Share

TRAGEDI DISENIN PAGI

Jangan ngaku anak rumahan kalau keluar rumah belum pernah make baju kedodoran, celana training hitam dan sandal jepit legend, read: swallow.

************************

Hampir sebagian besar mengeluh datangnya hari senin. Bagaimana tidak, perbandingan jarak dari hari senin menuju minggu lama sekali sedangkan pergantian minggu ke senin serupa membalikkan telapak tangan. Pun demikian dengan Ning, senin dengan shift pagi adalah paket terberat yang lebih berat dari angka timbangan berat badannya yang kian hari bergeser ke kanan. Ia harus merelakan jam tidurnya dipangkas agar tidak datang terlambat, padahal dua hari kebelakang ia sudah bahagia bangun diatas jam 7 pagi. Ohhh… demi bloody hell yang selalu dikatakan Diran ketika ia ingin mengumpat, Ning ingin kembali bergelut di kasurnya yang empuk sambil bersembunyi dibalik bad cover motif pisangnya yang lucu.

Sneakers hitam yang kini dipakai Ning membawanya menuju koridor rumah sakit yang sudah tampak mulai ramai walaupun jam masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Hari ini Ning sengaja memakai sneakers ketimbang flat shoes seperti biasanya. Ia hanya ingin membuat pergerakannya lebih lincah, apalagi hari ini pasiennya pasti ramai.

Ning berbelok ke arah kanan menuju ruang kepegawaian sambil merapikan anak rambutnya yang mencuat keluar akibat melepaskan helm di parkiran tadi. Ia tersenyum kepada beberapa rekan perawat yang melewatinya.

“Selamat pagi, “ sapa Ning dengan senyum selebar mungkin.

Dua orang perawat itu tersenyum dan membalas sapaan Ning.

“Pasti seragam baru lagi,” Ning menatap sekilas para perawat itu. Seragam ungu muda yang dilengkapi dengan celana putih memberi kesan manis dan ramah. Apalagi dengan rambut yang digelung rapi dan disematkan nurse hat di atas kepala, dari jarak jauhpun semua orang awam pasti akan mengenal siapa mereka. Oh jangan lupa make up tipis yang membalut wajah menjadi penunjang penampilan mereka. Walaupun sebagai tenaga kesehatan, yang fokusnya melayani masyarakat tapi penampilan pun juga harus tetap ON.

Ning lagi-lagi melihat dirinya. Dibandingkan dengan perawat tadi, penampilannya masih kalah jauh. Seragam hijau mudanya yang memudar serta celana kain hitam menjadi outfitnya pagi ini. Ia mengambil cermin kecil dari dalam tasnya, memastikan bahwa pelumas bibirnya tidak meluber kemana-mana. Setidaknya lipcream nude pink yang ia gunakan hari ini menolong penampilannya.

Jemari halus menggerayangi pinggangnya hingga membuat Ning berlonjak kaget. Ia berbalik dengan tangan yang sudah mengambil ancang-ancang. “ANJRIT! Lo hampir aja gue tabok!” umpat Ning ketika mendapati Indira lah pelaku yang telah lancang memasuki daerah pribadinya.

“Gini nih kalau udah kelamaan menjomlo, kurang belaian… disentuh sedikit aja udah tegang… ups.” Indira pura-pura menutup mulutnya.

“Lo kan tahu sendiri, ini tuh daerah sensitif gue.”

“Ya elah, gitu aja ngambek ih! Iya,iya, gue minta maaf yaa neng. Lo juga sih, bukannya buru-buru ngabsen, malah melamun di sini. Lo mikirin apa sih, cintaku? Hmm?” Indira mengikuti arah pandang Ning.

“GILAK!!!! Mereka seragam baru, coeeegggg.” Seru Indira sambil menunjuk perawat yang telah berjalan menjauhi mereka.

Ning hanya mengangguk setuju. “Giliran kita kapan? Seragam ini udah lusuh, perlu diganti.” Indira menatap seragamnya. Wajahnya yang tanpa make up membuatnya terlihat pucat seperti sedang sakit.

“Tunggu giliran aja,” Ning tidak bisa berkomentar banyak sebab aturan mendapatkan seragam baru memang harus menunggu persetujuan dari pihak yang memang menaungi bagian kepegawaian.

“Jangankan seragam baru, jas lab aja gak pernah ganti. Buk Lina sampe capek minta pengganti kebagian kepegawaian, tapi sampe sekarang gak digubris. Alasannya sih nunggu dana cair,” keluh Indira.

 Di rumah sakit ini di beberapa unit memang memiliki warna seragam yang berbeda. Untuk tim medis seperti bidan dan perawat, warna seragam mereka cenderung ke ungu muda, pink atau merah.  Untuk bagian penunjang seperti laboran, radiographer, fisioterapis, ahli gizi menggunakan seragam berwarna hijau muda atau biru. Sedangkan untuk bagian administrasi, kebanyakan menggunakan warna khaki dan terkadang juga batik. Hal ini bertujuan agar mudah mendata sesuai dengan job des masing-masing.

“Nasib jadi tim penunjang dan kaum minoritas ya gini, selalu kebagian sisa-sisanya. Ibarat kue tart, kita kebagian whipe cream yang sengaja gak dimakan.”

Hanya gara-gara seragam, mampu membuat mood Indira pagi ini langsung berubah drastis.

“Buruan ngabsen yuk! Gue gak mau ya gaji kita kepotong hanya gara-gara ngebahas seragam baru yang belum tentu juga kita bakalan dapat dalam waktu cepat. Gue juga udah bela-belain gak makeup  dari rumah.” Indira mengamit lengan Ning agar berjalan lebih cepat.

Ning berjalan tergopoh-gopoh sambil menyematkan kartu identitas disela-sela kancing baju  seragamnya.

Sesampainya di depan ruang kepegawaian, mereka harus rela mengantri untuk absen wajah. Pengaturan absen berbasis ini dimulai sejak sebulan yang lalu menggantinya absen sidik jari. Absen ini dimaksudkan agar tidak ada lagi pegawai yang memanipulasi absen. Sebab menurut salah satu pegawai yang bekerja dibagian kepegawaian, beberapa pegawai di RS yang melayani bagian rawat jalan sering tidak bekerja, tetapi ketika dilihat absennya fingerprint, kehadiran pegawai itu dalam sebulan selalu mencapi 100%. Pihak manajemen dan kepegawaian tidak ingin kecolongan lagi, akhirnya menciptakan absen wajah yang diklaim tidak bisa diotak-atik.

Bagi Indira dan Ning, sekalipun suatu saat akan ada absen DNA, mereka dan teman-temannya yang bekerja dibagian lab, tidak ada yang akan bisa memanipulasi absen. Jangankan mengubah data-data kehadiran, absen kerja saja mereka tidak mampu sebab diunit mereka, pegawai yang bekerja bisa dibilang kurang. Dengan beban kerja yang berat tetapi tidak sebanding dengan tenaga kerjanya membuat mereka terkadang harus memutar otak untuk membuat jadwal kerja.

Jangankan bolos, tidak ada yang sakit diantara mereka saja sudah sangat bersyukur sekali. Karena Ketika ada salah satu pegawai yang sakit, mau tidak mau pegawai yang lain akan lembur menggantikan pegawai yang sakit itu.

Bu Lina—selaku koordinator unit laboratorium sudah sering kali menyampaikan minimnya SDM yang bekerja di Laboratorium saat rapat kinerja. Para manajemen pun berjanji akan segera memberikan tambahan SDM agar pelayanan labroatorium semakin baik, tetapi sampai sekarang janji itu hanya terealisasikan dibibir saja.

Indira menghadapkan wajanya ke arah kamera. Lantas suara wanita dewasa yang sedikit cempreng menggema mengucapkan ‘Ok’. Lalu Indira pun bergeser memberikan ruang kepada Ning untuk mengabsen.

Suara kasak kusuk terdengar dari arah belakang yang membuat mereka pun sontak menoleh. Para pegawai lain semuanya mematung saat melihat pegawai baru—menurut Ning, karena ia baru melihat wajahnya dan sekaligus seragam yang berbeda dari pegawai di sini yang membuat Ning semakin yakin bahwa gadis di depannya itu adalah pegawai baru. Tapi Ning belum tahu, dia bekerja di unit yang mana.

Semua orang mempersilahkan dia untuk absen terlebih dahulu meski ia datangnya belakangan. Wajah ayunya dengan cepat dideteksi oleh perekam wajah.

Tanpa sadar Ning pun melongo melihat kecantikan pegawai baru ini.

Ternyata gini ya punya privillage wajah cantik. Jangankan manusia, mesin aja tahu siapa yang cantik.

Ning baru tahu kalau pegawai baru ini bernama Namir. Ia tidak sengaja membaca pada mesin absen saat gadis itu selesai mengabsen. Senyum gadis itu memang menawan, apalagi dengan gigi gingsul yang mengembul malu-malu, membuat gadis itu semakin manis. Ahhh Ning sebagai sesama gender aja senang melihat gadis itu, apalagi kalau lawan jenis.

Jika bisa diibaratkan dalam anime­ yang sering ia tonton, bola mata para pria yang melihat Namir tersenyum pasti akan dipenuhi dengan lambang hati berwarna merah.

“Permisi…” Namir tersenyum simpul sesaat lantas berlalu pergi. Para pria yang melihat senyuman itu pun menggigit jari karena terpukau oleh kecantikan gadis itu. Beberapa diantaranya sampai memegang dada kiri mereka untuk memastikan keadaan jantung mereka.

“Kenalin dong…. Itu bidan UGD. Maskot UGD kita yang baru sekaligus maskot rumah sakit.” Diran, yang entah darimana datangnya berkomentar.  Nada suaranya terdengar bangga ketika mengucapkan maskot UGD. Maklum saja, unit UGD dan rawat inap sering sekali beradu argumen ketika memilih maskot rumah sakit.

Asal kalian tahu saja, di rumah sakit ini unit UGD dan Unit rawat inap adalah unit yang sama-sama tidak mau mengalah. Ibarat pertandingan, mereka adalah lawan yang berimbang. Mungkin ini disebabkan karena dua unit ini adalah unit central, selain unit unit yang lain.  

“Alah…. Paling kalau ada mutasi pegawai, dia bakalan dibawa ke unit rawat inap,” cibir Indira.

Benar atau tidak, tetapi mitos yang berkembang di rumah sakit ini jika bidan atau perawat perempuan yang memiliki paras yang menawan, cepat atau lambat ia akan dipindahkan ke bagian rawat inap.

Tak terima, Diran pun menyikut lengan Indira pelan, “IRI??? Bilang boss!!!!” yang dihadiahi delikan tajam Indira.

“Lo kok tahu dia kerja di UGD?” tanya Ning polos. Tatapannya belum beralih dari Langkah Namir yang semakin menjauhi mereka.

Dengan cengiran kudanya Diran berujar, “Biasalaaahhhh….Apasih yang gue gak tahu? Lo lupa kalau gue juga bagian dari unit UGD? Lo lupa kalau frontline UGD itu gue?” Pria plontos itu mengencangkan kerah bajunya sombong.

“Udah lo apain aja tuh bocah?” tanya Indira.

Diran dengan mata yang dibuat berkaca-kaca, seolah-olah tersakiti oleh ucapan Indira berkata, “Singkirkan pikiran kotor itu dari otak lo!!!  Gue gak ngapa-ngapain anak orang ya, palingan cuma kenalan, minta nomor sama ajak makan doang.”  Diran menaik turunkan alisnya.

Indira memutar bola matanya bosan, “sok kecakepan. Bilang aja dia mau cari muka. Dasar ganjen. Para pria di sini pada katarak kali matanya ya, gak bisa bedain mana cantik alami sama cantik dempulan.” Protes Indira sesaat setelah melihat Namir.

“Dia cantik kok.” Ujar Ning  membenarkan.

“Lo lihat nggak matanya make softlense? Gadis yang hobbynya gonta-ganti softlense lo bilang cantik? Mata udah mirip mata kucing gitu dibilang manis,”

“Lo kok sotoy banget sih,” Sungut Diran. Ning pun mengiyakan. “Lo kenapa sih In? sensi banget pagi-pagi. Bisa jadi dia minus, makanya make  softlense.” Mereka bertiga kini berjalan di koridor rumah sakit. Sesekali bertemu dengan petugas kebersihan yang sedang menyapu ataupun mengepel lantai. Mereka pun berjalan dengan sedikit berjinjit sambil meminta maaf karena sudah mengotori lantai yang sudah dibersihkan.

“Alah… paling itu softlense buat gaya-gayaan doang.” Gemas Indira.

“Gue heran deh, lo kayaknya gak suka banget sama Namir.”

"Perempuan sok kecantikan gitu maah emang pantes kali buat gak disukain. Ihh malas gila! Gue denger ya dari pegawai UGD lain, si Namir itu kalau selfie, pose nya selalu aja seperti ini." Indira menirukan gaya andalan Namir yang selalu melipat kedua lipatan bibirnya ke dalam. "Atau nggak yang kayak gini." Indira menengok kesamping. Kedua kakinya dilebarkan sedikit lalu tangan kanan ditekuk lantas memegang tangan yang lagi satu.

"Jijik banget kan?"

"Setiap perempuan bebas untuk mengeskpresikan kecantikan mereka, In. Dan menurut gue, itu sah-sah aja. Semua perempuan itu cantik. Lo cantik, Namir juga. Pernah denger ungkapan when you look good, you feel good nggak? dalam artian, kalau lo udah ngerasa diri lo cantik apalagi paripurna maka otomatis lo bakalan happy. Melempeng aja gitu lo. Sama seperti Namir, kalau dengan pose kayak gitu ia merasa cantik, ia merasa happy yaa wajar aja sih." Kata Ning mencoba meredam emosi sahabatnya ini yang entah darimana datangnya.

Indira terdiam, ia masih sibuk menyimak meski gadis itu mengerucutkan bibirnya.

"Btw, bukankah lo juga sama ya In? tiap mau selfie, kamera HP pasti lo angkat tinggi-tinggi, biar keliatan kurus. Ngaku aja deh sama gue."

Wajah Indira memerah, "DIRANNNNNN!!! Lo tuh temen gue apa bukan sih? Dari tadi Namir aja yang dibela. Ihh gue sebel dengan kalian berdua. TITIK enggak pake koma. Gue ngomong ini pake tanda seru yang banyak." Rungut Indira lantas menghentakkan kakinya berkali-kali. Tanpa mengajak Ning, gadis itu pergi sendiri menuju laboratorium.

"IN... lah, tuh anak kok jadi ngambek sih. Wooeeyyy!!! Tungguin gue,"

Mereka bertiga pun berpisah di ujung koridor. Diran berbelok ke kanan sedangkan Ning berlari menyusul Indira yang merajuk.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status