Share

Pacar Khayalan
Pacar Khayalan
Penulis: Iik Aria

Orion

Bab 1

Semilir angin pantai menerbangkan rambut gadis yang tengah berjalan di bibir pantai, wajah cantiknya terlihat pucat. Bibirnya yang tipis bergetar.

Gadis itu berhenti, lalu menatap ke arah laut lepas. Di ujung sana tampak matahari separuh tenggelam, sebentar lagi senja akan berganti malam. Gadis itu mengusap matanya yang basah, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu mengenai bahunya. 

Refleks gadis itu menoleh, ia terkesiap saat melihat ke belakang. Di sebuah warung es kelapa yang sudah tutup, berdiri seorang lelaki tinggi menjulang.

"Hai," sapa lelaki itu sambil menyunggingkan senyum. Giginya yang putih terlihat rapi. 

Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan, suasana di sekitarnya sudah sepi. Kini ia merasa takut, sendirian di tepi pantai. Dengan lelaki yang tidak dia kenal. Gadis itu mundur selangkah, kemudian berbalik lalu berlari menjauh. 

"Hei, aku cuma mau kenalan," teriak si lelaki sambil berusaha mengejar gadis itu. 

Gadis itu terus berlari menuju jalan besar. Beberapa pemilik warung yang tengah membereskan dagangannya, menatap gadis bernama Ariela itu dengan pandangan aneh. 

Ariela menoleh ke belakang, lalu berhenti saat mengetahui lelaki tadi tidak mengejar. Ia berdiri sejenak di pinggir jalan, menoleh sekali lagi untuk memastikan. 

 

Gadis itu menyebrang jalan, bertepatan dengan lampu yang menyala. Hari mulai gelap, Ariela berjalan dengan perlahan menuju gang yang berada di samping sebuah resort sederhana. 

"Rie, kamu kenapa keringatan. Kayak orang habis berlari," sapa Bundanya saat melihat anak gadisnya itu membuka pintu. 

"Gak papa, Bun," jawabnya singkat. Gadis itu tidak akan mengaku, kalau dia baru saja dikejar seorang lelaki. Bundanya bisa sangat histeris, bila mengetahui hal itu. 

"Ya, sudah mandi sana," perintah wanita berusia hampir empat puluhan itu. Ia menatap punggung Ariela yang berjalan membelakanginya, hati kecilnya tidak percaya dengan jawaban anak gadisnya itu. 

Ariela bergerak-gerak gelisah, matanya terpejam erat. Selimut yang menutupi tubuhnya terjatuh ke lantai, gadis itu menggapai-gapaikan tangannya seperti orang tenggelam. 

Dalam tidurnya gadis itu bermimpi, ia melihat Willy kekasihnya tengah berdiri berdampingan dengan seorang gadis. Mereka bertiga berada di sebuah tepi jurang.

Gadis di samping Willy menatap Rie sinis, tampak jelas di matanya ia mengajak bermusuhan. Bibirnya yang tebal menyinggung senyum miring, gadis itu mendekat ke arah Rie lalu mendorong tubuhnya.

Rie berteriak di dalam tidurnya, membangunkan kedua orang tuanya yang tidur di kamar sebelah. Mereka bergegas menuju kamar Rie.

"Ariela kamu kenapa?" tanya sang Bunda. Wajahnya terlihat panik, sementara Pak Wirya ayah dari Rie hanya berdiri di pinggir ranjang. 

"Gak papa, Bun," kilah gadis itu. Keringat membasahi kening dan lehernya, dadanya turun naik.

"Ada apa, Sayang cerita sama Bunda. Kamu selalu aja bilang gak papa," lirih wanita itu. 

"Aku hanya mimpi buruk," jelas Rie mengalah. Bundanya itu tidak akan berhenti, sebelum anak gadisnya membei jawaban yang memuaskan. 

"Lebih baik kamu ambil minum, Bun," perintah Pak Wirya pada istrinya. Wanita itu bangkit, lalu berjalan menuju dapur. 

Pak Wirya mendekat lantas melingkarkan tangannya di bahu anak gadisnya. Ariela membalasnya dengan melingkarkan tangannya di pinggang pria itu, ia merasa sangat nyaman berada dalam dekapan sang ayah. 

"Sudah tidak apa-apa," ucapnya sambil menepuk-nepuk bahu Ariela, berusaha menguatkan. 

"Ini, Sayang minum dulu." Bu Ratih masuk sambil membawa segelas air. Ariela meneguk sedikit isi gelas, lalu menaruhnya di nakas. 

"Aku sudah gak papa," bisiknya sambil berusaha tersenyum.

"Are you sure," tanya ayahnya.

Gadis itu hanya mengangguk, lantas melepas pelukannya. Pak Wirya mengecup kening gadis itu sekilas, lalu menarik tangan istrinya keluar kamar. 

*****

"Mau ke mana, Rie?" Wanita berusia empat puluhan itu, menatap anak gadisnya yang tengah memakai sepatu.

"Rie! Bunda nanya?" Suaranya naik setengah oktaf.

Gadis itu masih asyik mengikat sepatu, mengindahkan pertanyaan sang bunda. Selesai merapikan tali-tali berwarna pink, Rie bangkit lalu berjalan menuju pintu.

"Mau ke pantai, Bun," jawabnya singkat seraya menutup pintu.

Bunda mengembuskan napas, bingung melihat anak gadisnya yang berubah menjadi tertutup. Selama ini Rie memang agak pendiam, tapi masih bisa diajak bicara.

Gadis itu menyusuri pinggir pantai, dengan langkah pelan sambil menundukkan wajah. Di sebelah barat langit mulai berwarna oranye, senja sebentar lagi tiba. 

Gadis berhenti di sebuah kedai es kelapa muda yang sudah tutup, duduk di bangku panjang dari kayu. Di bawah payung besar berwarna merah putih.

Langit perlahan menggelap, Rie menatap pantai yang ada di hadapannya yang kini tampak berwarna hitam. Hanya terdengar suara debur ombak, mengiringi isakan gadis itu. 

Lampu Mercu suar menyala, bertepatan dengan sebuah tepukan pelan di bahu gadis itu. Sontak ia menoleh, dan terpana saat melihat dari dekat lelaki yang kemarin memanggilnya.

 Badannya kurus tinggi, celana cokelat dan kemeja lengan panjang yang dipakainya. Membuat sosok itu semakin menjulang, dengan rambut lurus belah tengah berwarna tembaga. 

"Hai, ngapain malam-malam duduk di sini sendirian?" tanyanya. 

Badan Rie terasa kaku, ketika lelaki itu mendekat. Ia ingin sekali berteriak, tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan. 

"Gak usah takut, aku hanya ingin kenalan. Namaku Orion." Suaranya terdengar lembut. Kemudian lelaki itu menjulurkan tangannya.

"A … Ariela," ucap Rie terbata. Kemudian menjabat tangan lelaki itu, dengan sedikit gemetar.  

"Kamu belum jawab pertanyaanku?" tanyanya lagi. 

"Pertanyaan yang mana?" jawab Rie sambil beringsut ke pinggir, saat Orion duduk di sebelahnya. 

"Tenang aku gak makan orang, kok," candanya lalu lelaki itu tergelak. 

"Ngapain kamu di sini sendirian?"  ulang lelaki itu sambil menyugar rambutnya. 

"Numpang nangis?" tuduh Orion.

"Enggak," jawab Rie cepat, sambil menyeka mata dengan punggung tangan. Kemudian tersenyum tipis.

"Gak usah pura-pura, aku udah liat tadi. Kenapa kamu nangis?" cecarnya. Gadis itu hanya mengangkat bahu, enggan menjawab pertanyaan Orion.

"Kamu tinggal di mana?" Kali ini Rie yang bertanya, setelah beberapa lama mereka terdiam. Rasa takut yang menyelimuti gadis itu, perlahan mulai menghilang. 

"Di hatimu," goda Orion sambil tersenyum lebar. Rie mencebikkan bibir mendengar jawaban lelaki itu.

Lagi mereka terdiam, pandangan mata Orion lurus ke depan. Rie mencuri pandang lewat lirikan mata, pikirannya dipenuhi tanda tanya siapa lelaki ini, ia tidak pernah melihatnya. 

Rie besar di kota ini, walaupun jarang keluar tapi ia bisa mengenali penduduk asli di sekitar sini. Apa jangan-jangan lelaki itu salah satu pelancong yang tengah berlibur.

Karena di kotanya tidak ada yang memiliki kulit putih seperti itu, dengan mata sipit berwarna saphire. Rahangnya tirus, dengan hidung mancung dan bibir tipis merah alami. Orion terlihat sangat tampan.

"Aku harus pergi," ucap Orion kemudian bangkit dari bangku. Mengagetkan Rie, yang masih terpesona. 

"Ah, iya. Sudah malam, aku juga mau pulang." 

"Mau aku antar," tawarnya.

"Gak perlu, aku bisa sendiri," tolak gadis itu. 

"Ya, sudah,"  ujar lelaki itu lalu melambaikan tangan, berjalan menjauhi Rie.

"Besok kita ketemu lagi, ya," seru Orion suaranya yang lembut, tertelan debur ombak kemudian hilang di gelap malam. 

****

Esok harinya Rie bangun terlambat, sudah beberapa hari ini ia selalu tidur di atas jam satu dini hari. Perasaan sesak di dadanya membuat gadis itu, susah memejamkan mata.

Berkali-kali ia berusaha melupakan peristiwa itu, tapi tidak bisa. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu hanya bisa menangis karena sedih berkepanjangan.

Rie bangkit dengan perlahan, sambil memijat pelan pelipisnya yang terasa berdenyut. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin, matanya mulai menghitam. Dan pipinya terlihat semakin tirus. 

"Rie, bangun sarapan dulu!" Suara Bunda memanggilnya dari lantai bawah. 

Ia segera keluar dari kamar, menuruni anak tangga menuju ruang tengah tempat meja makan berada. Ayah dan bundanya sudah duduk di sana, gadis itu bergegas ke toilet untuk cuci muka dan gosok gigi.

"Mau apa, Sayang?" tanya Bunda ketika Rie sudah duduk di kursi dengan sandaran bulat.

"Nasi goreng aja, Bun." Dengan sigap wanita itu, menaruh nasi ke piring. 

"Rie, kamu gak mau kuliah lagi?" Tiba-tiba Ayah bertanya dengan serius.

"Enggak," jawab Rie tegas.

"Kenapa, takut ketemu dengan mantan pacar kamu itu?" tanya ayahnya menyelidik. 

"Iya," ujar gadis itu datar. 

"Ayolah, Rie. Lupakan saja lelaki gak berguna itu, masa depan kamu lebih penting," desak Pak Wirya pada anak gadisnya. 

"Ayah, gak tahu apa yang aku rasakan," geram gadis itu, sambil menggenggam erat garpu di tangannya. 

Bunda yang melihat akan ada perang besar antara ayah dan anak, mengambil alih pembicaraan. Sebagai seorang wanita ia mengerti, apa yang dirasakan anaknya. Wanita itu juga marah, karena gadis kesayangannya dicampakkan begitu saja. 

"Ayah, biar aja Rie di rumah dulu untuk sementara. Kasih dia waktu buat mengatasi rasa sedihnya," tutur wanita itu.

"Sampai kapan, Bun. Ini sudah hampir satu bulan, dan Rie belum melupakan bocah sialan itu!" ucap Pak Wirya penuh emosi.

Tidak tahan mendengar ucapan ayahnya, Rie bangkit dari kursi kemudian berlari ke kamar. Ia menangis.

Tak lama pintu kamar terbuka, wanita tua itu masuk lalu duduk di pinggir ranjang. Melihat anaknya yang tengah terluka, membuat hatinya sedikit khawatir.

"Rie, sudah jangan nangis," ujarnya sambil mengelus rambut panjangnya. Gadis itu bangkit kemudian memeluk sang bunda.

"Aku belum bisa melupakannya, Bun," ucapnya dengan linangan air mata. 

"Iya, Sayang. Bunda ngerti, dia pacar sekaligus cinta pertama kamu. Pasti sakit rasanya ditinggal begitu saja." Dan suara tangisan Rie, terdengar semakin menyayat hati.

Wanita itu mengingat kejadian, beberapa Minggu yang lalu. Rie yang sedang kuliah di pusat kota, tiba-tiba pulang dengan mata sembap. Sebagai seorang ibu, ia dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi.

Ia menemui Rie di kamar, gadis itu bergeming hanya menangis tanpa berhenti. Ia tidak menjawab pertanyaannya, dan juga tidak mau bercerita apa yang menyebabkan ia seperti itu.

Gadis kecilnya itu memang pemalu, ruang lingkupnya pun terbatas. Ditambah ia anak semata wayang, membuat dirinya selalu dimanja. 

Ia hanya punya sedikit sahabat, dan berhubungan baik sampai sekarang. Rasa percaya dirinya yang rendah, membuat ia susah membuka diri. 

Gadis itu lebih sering berada di dalam rumah, berada dalam rasa nyaman yang diciptakan oleh orang tuanya. Sesekali ia juga keluar, pantai merupakan tempat favoritnya. 

Akhirnya sang bunda tahu apa yang terjadi dengan anak gadisnya, bukan dari mulut Rie. Tetapi hasil  bertanya dengan Iren, dan hati wanita tua itu hancur berkeping-keping. Saat mendengar penuturan teman satu kamar kost gadis itu. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status