Home / Fantasi / PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA / BAB 2 : ISTANA DI ATAS AWAN

Share

BAB 2 : ISTANA DI ATAS AWAN

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-01-18 16:46:56

"Serius, ini beneran istana?"

Napasku tercekat.

Aku mendongak, lalu mendongak lagi sampai leherku terasa pegal. Mataku membulat sempurna, berusaha menangkap setiap detail bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapanku, puncaknya seolah menggaruk langit.

Ini bukan sekadar tumpukan batu biasa, sungguh. Istana di depanku ini… ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang bikin aku melongo tak percaya.

Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan lembut, seperti ribuan mutiara yang dijahit menjadi satu, memantulkan cahaya mentari hangat yang berhasil menyelinap dari rimbunnya pepohonan di sekitar.

Ukiran-ukiran rumit dan indah menghiasi hampir setiap permukaannya, bukan sekadar pajangan, tapi seolah menceritakan kisah.

Aku bisa melihat bentuk-bentuk makhluk mitos yang hanya pernah kulihat di buku dongeng – naga bersayap, unicorn dengan tanduk bercahaya, dan adegan-adegan dari pertempuran kuno yang membangkitkan imajinasiku yang biasanya cuma mentok di PR sekolah.

Menara-menara yang ramping dan anggun menjulang tinggi, puncaknya yang runcing seolah menantang awan-awan putih yang berarak malas.

Di setiap puncak menara, bendera-bendera sutra berkibar anggun ditiup angin, menampilkan simbol-simbol aneh yang belum pernah kulihat seumur hidup.

Entah lambang kerajaan atau cuma logo klub penggemar istana ini.

Riel, yang berdiri di sampingku, tersenyum tipis. Senyum yang sama yang tadi menyelamatkanku dari serigala jadi-jadian itu. Ia pasti menangkap ekspresi norak penuh kekaguman di wajahku.

"Selamat datang di Asteria, Istana Bintang," ucapnya, nada bangga yang kental tak bisa ia sembunyikan. "Kediaman para elf."

Elf?

Serius?

Jadi pria tampan berambut perak ini adalah… elf? Aku masih terpukau, mulutku mungkin sedikit menganga. Mataku terus menjelajahi setiap detail istana yang luar biasa ini, mencoba meyakinkan diriku kalau ini bukan halusinasi akibat kelaparan atau terbentur terlalu keras.

"Keren banget! Sumpah, kayak di film-film fantasi yang biasa kutonton sambil makan mi instan," gumamku pelan, nyaris tak terdengar oleh diriku sendiri.

Dibandingkan dengan gedung-gedung pencakar langit di duniaku yang serba kotak, praktis, dan, jujur saja, kadang super membosankan, istana Asteria ini terasa seperti mimpi yang jadi kenyataan. Mimpi yang sedikit terlalu nyata, mungkin, lengkap dengan potensi bahaya tersembunyi.

Aku mengekor di belakang Riel, masih dengan perasaan campur aduk antara takjub dan waspada, melewati sebuah gerbang perak murni yang menjulang tinggi.

Permukaannya dihiasi ukiran indah berbentuk pohon kehidupan dan taburan bintang. Saat Riel mendorongnya dengan mudah, gerbang itu berderit pelan, suara yang terdengar begitu kuno, dan aroma samar seperti ozon setelah hujan bercampur dengan wangi kayu-kayuan tua yang harum menyeruak dari baliknya.

Mengundang sekaligus sedikit bikin merinding.

Di kedua sisi gerbang yang terbuka, berdiri dua elf penjaga.

Postur mereka tegap sempurna, seperti patung pahatan, masing-masing memegang tombak perak panjang yang ujungnya berkilauan tajam.

Baju zirah perak yang mereka kenakan berkilauan ditimpa cahaya, dan telinga runcing khas bangsa mereka – ya ampun, benar-benar runcing! – menyembul anggun dari balik rambut mereka yang lurus dan terawat sempurna.

Aku jadi merasa seperti gembel yang baru keluar dari tempat sampah.

Mereka berdua serempak menunduk hormat pada Riel. Gerakannya begitu luwes dan anggun, membuatku yang biasanya jalannya saja sering keserimpet jadi makin minder.

"Yang Mulia Pangeran," sapa salah satu penjaga, suaranya rendah, dalam, dan penuh hormat.

Pangeran?

Jadi Riel ini bukan cuma elf biasa, tapi Pangeran Elf? Oke, plot twist macam apa lagi ini?

"Selamat siang, Eldrin, Lyrian," balas Riel, senyum ramahnya tak luntur sedikit pun. Seolah menjadi pangeran dan dikawal penjaga super keren itu hal biasa baginya. "Tolong bawa nona ini ke ruanganku. Dia tamu penting."

Tamu penting? Aku?

Yang tadi hampir jadi sarapan serigala dan sekarang bajunya penuh debu loteng? Dunia ini makin aneh saja.

Penjaga yang disebut Riel sebagai Eldrin – elf berambut pirang platinum dengan mata biru setajam es – mengangguk sekali, tanpa ekspresi.

Lalu, dengan gestur tangan yang begitu elegan seolah sedang mengarahkan penari balet di panggung opera, ia mempersilakan aku berjalan mendahuluinya.

Sopan sekali, sampai aku bingung harus balas dengan gestur apa.

Aku mencuri pandang ke arah Riel sebelum mengikuti Eldrin. Sebuah senyum kecil yang hangat – dan menurutku sedikit menggoda – terulas di bibir Pangeran Elf itu.

Entah kenapa, senyumnya yang barusan itu sukses membuat jantungku yang sudah berdebar tidak karuan jadi semakin menggila.

Sialan, Liora, fokus! Ini bukan waktunya terpesona pangeran dari dunia lain!

Menyusuri koridor istana bersama Eldrin yang berjalan tanpa suara di belakangku membuatku semakin takjub, sekaligus semakin merasa seperti turis norak.

Koridor-koridor ini luasnya bukan main, langit-langitnya tinggi melengkung, dengan lantai marmer putih yang dipoles begitu mengilapnya sampai aku bisa melihat pantulan wajahku sendiri yang kucel.

Cahaya temaram yang hangat memancar dari sumber yang tak terlihat, mungkin dari kristal-kristal ajaib atau sejenisnya.

Dinding-dindingnya dihiasi permadani-permadani raksasa yang ditenun dengan benang emas dan perak, melukiskan panorama Elysia yang begitu menakjubkan hingga membuatku lupa cara bernapas.

Hutan-hutan lebat berwarna hijau zamrud yang pekat, pegunungan-pegunungan megah yang puncaknya tertutup salju abadi dan seolah menyentuh langit, dan danau-danau biru jernih yang airnya setenang cermin raksasa.

Lukisan-lukisan cat minyak berbingkai emas yang tergantung di antara permadani pun menampilkan pemandangan serupa, namun dengan detail yang jauh lebih halus dan warna-warna yang begitu hidup, seolah aku bisa melangkah masuk ke dalamnya.

Lukisan di rumahku yang cuma pemandangan sawah jadi kelihatan kayak gambar anak TK.

Cahaya mentari keemasan menyeruak dari jendela-jendela kaca patri raksasa yang melengkung indah, menciptakan atmosfer yang hangat dan seperti di negeri dongeng.

Menerangi butiran-butiran debu – atau mungkin ini benar-benar serbuk peri, siapa tahu? – yang menari-nari malas di udara.

Dan aromanya! Aroma manis bebungaan eksotis yang tak kukenal namanya bercampur dengan wangi rempah-rempah lembut yang menguar dari entah mana, membuai penciumanku.

Jauh lebih enak dari aroma knalpot bus kota dan parfum KW yang biasa kuhirup.

"Bagaimana? Kau suka?" Tiba-tiba suara Eldrin yang dalam memecah lamunanku. Ia pasti sudah bosan melihatku melongo seperti orang udik.

"Suka banget!" jawabku jujur, terlalu jujur mungkin. Mataku masih liar menjelajahi setiap detail langit-langit yang tinggi. "Ini… ini tempat paling indah yang pernah aku lihat seumur hidupku."

Meskipun, jujur saja, berada di tempat semegah ini dengan dandanan ala kadarnya (jeans belel dan kaos oblong kesayangan) membuatku merasa salah kostum parah.

Berasa kayak remah rengginang di tengah pesta bangsawan.

Aku benar-benar merasa seperti terlempar ke dimensi lain. Dunia yang berkali-kali lipat lebih indah, lebih megah, dan jelas lebih magis dari duniaku yang serba abu-abu.

Eldrin tersenyum tipis, senyum bangga seorang tuan rumah yang kediamannya dipuji tamu. "Memang. Asteria adalah mahkota dan kebanggaan bangsa kami," katanya.

Kami akhirnya berhenti di depan sebuah pintu kayu raksasa yang terbuat dari kayu gelap mengilap.

Permukaannya dihiasi ukiran yang luar biasa rumit, membentuk pola sulur-sulur pepohonan yang merambat dan taburan bintang-bintang perak.

Tema alam dan bintang ini sepertinya memang favorit di sini.

Eldrin mengetuk pintu itu dengan sangat hati-hati. Tiga ketukan pelan, sopan, dan teratur.

Jelas bukan tipe orang yang suka menggebrak pintu.

"Masuk," terdengar suara Riel dari dalam. Jernih, tegas, dan penuh wibawa. Suara seorang pangeran, memang.

Eldrin membuka pintu kayu berat itu tanpa suara, lalu dengan anggukan hormat mempersilakan aku masuk. Dengan langkah sedikit ragu – takut salah injak atau menyenggol vas bunga seharga mobil – aku melangkah masuk.

Dan di sanalah Riel.

Pangeran Elf itu tengah duduk santai di belakang meja kerjanya yang besar dan megah, tampak serius menelaah beberapa lembar perkamen berwarna krem yang tintanya berkilauan seperti emas cair.

Ia mendongak begitu aku dan Eldrin masuk, dan senyumnya yang tadi sempat kulihat di gerbang kini merekah lagi. "Ah, Liora. Akhirnya kau sampai juga."

"Silakan duduk," kata Riel, menunjuk ke sebuah kursi berukir indah di depan mejanya.

Kursi itu terbuat dari kayu yang sama dengan mejanya, gelap dan mengilap, dilapisi bantalan beludru biru tua yang tebal dan tampak luar biasa nyaman. Sangat kontras dengan kursi plastik di ruang makan rumahku.

Aku duduk dengan canggung, berusaha menjaga sikap sebaik mungkin. Ruangan kerja Riel ini besar dan mewah, tapi tidak terkesan pamer. Semua perabotannya terbuat dari kayu berukir halus dengan detail yang memukau.

Sebuah jendela raksasa di salah satu sisi dinding menghadap langsung ke pemandangan kota elf yang menakjubkan di bawah sana – bangunan-bangunan putih yang berkilauan dan taman-taman hijau yang subur.

Rak-rak buku kayu menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit, dijejali ratusan buku bersampul kulit tebal dan gulungan-gulungan perkamen kuno yang tampak begitu berharga.

Aroma samar kayu cendana yang wangi dan kertas tua yang khas menguar di udara, menciptakan suasana yang tenang dan… intelektual.

"Jadi…" Aku memulai, berusaha agar suaraku tidak terdengar gemetar. Otakku masih bekerja keras memproses semua kegilaan ini. "Sekarang aku ini sebenarnya ada di mana? Dan… ini semua nyata, kan? Aku nggak lagi mimpi aneh gara-gara kebanyakan maraton nonton serial fantasi akhir pekan kemarin, kan?"

Aku menambahkan bagian terakhir dengan sedikit harapan kalau-kalau ini memang cuma mimpi.

Riel terkekeh pelan, suaranya merdu. "Ini semua sangat nyata, Liora. Kau berada di Elysia," jawabnya, tatapannya lembut namun meyakinkan.

"Dan Elysia ini adalah dunia paralel. Dunia yang terhubung dengan duniamu melalui cermin ajaib yang kau temukan di loteng itu."

"Dunia paralel?" Keningku berkerut semakin dalam. Konsep itu terasa begitu familiar, tapi juga begitu tidak masuk akal. "Maksudnya… dunia lain? Yang benar-benar beda dimensi? Kayak di novel-novel fiksi ilmiah atau fantasi yang sering kubaca itu?"

Klise banget sih kedengarannya, tapi ya sudahlah, toh aku sudah ada di sini.

"Betul sekali," Riel mengangguk, senyumnya masih tersungging. "Sebuah dunia yang dipenuhi dengan sihir dan berbagai makhluk-makhluk magis yang mungkin hanya pernah kau lihat dalam mimpimu."

"Makhluk magis?" Seketika, bayangan serigala hitam raksasa dengan mata merah menyala tadi kembali menghantuiku. Bulu kudukku langsung meremang hebat.

"Kayak… kayak serigala segede beruang yang tadi mau memakanku hidup-hidup itu?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.

Riel mengangguk lagi, kali ini ekspresinya sedikit lebih serius.

"Itu Grimwolf. Salah satu makhluk buas yang cukup berbahaya di hutan-hutan Elysia. Kau beruntung aku kebetulan lewat dan datang tepat waktu," ucapnya, nada lega yang tulus terselip di suaranya.

"Iya, beruntung banget," gumamku. "Sekali lagi, makasih banyak udah nolongin aku."

Meskipun caramu muncul tadi juga nyaris bikin aku kena serangan jantung kedua.

"Sama-sama, Liora," balas Riel, senyum hangatnya kembali menghiasi wajah tampannya.

Sial, kenapa dia harus setampan ini sih? Bikin susah fokus.

"Nah, prioritas utama kita sekarang adalah mencari cara untuk mengembalikanmu ke duniamu dengan selamat."

"Mengembalikanku?" Secercah harapan langsung menyala di hatiku, tapi dengan cepat diiringi rasa cemas.

"Tapi… tapi gimana caranya? Apa ada tombol 'kembali ke dunia asal' di suatu tempat?" tanyaku, setengah berharap ada solusi semudah itu.

"Itu yang sedang kupikirkan dengan serius," jawab Riel, bersandar di kursinya. "Cermin yang membawamu ke sini itu adalah sebuah portal antar dimensi.

Tapi masalahnya, portal semacam itu biasanya hanya bisa diaktifkan dari sisi Elysia untuk menarik seseorang dari duniamu. Membukanya dari sini untuk mengirimmu kembali… itu sedikit lebih rumit."

"Jadi, nggak ada cara lain?" tanyaku lagi, rasa putus asa mulai merayap pelan.

Aku tidak mau terjebak di dunia ini selamanya, meskipun istananya keren dan pangerannya tampan.

Riel terdiam cukup lama, tampak berpikir sangat keras. Jari-jarinya yang panjang dan ramping mengetuk-ngetuk permukaan meja kayunya yang mengilap. Alisnya sedikit berkerut. Akhirnya, ia mengangkat kepalanya.

"Ada," jawabnya pelan, nadanya kini terdengar sedikit… ragu.

Dan itu membuatku semakin cemas.

"Tapi cara ini… berbahaya. Sangat berbahaya. Dan akan membutuhkan waktu yang cukup lama."

"Berbahaya?" Insting waspadaku langsung menyala. Pengalamanku dengan Grimwolf beberapa jam yang lalu masih segar bugar di ingatan.

"Berbahaya gimana maksudnya? Jangan bilang aku harus melawan monster-monster lain lagi buat bisa pulang? Aku ini penakut, tahu!"

Riel menatapku lurus, matanya yang biru kehijauan seolah menembus ke dalam jiwaku. "Kau harus belajar menggunakan sihir, Liora."

"Sihir?" Aku tertawa kecil, tawa yang lebih mirip suara orang panik daripada orang geli.

Mustahil.

"Aku? Pakai sihir? Yang benar saja, Riel! Aku ini jenis orang yang kalau megang remot TV saja sering salah pencet tombol! Gimana mau pakai sihir?"

"Di Elysia, hampir semua makhluk hidup memiliki potensi sihir dalam diri mereka, termasuk manusia dari duniamu yang memiliki koneksi dengan Aether," kata Riel dengan sabar, seolah sudah sering menjelaskan hal ini pada orang-orang aneh sepertiku. "Potensi itu hanya perlu dipelajari, diasah, dan dikembangkan."

"Tapi… tapi aku benar-benar nggak yakin bisa," kataku ragu, menatap kedua telapak tanganku yang terasa begitu normal dan tidak ajaib sama sekali. Tidak ada percikan cahaya, tidak ada aura mistis, tidak ada tanda-tanda kekuatan tersembunyi.

Hanya tangan seorang gadis biasa yang lebih sering dipakai buat ngetik tugas sekolah daripada mengeluarkan bola api.

"Kau harus mencoba, Liora," desak Riel, sorot matanya yang tajam itu kini memancarkan keyakinan yang begitu kuat, keyakinan yang entah bagaimana mulai menular padaku. "Jika kau benar-benar ingin kembali ke duniamu, untuk saat ini, inilah satu-satunya cara yang kita punya."

Aku terdiam, menimbang kata-kata Riel yang terdengar begitu final.

Pandanganku menerawang ke luar jendela raksasa, menatap panorama kota elf yang berkilauan indah di bawah sana.

Bangunan-bangunan putih yang anggun, taman-taman hijau yang subur dan tertata rapi, langit biru jernih tanpa sedikit pun polusi.

Begitu berbeda dengan duniaku.

Bingung, takut, tentu saja. Tapi… ada secuil rasa penasaran yang mulai menggelitik di hatiku. Bahkan, sejujurnya, ada sedikit semangat tersembunyi untuk menjajal hal baru yang super gila ini.

Kembali ke dunia yang sudah kukenal dengan segala rutinitasnya memang jadi prioritas utamaku.

Tapi, petualangan macam apa yang mungkin menungguku di Elysia ini jika aku gagal kembali? Atau… jika aku berhasil menguasai sihir?

Mungkin aku bisa jadi seperti penyihir di film-film itu? Keren juga.

"Oke," ucapku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku.

"Aku akan mencoba."

Riel tersenyum lega, senyum yang benar-benar tulus dan lebar kali ini, membuat wajahnya terlihat semakin… yah, kau tahu lah. "Bagus sekali, Liora! Keputusan yang tepat." Ia mengangguk mantap. "Aku akan membantumu. Sepenuhnya."

Sebuah janji dari seorang Pangeran Elf.

Entah ini akan jadi awal dari petualangan seru atau awal dari bencana baru.

Hanya waktu yang bisa menjawab.

TenMaRuu

INFO UNTUK PEMBACA BARU & SETIA : Bab 2 ini telah aku revisi ke versi definitif dengan kualitas cerita, detail dunia, dialog yang lebih mendalam dll. untuk memberikan pengalaman membaca terbaik bagi kalian. aku selalu terbuka pada saran & kritik apapun yang baik dari kalian ges, demi bisa terus meningkatkan cerita ini. selamat menikmati Fantasi Epik ini yah!😉

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (3) : PENGAKUAN SAAT KAU TERTIDUR

    Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (2): CERITA DUA DUNIA

    Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (1) : KENAPA DIA TAK TIDUR?

    (Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 60: DUA DUNIA, SATU TAKDIR

    Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 59: MENYUCIKAN JANTUNG HUTAN

    Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 58: UNICORN

    Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status