercampur denting senjata yang saling beradu kasar.
Suasana langsung berubah mencekam.
"Suara apa itu?!" tanyaku kaget. Bola air di tanganku langsung pecah dan lenyap, digantikan oleh firasat buruk.
Riel sontak berdiri tegak, wajahnya mengeras seketika. "Itu pasti Umbra," desisnya berat, nada suaranya kembali dingin dan tegas.
"Tetap di sini, Liora. Jangan keluar. Ini berbahaya."
"Tapi, aku mau bantu!" protesku refleks, entah keberanian dari mana yang merasukiku.
"Ini terlalu berbahaya untukmu sekarang," Riel menukas tegas, tatapannya mengunci mataku. "Aku akan kembali secepatnya. Janji padaku kau akan tetap di sini."
Tanpa menunggu jawabanku, Riel melesat keluar ruangan, pedangnya sudah terhunus.
Meninggalkanku sendirian dalam keheningan yang menakutkan.
Cemas merayapi hatiku. Suara pertempuran terdengar semakin dekat. Ingin sekali membantu, tapi aku sadar aku belum cukup kuat.
Atau mungkin… aku bisa?
Aku menatap kedua telapak tanganku, mencoba memanggil kembali bola air tadi. Kali ini, terasa lebih mudah. Aku bisa mengendalikannya dengan lebih baik.
"Mungkin… aku bisa sedikit membantu," gumamku. Sebuah ide gila mulai terlintas.
Aku berlari ke jendela besar, mengintip hati-hati. Pemandangan di halaman istana membuatku menahan napas. Beberapa penjaga elf—termasuk Eldrin—bertempur sengit melawan sekelompok prajurit Umbra yang jumlahnya lebih banyak.
Aku menarik napas dalam-dalam, memfokuskan seluruh pikiran dan sisa keberanian. Kubayangkan air yang mengalir deras dari sungai besar, membentuk sebuah pusaran raksasa.
Aku mengulurkan kedua tangan ke luar jendela, melepaskan semua sihir yang bisa kukerahkan.
Dari kedua tanganku, meluncur sebuah pusaran air dahsyat!
Pusaran itu menghantam beberapa prajurit Umbra di barisan depan. Mereka terhuyung mundur dengan panik, beberapa bahkan terpental jatuh. Aku sendiri terpana melihat kekuatan sihirku.
Ada perasaan aneh, perasaan kuat yang baru saja terbangun dalam diriku.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam melesat cepat di belakangku.
Aku refleks berbalik. Seorang prajurit Umbra berdiri menjulang di ambang pintu. Mata merahnya yang menyala buas tertuju lurus padaku, sarat dengan amarah membara.
"Kau pikir bocah sepertimu bisa menghentikan kami?" Suara serak dan kasarnya membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menelan ludah, jantungku berdebar liar. Aku mengangkat tangan, mencoba memanggil kembali air—
Terlambat.
Umbra itu melompat ke arahku dengan gerakan kilat.
Dan semuanya… gelap.
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi