Keesokan harinya, Agatha bangun tidur saat seluruh cahaya matahari memasuki kamar tidurnya. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan kemarin, Agatha memilih untuk merendam dirinya di bathtub berisi air hangat yang telah ia siapkan.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Agatha melangkahkan kakinya keluar kamar menuju dapur, perutnya sudah begitu lapar karena sejak semalam ia tidak makan dan langsung istirahat.
Agatha membuka semua lemari dan isi kulkas yang telah terisi penuh dengan beberapa bahan masakan, makanan ringan, dan buah-buahan. Agatha menghela nafas lalu mengambil satu buah apel dan mencucinya.
Ia melangkah menuju meja makan dan melihat beberapa makanan yang tersaji, tetapi sudah dingin. Sepertinya ada seseorang menyiapkan makanan itu untuknya. Agatha mengedarkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari keberadaan seseorang di dalam apartemen itu.
Tak lama, terdengar suara khas pintu apartemen yang dibuka. Agatha sudah bersiap menunggu orang tersebut sambil memegang sapu yang berada di dekat pintu.
Sementara, David tampak menyembunyikan keterkejutannya saat Agatha hendak memukulnya.
“Jadi, itu kamu,” ujar Agatha kepada David.
David hanya menatap Agatha dengan wajah kakunya, “Bos menyuruh saya untuk memeriksa keadaan anda,” kata David sambil melirik ke arah meja makan.
“Panggil saja saya Aga … Adiva maksudnya.” Agatha langsung menutup mulutnya yang hampir keceplosan. Untung saja David tidak menyadarinya.
“Satu lagi, saya bukan anak kecil yang harus Bos kamu periksa setiap harinya,” lanjut Agatha dengan kesal.
“Saya hanya melaksanakan perintah,” sahut David dengan santainya.
Agatha memutar matanya, malas menghadapi manusia kaku di hadapannya. “Makanan itu kamu juga yang siapkan?” tanya Agatha kemudian.
“Bukan! tadi Bos yang siapkan. Dia sempat mampir ke sini, ia menyampaikan tidak mau mengganggu tidur anda.
Agatha sepertinya pasrah akan sikap David yang lebih tampak seperti robot. “Kalau begitu, Rafka dimana sekarang?”
“Saya tidak tahu, Bos hanya bilang sedang ada urusan dan akan menghubungi anda nanti,” jawab David.
“Berapa orang yang bisa masuk apartemen ini?”
Seperti mengerti maksud Agatha David langsung menjelaskan, “maaf karena saya masuk begitu saja, sebelumnya saya sudah memencet bel dan menelpon, tetapi anda tidak menjawabnya. Jadi, saya memutuskan untuk masuk. Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Agatha tertawa mendengar ucapan David. “Santai saja, kamu mau masuk kapanpun silahkan! Saya tidak akan melarangnya. Lagipula saya bosan sekali hanya sendiri di sini.”
David menatap Agatha dengan aneh, gadis di hadapannya sangat berbeda dengan Adiva yang ia kenal, bukankah baru dua bulan lalu ia menemui Adiva, tetapi sikap gadis ini tampak sangat berbeda dari Adiva yang ia kenal.
David segera menepis pikiran anehnya tentang sikap aneh dan mencurigakan dari gadis di hadapannya ini. “Halo, apakah ada orang?” tanya Agatha sambil melambaikan tangannya di depan wajah David karena pria itu hanya menatapnya sejak tadi.
Suara perut Agatha yang berbunyi memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
“Saya lapar, kamu sudah makan?” tanya Agatha kepada David.
Sementara, David masih terdiam. “Halo, apa kamu sudah makan?” Agatha sedikit mengeraskan suaranya.
“Maaf, saya harus kembali bekerja,” jawab David yang langsung pergi meninggalkan Agatha sendiri.
Dasar pria aneh
Agatha segera kembali ke dapur untuk memanaskan makanan yang telah Rafka buatkan untuknya. Agatha tampak sesekali tersenyum, gadis itu kembali membayangkan sikap manis Rafka saat di dekatnya.
Sambil menunggu makanannya, Agatha masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya. Ia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari David dan juga Rafka.
Akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Rafka kembali. “Halo,” sapa seorang wanita.
Agatha hanya terdiam sampai gadis itu mematikan ponselnya dengan kesal karena Agatha tidak menjawabnya. Agatha berpikir sejenak, lalu ia kembali teringat akan seorang wanita yang memeluk Rafka di bandara.
Kalau selama ini Rafka begitu mencintai Adiva. Lalu siapa wanita yang sedang bersamanya? Mungkinkah itu adiknya? semua pertanyaan tentang Rafka dan gadis itu langsung memenuhi pikiran Agatha.
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di