Tunggu dulu. Serius, ini beneran istana?
Aku mendongak, lalu mendongak lagi sampai leherku terasa pegal. Mataku membulat sempurna, berusaha menangkap setiap detail bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapanku, puncaknya seolah menggaruk langit.
Ini bukan sekadar tumpukan batu biasa, sungguh. Istana di depanku ini… ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang bikin aku melongo tak percaya.
Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan lembut, seperti ribuan mutiara yang dijahit menjadi satu, memantulkan cahaya mentari hangat yang berhasil menyelinap dari rimbunnya pepohonan di sekitar.
Ukiran-ukiran rumit menghiasi hampir setiap permukaannya, bukan sekadar pajangan, tapi seolah menceritakan sebuah kisah. Aku bisa melihat bentuk-bentuk makhluk mitos yang hanya pernah kulihat di buku dongeng—naga bersayap, unicorn dengan tanduk bercahaya, dan adegan pertempuran kuno yang membangkitkan imajinasiku yang biasanya cuma mentok di PR sekolah.
Menara-menara yang ramping menjulang tinggi, puncaknya yang runcing seolah menantang awan-awan putih yang berarak malas. Di setiap puncak menara, bendera-bendera sutra berkibar anggun, menampilkan simbol-simbol aneh yang belum pernah kulihat. Entah lambang kerajaan atau cuma logo klub penggemar istana ini.
Riel, yang berdiri di sampingku, tersenyum tipis. Senyum yang sama yang tadi menyelamatkanku dari serigala jadi-jadian itu. Ia pasti menangkap ekspresi norak penuh kekaguman di wajahku.
"Selamat datang di Asteria, Istana Bintang," ucapnya, nada bangga yang kental tak bisa ia sembunyikan. "Kediaman para elf."
Elf? Serius? Jadi pria tampan berambut perak ini adalah… elf?
Mulutku mungkin sedikit menganga. Mataku terus menjelajahi setiap detail istana yang luar biasa ini, mencoba meyakinkan diriku kalau ini bukan halusinasi akibat kelaparan atau terbentur terlalu keras.
"Keren banget! Sumpah, kayak di film-film fantasi yang biasa kutonton sambil makan mi instan," gumamku pelan, nyaris tak terdengar.
Dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit di duniaku yang serba kotak, praktis, dan, jujur saja, kadang super membosankan, istana Asteria ini terasa seperti mimpi yang jadi kenyataan. Mimpi yang sedikit terlalu nyata, mungkin, lengkap dengan potensi bahaya tersembunyi.
Aku mengekor di belakang Riel, masih dengan perasaan campur aduk antara takjub dan waspada. Kami melewati sebuah gerbang perak murni yang menjulang tinggi, permukaannya dihiasi ukiran indah berbentuk pohon kehidupan dan taburan bintang.
Saat Riel mendorongnya, gerbang itu berderit pelan—suara yang terdengar begitu kuno. Aroma samar seperti ozon setelah hujan, bercampur wangi kayu-kayuan tua yang harum, menyeruak dari baliknya. Mengundang sekaligus sedikit bikin merinding.
Di kedua sisi gerbang, berdiri dua elf penjaga. Postur mereka tegap sempurna bak patung pahatan, masing-masing memegang tombak perak panjang yang ujungnya berkilauan tajam. Baju zirah perak yang mereka kenakan berkilauan, dan telinga runcing khas bangsa mereka—ya ampun, benar-benar runcing!—menyembul anggun dari balik rambut mereka yang lurus dan terawat.
Aku langsung melirik penampilanku sendiri—jeans kotor dan kaus oblong yang sudah melar. Kontras sekali dengan zirah perak mereka yang berkilauan tanpa cela. Aku jadi merasa seperti gembel yang baru masuk ke peragaan busana.
Mereka berdua serempak menunduk hormat pada Riel. Gerakannya begitu luwes, membuatku yang biasanya jalannya saja sering keserimpet jadi makin minder.
"Yang Mulia Pangeran," sapa salah satu penjaga, suaranya rendah dan penuh hormat.
Pangeran?
Jadi Riel ini bukan cuma elf biasa, tapi Pangeran Elf? Oke, plot twist macam apa lagi ini?
"Selamat siang, Eldrin, Lyrian," balas Riel, senyum ramahnya tak luntur. Seolah menjadi pangeran dan dikawal penjaga super keren itu hal biasa baginya. "Tolong bawa nona ini ke ruanganku. Dia tamu penting."
Tamu penting? Aku? Yang tadi hampir jadi sarapan serigala dan sekarang bajunya penuh debu loteng? Dunia ini makin aneh saja.
Penjaga yang disebut Eldrin—elf berambut pirang platinum dengan mata biru setajam es—mengangguk sekali, tanpa ekspresi. Lalu, dengan gestur tangan yang begitu elegan, ia mempersilakan aku berjalan mendahuluinya. Sopan sekali, sampai aku bingung harus balas dengan gestur apa.
Aku mencuri pandang ke arah Riel sebelum mengikuti Eldrin. Sebuah senyum kecil yang hangat—dan menurutku sedikit menggoda—terulas di bibir Pangeran Elf itu.
Entah kenapa, senyumnya barusan sukses membuat jantungku yang sudah tidak karuan jadi semakin menggila. Sialan, Liora, fokus! Ini bukan waktunya terpesona pangeran dari dunia lain!
Menyusuri koridor istana bersama Eldrin yang berjalan tanpa suara di belakangku membuatku semakin merasa seperti turis norak. Koridor-koridor ini luasnya bukan main, langit-langitnya tinggi melengkung, dengan lantai marmer putih yang dipoles begitu mengilap sampai aku bisa melihat pantulan wajahku sendiri yang kucel.
Dinding-dindingnya dihiasi permadani raksasa yang ditenun dengan benang emas dan perak, melukiskan panorama Elysia yang begitu menakjubkan. Hutan-hutan hijau zamrud, pegunungan megah bersalju abadi, dan danau-danau biru setenang cermin. Lukisan di rumahku yang cuma pemandangan sawah jadi kelihatan kayak gambar anak TK.
Cahaya mentari keemasan menyeruak dari jendela-jendela kaca patri raksasa, menerangi butiran debu—atau mungkin ini benar-benar serbuk peri, siapa tahu?—yang menari-nari malas di udara. Dan aromanya! Wangi bebungaan eksotis bercampur rempah lembut yang membuai penciuman. Jauh lebih enak dari aroma knalpot bus kota dan parfum KW yang biasa kuhirup.
"Bagaimana? Kau suka?" Suara Eldrin yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku.
"Suka banget!" jawabku jujur. Mataku masih liar menjelajahi setiap detail. "Ini… ini tempat paling indah yang pernah aku lihat seumur hidupku."
Meskipun, jujur saja, berada di tempat semegah ini dengan dandanan ala kadarnya—jeans belel dan kaus oblong kesayangan—membuatku merasa salah kostum parah.
Berasa kayak remah rengginang di tengah pesta bangsawan.
Eldrin tersenyum tipis, senyum bangga seorang tuan rumah. "Memang. Asteria adalah mahkota dan kebanggaan bangsa kami," katanya.
Kami akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu raksasa yang dihiasi ukiran rumit berbentuk sulur pepohonan dan taburan bintang perak. Eldrin mengetuk tiga kali; pelan, sopan, dan teratur.
"Masuk," terdengar suara Riel dari dalam. Jernih dan penuh wibawa. Suara seorang pangeran, memang.
Pintu terbuka tanpa suara. Dengan langkah sedikit ragu—takut salah injak atau menyenggol vas bunga seharga mobil—aku melangkah masuk.
Dan di sanalah Riel.
Pangeran Elf itu tengah duduk di belakang meja kerjanya yang megah, menelaah beberapa lembar perkamen. Ia mendongak begitu aku masuk, dan senyumnya merekah lagi. "Ah, Liora. Akhirnya kau sampai juga."
"Silakan duduk," kata Riel, menunjuk sebuah kursi berukir indah di depan mejanya. Sangat kontras dengan kursi plastik di ruang makan rumahku.
Aku duduk dengan canggung. Ruangan kerja Riel ini besar dan mewah, tapi tidak terkesan pamer. Jendela raksasa di salah satu sisi dinding menghadap langsung ke pemandangan kota elf yang menakjubkan. Rak-rak buku menjulang tinggi, dijejali ratusan buku bersampul kulit. Aroma samar kayu cendana dan kertas tua menguar, menciptakan suasana yang tenang dan… intelektual.
"Jadi…" Aku memulai, berusaha agar suaraku tidak gemetar. "Sekarang aku ini sebenarnya ada di mana? Dan… ini semua nyata, kan? Aku nggak lagi mimpi aneh?"
