Share

JOMLO? SO WHAT!

Cantik? Iya! Pinter? Oh jelas! Mandiri, suka menabung, gak jajan sembarangan dan yang paling penting itu gak julid yessss…jeng! Jeng! jeng! Tapi kok jomlo? – Indira Prameswari to Adeninggar Khalia Audrey

***************

Ning sedang sibuk menyalin angka demi angka dari kertas yang berisi hasil pemeriksaan darah lengkap pasien di buku hasil. Kertas tersebut nantinya akan diberikan kepada dokter jaga di unit UGD, atau perawat di bagian rawat inap. Proses menyalin ini dimaksudkan agar nanti jika sewaktu-waktu dokter atau pihak terkait menanyakan hasilnya kembali maka akan mudah untuk ditemukan. Penyalinan ini juga mempermudah  para analis untuk ikut merekam atau memantau jejak medis pasien seperti pada pasien yang mengalami penyakit demam berdarah dengue yang setiap hari harus dilakukan pengecekan kadar trombosit nya. Penyalinan hasil ini tidak hanya dilakukan untuk pemeriksaan darah lengkap saja, setiap pemeriksaan yang dilaksanakan di laboratorium patologi klinik wajib memiliki buku hasil pemeriksaan.  

“Ning… sorry banget yaa kemarin, gue kepikiran banget sama lo sepanjang perjalanan tau nggak! Sampe-sampe Rizal ngambek-ngambek gak jelas dan ngancem gak jadi ngedate kalau gue bawaan khawatiran mulu sama kamu. Kan sebel Ning! Rizal tu yaa, bener-bener gak peka banget kalau gue sebagai the one and only sahabat lo tuu khawatir tingkat RT.” Keluh Indira.

Indira sibuk mengambil tabung EDTA yang berisi darah pasien di atas roller. Tabung EDTA berwarna ungu. Fungsi pengisian EDTA adalah sebagai antikoagulan atau anti menggumpal. Darah pasien yang berada di dalam tabung ungu itu kemudian akan diperiksa di alat bernama hematology analyzer.  Di alat tersebut, Indira mengetik nama pasien, umur, jenis kelamin, nomor medis serta dari ruangan mana pasien itu berasal. Setelah mengklik tombol ‘ok’ darah di tabung itu diarahkan ke benda panjang pipih berwarna mengkilap yang sering disebut dengan jarum. Alih-alih runcing, jarum itu justru tumpul dan berlubang di bawahnya. Jarum tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabung EDTA. Setelah diyakini menyentuh dasar tabung lalu tombol yang berada di belakang jarum itu diklik. Jarum pun menghisap darah dan membiarkan alat menghitung.

“lo denger gue gak sih Ning?” protes Indira ketika tidak mendengar sepatah katapun keluar dari sahabatnya itu. Ia berbalik badan untuk mengecek kondisi sahabatnya itu sambil menyerahkan hasil pemeriksaan darah lengkap pasien untuk disalin.

“Iy-iya gue denger. Bawel ih! Gimana Reza gak sebel kalau punya pacar bawel kayak lo. Gini nih…kebanyakan nonton sinetron ku menangis, jadinya over drama! Gue bukan anak kecil yang harus lo khawatirin. Kayak tumben aja sih lo ninggalin gue pulang sendiri.” Ning mencibir sahabatnya itu yang langsung dihadiahi pelototan tajam.

"Gue kemarin gak pulang sendiri kok." Aku Ning. Perhatiannya masih tertuju pada lembaran putih yang dipegangnya sedangkan tangan kanannya terasa kebas dan kesemutan karena daritadi menulis tanpa henti.

"Trus?"

"Gue dijebak Diran. Dan berakhir pulang bersama cecurut itu."

Lagi-lagi Indira berbalik. Wajahnya sumringah dan bola matanya membesar. "Serius??? Demi apa lo???" meski bibirnya sibuk berbincang, tapi tangan Indira tetap sibuk mengambil tabung EDTA berisi darah di atas roller lalu mengarahkannya ke alat. Mereka berbincang ketika pemeriksaan laboratorium tidak begitu banyak.  Apabila pemeriksaan laboratorium banyak dan datang dari berbagai unit seperti UGD, rawat inap, ruang bersalin ataupun rawat jalan, jangankan mengobrol, makanpun bisa tak sempat. Karena pekerjaan ini memang butuh fokus yang luar biasa. Maka dari itu, penting sekali bagi mereka untuk sarapan sebelum bekerja.

"Demi Vincenzo Cassano yang udah tamat minggu lalu." Ujar Ning gregetan. "Duh... gue masih gak rela banget drama abang duda tamat."

"Trus...trus... bagaimana ceritanya lo dijebak sama Diran?" Bagi Indira, Diran lebih menarik dari abang duda tampan yang selalu disebut-sebut oleh Ning beberapa bulan ke belakang, karena sejujurnya Indira memang tidak terlalu suka dengan drama Korea. Naah kalua ditanya soal Hritik Roshan, Shaheer Sheikh atau Sidharth Malhotra Indira sambil tutup mata pasti bisa jawab. Its so easy peasy, man!

"Lo kayak gak tau aja, si curut itu kan selalu tau kelemahan gue." Ning mencebik.

Indira tertawa sambil menepuk-nepuk tangannya. "Lo masih aja mau dikibulin. Emang mau ke resto mahal mana lagi sih yang mau kalian kunjungi, hm? Ujung-ujungnya nyasar ke warung lalapan."

Ning mengerucutkan bibirnya dan menyesal telah membicarakan hal ini kepada Indira.

"Tapi syukur sih kalau lo kemarin pulang sama Diran, jadi gue gak nyesel ngebiarin lo pulang sendirian.”

“Kayaknya lo harus cari pacar deh, Ning. Biar ada gitu yang antar jemput lo saat lo capek kayak kemarin. Jangan abang duda tampan aja yang lo kecengin! Ingat yaaaa…. dia gak bakalan tahu lo itu mengirup udara yang sama dengan dia,”

Ning memutar bola matanya bosan.

“Atau lo pepetin aja si Diran gimana?”

"Apaan sihh!!!" Jika saja Ning tidak memakai handscoon saat ini, dia sudah menjitak kepala Indira agar otaknya kembali ke jalan yang benar.

"Lagian apa sih kurangnya Diran, Ning? Cakep iya, body goal, gue rasa dia juga tipe lelaki yang bertanggungjawab. Apalagi kita udah kenal dia dari lama. Dia juga sahabat kita. Jadinya bisa ngerti lo luar dalam. Coba aja gue masih jomlo, dari dulu udah gue embat tu sih Diran."

Ning menghela nafas. Alih-alih menjawab dia malah menyibukkan diri dengan mengecap semua hasil pemeriksaan dan memberikannya kepada Indira untuk ditandatangani selaku pemeriksa.

"Karena dia bukan tipe lo? Atau karena dia playboy?" Indira menebak apa yang ada di kepala Ning.

"No Comment..." Ning membuat gerakan mengunci bibir dengan tangannya.

Ia berjalan menuju pintu ruangan. "Tipe cowok ideal gue ya kayak pak Yoga nih! Pak... Indira katanya naksir loo sama bapak." Ning menjulurkan lidahnya ke Indira lantas kabur membawa kertas hasil pemeriksaan yang sudah ditandatangani oleh Indira dan selanjutnya menuju ruangan sebelah untuk meminta tanda tangan dokter spesialis patologi klinik.

"AWASS KAMU YA NING!!!" Indira mengepalkan tangannya ingin mengejar sahabatnya itu. Namun niatan itu harus pupus ketika pak Yoga datang membawa beberapa tabung darah yang harus segera di periksa.

"Katanya Ning, kamu suka sama ya? Ya sudah kalau gitu ayo kita sahkan sekarang. Saya penuhi semua keinginan kamu." Ucap pak Yoga dengan logat Lomboknya yang khas.

"Bapak mau ngajak saya ke KUA? Benerin dulu tu wajah, bila perlu operasi plastik pak biar mirip Brad pitt baru saya mau." Indira mengibaskan tangannya agar pak Yoga segera angkat kaki dari ruangan.

"Ihh... amit-amit deh kalau gue beneran suka sama tu orang. Bisa runtuh nih langit dan bumi kalau itu bakalan terjadi, eeuuuww" Ia bergedik ngeri.

Pak Yoga adalah seorang laboran senior yang terkenal dan masih melajang diusianya yang hampir mencapai kepala 4. Menurut penuturannya ia sempat menikah, tetapi pernikahannya tidak sampai seumur jagung karena si cewek kabur bersama pria lain. Semua orang tidak ada yang percaya karena ia seorang pembual. Sikap percaya diri atas ketampanannya yang sudah melebihi level kronis membuat semua wanita seantero rumah sakit menjadi ilfiil. Tidak ada satu wanita pun yang luput dari rayuan dia. Dari dokter spesialis hingga cleaning servise pun pernah sesekali mendapatkan coklat darinya. Aneh memang, tapi selama ini Ning tidak mengambil pusing dengan semua rayuan gombal yang pernah dilontarkan pak Yoga kepadanya. Malahan sesekali Ning pernah curhat dengan pak Yoga mengenai masalah yang ia alami. Menurut Ning, terkadang jika mood dan isi otak pak Yoga dalam keadaan baik dan tidak bermasalah, pak Yoga akan memberikan solusi yang dirasa Ning masuk akal. Namun jika sudah dalam mode kongslet, Ning akan menganggap semua itu hanya angin lalu.

Yang disukai Ning dari pak Yoga adalah lelaki berjidat lebar itu tidak pernah sama sekali melakukan kontak fisik terhadap perempuan yang sedang dirayunya. Berbeda sekali dengan salah satu pejabat di rumah sakit ini. Lelaki bertubuh gempal itu sering sekali dengan sengaja menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk melakukan kontak fisik. Entah itu kontak fisik berupa pegangan tangan ataupun memijat pundak beberapa bidan atau perawat yang menurutnya cantik. Bidan atau perawat itu pasti risih, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karena sekali lagi, jabatan dan kekuasaan yang mendominasi. Miris dan Ning tak menyukai itu.

************

Ning dan Indira kini sedang menunggu makanan yang telah mereka pesan di sebuah resto dekat rumah sakit tempat mereka bekerja. Shift telah berganti dan mereka tidak punya tenaga lagi untuk berdebat memilih tempat makan yang enak dan cozy. Karena  setelah makan siang ini mereka akan melanjutkan rencana untuk shopping dan juga nonton film. Ya sekedar untuk melepas penat dari rutinitas kerja mereka yang padat. Mereka tidak ingin gila kerja. Mereka juga tidak ingin terlihat tua dari umur karena stress akibat bekerja bagai kuda.

Ning memesan nasi campur, minumannya segelas jus jeruk untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Sedangkan Indiria memesan makanan yang praktis—nasi goreng seafood ditambah es teller dengan topping keju dan coklat.

                                                                        

Hari terasa panas dengan angin kering yang berhembus. Indira selalu membawa sebotol vitamin di dalam tasnya. Ia akan meminumnya setelah makan nanti. Musim pancaroba sengat rentan untuk jatuh sakit.

Sambil menunggu makanan mereka datang, Indira berinisiatif untuk memulai perbincangan. Entah mengapa topik ini bergeriliya terus di kepalanya dari tadi pagi.  Sebelum memulai perbincangan, ia berdehem bermaksud untuk melegakan tenggorokannya. Entah mengapa topik ini dirasa sangat sensitif untuk ia tanyakan kepada Ning, meskipun ia dan gadis itu sudah berteman cukup lama.

“Ning…. Lo gak capek sendiri?”

Pertanyaan Indira membuat Ning bingung. Gadis itu sampai mengerutkan keningnya mempertanyakan kejelasan dari pertanyaan absurd temannya itu.

“Maksud gue… lo gak capek gitu jomlo?”

Seketika itu Ning tertawa terbahak-bahak. Untung saja di mulutnya nggak ada minuman, kalau iya sudah pasti wajah Indira  yang jadi sasaran empuk.

"Gue gak maksud menggurui elo sih Ning, tapi gue harap elo harus cepet-cepet move on dan segera membuka hati lo." Tatapan Indira memohon. Ia mengusap-ngusap punggung tangan Ning dengan kedua tangannya.

"Oh come on In, gue udah move on." Ning mengukir senyum di bibirnya. "Bahkan udah dari setahun yang lalu. Lo kan juga tahu itu."

"Lantas mengapa sampai sekarang lo gak punya tambatan hati atau sekedar gebetan, hm? Sumpah yaa!! Gue gemesh banget sama lo, tau nggak."

"Indira sayang," panggil Ning gemas. Ia menangkup kedua pipi chubby sahabatnya itu dengan kedua tangan. "Move on itu tidak harus dibarometerkan dengan punya gebetan atau pacar baru. Dunia nggak sesempit itu, In. Justru, menurut gue ya, move on itu berarti kita ikhlas menerima kenyataan yang sudah terjadi. Membebaskan orang yang kita cintai dan yang terpenting saat kita mengingat dia lagi, tidak ada perasaan sakit hati."

"I'm happy for my life, In. Gue bebas melakukan apapun hal yang gue sukai. Fangirling sampai subuh pun, gue jabanin. Hobby gue pun tetep jalan tanpa perlu gue harus laporan kesiapa-siapa."

"Lo nyidir gue?" Indria menatap Ning dengan tatapan merajuk.

"Canda keles... sensi amat sih lo jadi cewek."

"Tapi Ning, gue mau lo membuka hati lo. Gue lihat lo seolah-olah menutup hati dari kaum bernama adam." Indira mengaduk-ngaduk es telernya, mencari beberapa potongan alpokat—buah kesukaannya.

"Gue gak menutup diri kok! Gue mau berteman dengan siapa saja." Kali ini Ning yang menyeruput jus jeruk dari gelasnya.

"Kalau gitu gue bakalan ngenalin lo sama temen SMA gue. Dan plis lo gak boleh nolak, oke!"

Ning menghela nafas tanda menyerah. "Oke, fine."

Indira sumringah. "Gitu dong... baru namanya sahabatnya Indira. Ntar gue kasi kontak lo ke dia. Lo harus make up an yang cantik ya kalau ketemu dia."

Ning berdecak. "Siap, madam!" ucapnya memberikan tanda hormat seperti saat sedang mengikuti upacara bendara saat sekolah dulu.

"Tapi In... ngomong-ngomong emang gue sengenes itu yaa jadi jomlo?" tanya Ning lagi.

Indira meletakkan ibu jari dan telunjukknya dibawah dagu—melakukan pose berpikir lantas menggelengkan kepalanya. "Malahan gue salut banget sama lo, Ning. Lo adalah satu-satunya temen dari sekian temen gue yang happy dan baik-baik saja dengan status jomlo lo." Indira nyengir kuda.

"Ya elah! Status jomlo mah nggak bikin gue mati juga kalik." Ning memberengut.

"Tapi, kalau datang sendiri ke nikahan temen dengan status masih jomlo berani kagak lo?"

Wajah Ning langsung berubah masam. Sedangkan Indira tertawa terbahak-bahak mendeklarasikan kemenangannya karena telah membungkam Ning dengan telak.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status