"Serius, ini beneran istana?"
Liora mendongak, matanya membulat menelusuri bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya. Istana itu bukan sekadar tumpukan batu; ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang tak tertandingi. Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan seperti mutiara di bawah cahaya matahari yang menembus pepohonan tinggi di sekitarnya, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan makhluk-makhluk mitos dan adegan-adegan dari kisah-kisah kuno. Menara-menara yang ramping dan anggun menjulang seolah menembus awan, puncaknya dihiasi bendera-bendera berkibar yang menampilkan simbol-simbol yang tak dikenal Liora. Riel tersenyum tipis, melihat kekaguman di wajah Liora. “Selamat datang di Asteria, Istana Bintang. Kediaman para elf,” ucapnya dengan nada bangga. Liora masih terpukau, matanya terus menjelajahi setiap detail bangunan itu. “Keren banget! Kayak di film-film fantasi,” gumamnya, suaranya hampir Dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit di dunianya, istana ini terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dia mengikuti Riel melewati gerbang besar yang terbuat dari perak murni. Gerbang itu dihiasi dengan ukiran pohon dan bintang, dan berderit pelan saat terbuka. Dua penjaga elf, dengan postur tegap dan tombak panjang di tangan, berdiri di kedua sisi gerbang. Mereka mengenakan baju zirah perak yang berkilauan dan memiliki telinga runcing yang khas. Mereka menunduk hormat pada Riel dengan gerakan yang anggun. “Yang Mulia Pangeran,” sapa salah satu penjaga, suaranya rendah dan hormat. “Selamat siang, Eldrin, Lyrian,” balas Riel dengan senyum ramah. “Bawa nona ini ke ruanganku. Dia tamu penting.” Penjaga yang bernama Eldrin, seorang elf berambut pirang dengan mata biru yang tajam, mengangguk dan mempersilakan Liora untuk berjalan di depannya dengan gerakan tangan yang sopan. Liora melirik Riel sebelum mengikuti Eldrin. Riel memberinya senyum kecil yang hangat, senyum yang entah kenapa membuat jantung Liora berdebar kencang. Saat mereka berjalan di koridor istana, Liora semakin takjub. Koridor-koridor itu luas dan tinggi, dengan lantai yang terbuat dari marmer putih yang dipoles hingga berkilau. Dinding-dindingnya dihiasi permadani indah yang menggambarkan pemandangan Elysia yang menakjubkan: hutan-hutan lebat, pegunungan yang menjulang tinggi, dan danau-danau yang berkilauan. Lukisan-lukisan yang tergantung di dinding juga menampilkan pemandangan yang sama, tetapi dengan detail yang lebih halus dan warna-warna yang lebih hidup. Cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela besar yang melengkung, menciptakan suasana yang hangat dan cerah, menerangi debu-debu yang menari-nari di udara. Aroma bunga-bunga yang manis dan rempah-rempah yang lembut memenuhi udara. “Gimana? Suka?” tanya Eldrin, memperhatikan ekspresi Liora yang terpukau. “Suka banget! Ini tempat terindah yang pernah aku lihat,” jawab Liora jujur, matanya masih menjelajahi setiap sudut koridor. Dia merasa seperti berada di dunia lain, dunia yang jauh lebih indah dan magis dari dunianya. Eldrin tersenyum bangga. “Memang. Asteria adalah kebanggaan kami,” katanya. Mereka tiba di depan pintu besar yang terbuat dari kayu berukir. Ukiran di pintu itu membentuk pola rumit yang menggambarkan pohon-pohon dan bintang-bintang. Eldrin mengetuk pintu itu dengan hati-hati, tiga ketukan pelan dan teratur. “Masuk,” terdengar suara Riel dari dalam, suaranya jernih dan tegas. Eldrin membuka pintu dan mempersilakan Liora masuk dengan anggukan hormat. Liora melangkah masuk dengan ragu-ragu. Riel sedang duduk di meja kerjanya, membaca beberapa lembar perkamen yang ditulis dengan tinta emas. Dia mendongak saat melihat Liora, senyumnya kembali terlihat. “Silakan duduk,” kata Riel, menunjuk ke kursi di depan mejanya. Kursi itu terbuat dari kayu yang sama dengan meja, diukir dengan detail yang sama indahnya, dan dilapisi dengan kain beludru berwarna biru tua. Liora duduk dengan ragu-ragu. Ruangan itu besar dan mewah, dengan perabotan kayu yang diukir dengan indah, jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota elf yang menakjubkan, dan rak buku yang menjulang tinggi hingga langit-langit, dipenuhi dengan buku-buku dan gulungan-gulungan kuno. Aroma kayu cendana dan kertas tua memenuhi ruangan. “Jadi... sekarang aku di mana?” tanya Liora, masih merasa sedikit linglung. “Kamu berada di Elysia,” jawab Riel. “Dunia paralel yang terhubung dengan duniamu melalui cermin itu.” “Dunia paralel?” Liora mengerutkan kening. “Maksudnya... dunia lain?” “Betul sekali,” kata Riel, mengangguk. “Dunia yang dipenuhi dengan sihir dan makhluk-makhluk magis.” “Makhluk magis?” Liora teringat serigala besar yang menyerangnya di hutan. “Kayak... serigala tadi?” Riel mengangguk. “Itu Grimwolf. Makhluk yang cukup berbahaya. Untung aku datang tepat waktu,” ucapnya dengan nada lega. “Sekali lagi makasih udah nolongin aku,” kata Liora tulus. “Sama-sama,” balas Riel dengan senyum hangat. “Sekarang, kita harus mencari cara untuk mengembalikanmu ke duniamu.” “Tapi... gimana caranya?” tanya Liora, merasa sedikit putus asa. “Itu yang sedang kupikirkan,” jawab Riel. “Cermin itu adalah portal, tapi biasanya hanya bisa diaktifkan dari sisi Elysia. Kita harus mencari cara untuk membukanya dari sini.” “Apa ada cara lain?” tanya Liora, berharap ada solusi yang lebih mudah. Riel terdiam sejenak, tampak berpikir keras. “Ada,” jawabnya akhirnya, nadanya terdengar sedikit ragu. “Tapi itu berbahaya dan membutuhkan waktu yang lama.” “Berbahaya? Maksudnya?” Liora merasa khawatir, mengingat pengalamannya dengan Grimwolf. “Kamu harus belajar menggunakan sihir,” jawab Riel, menatapnya dengan serius. “Sihir?” Liora tertawa kecil, merasa itu mustahil. “Aku nggak bisa sihir.” “Di Elysia, semua orang punya potensi sihir,” kata Riel. “Hanya perlu dipelajari dan dikembangkan.” “Tapi... aku nggak yakin bisa,” kata Liora ragu, menatap tangannya sendiri. “Kamu harus mencoba,” kata Riel dengan nada meyakinkan, matanya memancarkan keyakinan. “Jika kamu ingin kembali ke duniamu, ini satu-satunya cara.” Liora terdiam, memikirkan kata-kata Riel. Dia melihat ke luar jendela, memandangi pemandangan kota elf yang indah, dengan bangunan-bangunan putih yang berkilauan dan pepohonan yang hijau. Dia merasa bingung dan takut menghadapi hal yang tidak diketahui, tetapi juga penasaran dan bersemangat untuk mencoba hal baru. “Oke,” kata Liora akhirnya, dengan nada mantap. "Aku akan mencoba.” Riel tersenyum lega. “Bagus. Aku akan membantumu,” janjinya."Gimana menurutmu? Lumayan 'kan?" Arista menunjuk ke sebuah gua yang tersembunyi di balik air terjun kecil.Airnya mengalir deras, menciptakan tirai air yang berkilauan diterpa cahaya bulan yang memantul di permukaan air kolam di bawahnya.Suara gemuruh air yang jatuh menciptakan suasana yang menenangkan, bercampur dengan suara serangga malam dan desau angin di antara pepohonan.Liora mengangguk kagum, matanya membulat melihat pemandangan di hadapannya."Keren banget! Kayak tempat persembunyian rahasia," serunya, suaranya hampir tertelan oleh suara air terjun.Dia merasa seperti masuk ke dalam dunia dongeng, sebuah tempat yang hanya ada dalam imajinasinya.Riel menyibak tirai air itu dengan gerakan anggun, memperlihatkan pintu masuk gua yang gelap. Mereka masuk ke dalam, dan Liora langsung merasakan perbedaan suhu. Di luar terasa sejuk, tapi di dalam gua terasa hangat dan lembap.Di dalamnya, gua itu jauh lebih luas dari yang mereka kira dari luar. Dinding-dindingnya tidak rata, melai
"Kita nggak bisa terus-terusan lari kayak gini," Liora terengah-engah, memegangi lututnya yang terasa lemas.Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Mereka telah berlari cukup jauh, memacu langkah sekuat tenaga meninggalkan tempat mengerikan di mana mereka diserang oleh Grimwolf yang buas.Namun, senja mulai merayap, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu, menandakan malam akan segera tiba. Kecemasan semakin mencengkeram mereka karena belum menemukan tempat berlindung yang aman.Riel, dengan mata elangnya yang awas, mengamati sekeliling dengan cermat. Hutan di sekitar mereka tampak sunyi, namun keheningan itu justru terasa mencekam."Kamu benar," sahutnya, suaranya terdengar serius."Kita butuh tempat yang aman sebelum malam tiba. Grimwolf jauh lebih berbahaya saat gelap. Penglihatannya dalam kegelapan sangat tajam, dan insting berburunya semakin kuat."Arista, yang juga tampak khawatir, menunjuk ke arah tebing batu yang agak jauh dari tempat mereka berdiri."D
"Lari!" teriak Riel, instingnya berteriak bahaya.Ia mendorong Liora dan Arista ke belakangnya, menciptakan perisai manusia di antara mereka dan ancaman yang mengintai. Tiga Grimwolf besar, makhluk mengerikan perpaduan serigala dan iblis, telah mengepung mereka.Mata merah mereka menyala garang di bawah cahaya rembulan pucat yang menembus celah-celah pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan malam itu, yang tadinya sunyi, kini dipenuhi aura permusuhan yang pekat."Gimana caranya kita lari? Mereka mengepung kita!" balas Liora dengan nada panik, jantungnya berdebar kencang di dadanya.Setiap detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan aroma amis dan busuk yang menyengat dari Grimwolf, bau khas predator yang lapar.Air liur menetes dari taring mereka yang tajam dan panjang, berkilauan seperti pecahan kaca di bawah cahaya bulan. Bulu mereka yang kasar dan berwarna gelap tampak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan h
"Jadi, kita benar-benar akan ke sana?"Liora menunjuk ke arah pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Puncak-puncaknya diselimuti salju abadi, tampak gagah sekaligus menakutkan, sebuah benteng alam yang dingin dan misterius. Bayangan awan yang bergerak di lerengnya memberikan kesan hidup, seolah-olah pegunungan itu sendiri sedang mengamati mereka.Riel mengangguk, mengencangkan tali tas ranselnya yang tampak berat."Pegunungan Aethel. Tempat Crysalis Aetheria disembunyikan. Kita harus berangkat sekarang sebelum Umbra menemukan cara untuk melacaknya." Nada suaranya tegas, mencerminkan urgensi situasi mereka. Waktu adalah musuh mereka, dan setiap detik yang terbuang bisa membawa konsekuensi yang mengerikan."Tapi, Arista bilang tempat itu berbahaya," kata Liora, kerutan kecil muncul di dahinya. Kekhawatiran jelas terpancar dari matanya. Ia teringat peringatan Arista tentang ganasnya alam Pegunungan Aethel, tentang badai salju yang tiba-tiba, tebing curam yang mengancam, dan makhlu
"Jadi, artefak itu penting sekali, ya?"Liora bertanya pada Arista, nada suaranya menekankan betapa krusialnya informasi tersebut.Mereka berdua berjalan menyusuri koridor istana, yang kini tampak jauh berbeda dari sebelumnya. Dinding-dindingnya retak di beberapa bagian, memperlihatkan batu bata di baliknya, dan beberapa permadani mewah robek menganga akibat serangan Umbra yang baru saja terjadi. Suasana istana yang tadinya megah dan dipenuhi cahaya kini terasa tegang dan suram, aura ketakutan menyelimuti setiap sudutnya.Arista mengangguk dengan sungguh-sungguh."Sangat penting. Itu adalah Crysalis Aetheria, jantung dari kekuatan sihir Elysia. Tanpa artefak itu, sihir kita akan melemah secara drastis, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Kita akan menjadi sangat rentan terhadap Umbra dan kekuatan gelap mereka. Bayangkan sebuah perisai yang tiba-tiba menghilang, itulah yang akan terjadi pada Elysia.""Kedengarannya seperti barang mistis yang hanya ada di legenda-legenda kuno," kome
"Lepasin aku!" Liora berteriak, suaranya tercekat di antara gemuruh pertempuran yang sayup-sayup terdengar.Ia meronta sekuat tenaga dalam cengkeraman Umbra yang menyeretnya dengan kasar di sepanjang koridor istana. Cengkraman itu begitu kuat dan kasar, mencengkeram pergelangan tangannya hingga terasa ngilu dan memar mulai membayang di kulitnya. Setiap langkah Umbra terasa seperti siksaan, menyeretnya semakin jauh dari hiruk pikuk pertempuran yang menandakan harapan.Umbra itu, makhluk bertubuh tinggi dengan kulit kelabu gelap dan mata merah menyala, hanya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang runcing dan tajam seperti taring serigala. Seringai itu bukan senyum, melainkan sebuah ekspresi predator yang menikmati mangsanya."Kamu pikir kamu bisa kabur, manusia?" desisnya dengan suara serak yang parau, suara yang merayap di tulang belakang Liora, mengirimkan gelombang rasa takut yang dingin dan menusuk.Suara itu bukan hanya serak, tetapi juga bergetar dengan kekuatan gel
"Susah banget sih fokus sama air!" Liora menghela napas panjang, butiran keringat membasahi dahinya.Ia duduk bersila di atas lantai kayu ruang latihan, matanya tertuju pada telapak tangannya yang kosong. Beberapa jam berlatih intensif bersama Riel belum membuahkan hasil yang signifikan. Perasaan frustrasi mulai merayapinya.Riel, yang duduk bersandar di dinding di hadapannya, mengamati Liora dengan sabar. "Memang butuh waktu, Liora. Jangan terlalu memaksakan diri. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketekunan.""Tapi, kamu bilang ini satu-satunya cara aku bisa kembali," sahut Liora dengan nada suara yang meninggi, mencerminkan kekecewaannya."Bagaimana kalau aku tidak bisa menguasainya? Bagaimana kalau aku gagal?" Nada putus asa terdengar jelas dalam setiap kata yang diucapkannya."Kamu pasti bisa," kata Riel dengan mantap, menatap Liora dengan tatapan yang penuh keyakinan dan dukungan."Kamu sudah berhasil memunculkan bunga matahari itu. Itu bukti nyata bahwa kamu memiliki potensi
"Jadi, gimana caranya aku belajar sihir?" tanya Liora, duduk bersila di atas bantal di ruang latihan istana.Ruangan itu luas dengan lantai batu yang dingin dan beberapa target latihan tergantung di dinding, saksi bisu latihan para kesatria dan penyihir istana selama bertahun-tahun. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela tinggi, menerangi debu yang menari-nari di udara.Riel, yang berdiri di depannya dengan postur tegap, bahunya lebar dan rahangnya tegas, tersenyum tipis. Senyum itu, meskipun singkat, mampu meredakan ketegangan di wajah Liora."Pertama-tama, kamu harus merasakan Aether.""Aether?" Liora mengerutkan kening, dahinya membentuk lipatan-lipatan kecil. "Itu apaan?"Inti dari semua sihir di Elysia," jelas Riel, suaranya tenang dan berwibawa."Energi yang mengalir di alam dan di dalam diri setiap makhluk hidup. Bayangkan seperti aliran sungai yang tak terlihat, menghubungkan setiap daun yang berguguran, setiap hembusan angin, dan setiap detak jantung.""Keden
"Serius, ini beneran istana?" Liora mendongak, matanya membulat menelusuri bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya. Istana itu bukan sekadar tumpukan batu; ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang tak tertandingi. Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan seperti mutiara di bawah cahaya matahari yang menembus pepohonan tinggi di sekitarnya, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan makhluk-makhluk mitos dan adegan-adegan dari kisah-kisah kuno. Menara-menara yang ramping dan anggun menjulang seolah menembus awan, puncaknya dihiasi bendera-bendera berkibar yang menampilkan simbol-simbol yang tak dikenal Liora. Riel tersenyum tipis, melihat kekaguman di wajah Liora. “Selamat datang di Asteria, Istana Bintang. Kediaman para elf,” ucapnya dengan nada bangga. Liora masih terpukau, matanya terus menjelajahi setiap detail bangunan itu. “Keren banget! Kayak di film-film fantasi,” gumamnya, suaranya hampir Dibandingkan dengan gedung-gedung p