Riel terkekeh pelan. "Ini semua sangat nyata, Liora. Kau berada di Elysia."
"Dan Elysia ini adalah dunia paralel. Dunia yang terhubung dengan duniamu melalui cermin ajaib yang kau temukan di loteng itu."
"Dunia paralel?" Keningku berkerut. "Maksudnya… dunia lain? Beda dimensi? Kayak di novel-novel fiksi ilmiah atau fantasi?" Klise banget sih kedengarannya, tapi ya sudahlah.
"Betul sekali," Riel mengangguk. "Sebuah dunia yang dipenuhi dengan sihir dan berbagai makhluk magis."
"Makhluk magis?" Seketika, bayangan serigala raksasa dengan mata merah menyala tadi kembali menghantuiku. "Kayak… serigala segede beruang yang tadi mau memakanku itu?"
Riel mengangguk, ekspresinya lebih serius. "Itu Grimwolf. Salah satu makhluk buas yang berbahaya. Kau beruntung aku datang tepat waktu."
"Iya, beruntung banget," gumamku. "Sekali lagi, makasih banyak udah nolongin aku."
"Sama-sama," balas Riel, senyum hangatnya kembali. Sial, kenapa dia harus setampan ini sih? Bikin susah fokus. "Nah, prioritas utama kita sekarang adalah mencari cara untuk mengembalikanmu ke duniamu."
"Mengembalikanku?" Secercah harapan langsung menyala. Aku tanpa sadar mencondongkan tubuh ke depan, seolah tidak mau ketinggalan satu kata pun. "Gimana caranya? Apa ada tombol ‘kembali ke dunia asal’ di suatu tempat?"
"Itu yang sedang kupikirkan," jawab Riel, bersandar di kursinya. "Cermin itu sebuah portal antar dimensi. Masalahnya, portal semacam itu biasanya hanya bisa diaktifkan dari sisi Elysia untuk menarik seseorang. Membukanya dari sini untuk mengirimmu kembali… itu sedikit lebih rumit."
"Jadi, nggak ada cara lain?" tanyaku, rasa putus asa mulai merayap.
Riel terdiam cukup lama, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Akhirnya, ia mengangkat kepala.
"Ada," jawabnya pelan, nadanya kini terdengar sedikit… ragu.
"Tapi cara ini… berbahaya. Sangat berbahaya. Dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama."
"Berbahaya gimana maksudnya?" tanyaku waspada. "Jangan bilang aku harus melawan monster-monster lain lagi buat bisa pulang? Aku ini penakut, tahu!"
Riel menatapku lurus, matanya yang biru kehijauan seolah menembus jiwaku.
"Kau harus belajar menggunakan sihir, Liora."
"Sihir?" Aku tertawa kecil, lebih mirip suara orang panik. "Aku? Pakai sihir? Yang benar saja, Riel! Aku ini jenis orang yang kalau megang remot TV saja sering salah pencet tombol!"
"Di Elysia, hampir semua makhluk hidup memiliki potensi sihir," kata Riel sabar. "Termasuk manusia dari duniamu yang memiliki koneksi dengan Aether. Potensi itu hanya perlu dipelajari dan diasah."
"Tapi… aku benar-benar nggak yakin bisa," kataku ragu, menatap kedua telapak tanganku yang terasa begitu normal dan tidak ajaib sama sekali.
"Kau harus mencoba, Liora," desak Riel, sorot matanya memancarkan keyakinan yang kuat. "Jika kau benar-benar ingin kembali ke duniamu, untuk saat ini, inilah satu-satunya cara yang kita punya."
Aku terdiam, menimbang kata-katanya. Pandanganku menerawang ke luar jendela, menatap panorama kota elf yang berkilauan indah. Bingung, takut, tentu saja. Tapi… ada secuil rasa penasaran yang mulai menggelitik di hatiku. Bahkan, ada sedikit semangat tersembunyi untuk menjajal hal baru yang super gila ini.
"Oke," ucapku akhirnya, menarik napas dalam-dalam. Nada suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga.
"Aku akan mencoba."
Riel tersenyum lega, senyum yang benar-benar tulus dan lebar kali ini. "Bagus sekali, Liora! Keputusan yang tepat." Ia mengangguk mantap. "Aku akan membantumu. Sepenuhnya."
Sebuah janji dari seorang Pangeran Elf.
Entah ini akan jadi awal dari petualangan seru atau awal dari bencana baru. Hanya waktu yang bisa menjawab.
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi