Share

Terkuak

Bab 5

Wanita itu tercengang, rona wajahnya mendadak pias. Ia tidak menyangka ada seseorang yang menanyakan, tentang kondisi Ariela yang tidak biasa.

Davin merutuki kebodohannya, lelaki itu merasa sangat tidak enak terhadap Bu Ratih. Ini semua gara-gara keinginan tahuannya yang kelewat besar, akhirnya membuat, Bu Ratih tersinggung.

"Maaf, Tante," ucap lelaki muda berparas tampan itu tidak enak. 

Bu Ratih tidak menjawab, ia hanya menatap Davin dengan tatapan hampa. Lalu bergegas menyusul Ariela, yang sudah berjalan meninggalkan ibunya.

Di sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Bu Ratih merasa sangat gelisah. Batinnya bertanya-tanya, apa yang hendak ditanyakan Davin pasti soal Ariela.

Sesampainya di rumah wanita itu menunggu sampai Ariela naik ke atas, lantas menuju dapur di sana terdapat telepon yang menempel di dinding. Dengan gerakan cepat, ia menekan nomor telepon yang sudah dihapalnya.

Tidak butuh waktu lama, telepon langsung tersambung. Suara berat dan sedikit serak milik Davin, terdengar di ujung speaker. Membuat Bu Ratih sedikit ragu, ia termenung sambil menggenggam gagang telepon.

"Halo, halo," suara Davin terdengar tidak sabar.

"Kalau tidak mau bicara, saya tutup teleponnya," ucapnya menggertak.

"Ini saya, Ratih ibunya Ariela," sahutnya dengan suara pelan.

Mata wanita itu menatap nyalang, ke arah tangga. Ia khawatir jika sewaktu-waktu, gadis itu turun ke bawah dan mendengar percakapannya dengan Davin.

"Oh, Tante. Ada apa?"  tanyanya mendadak ramah. 

"Apa yang ingin kamu ketahui soal, Rie," ucap Bu Ratih dengan nada dingin.

"Ehm, itu …." Davin tiba-tiba tercekat,

Lidah lelaki itu mendadak kelu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. Davin berusaha menyusun kata, agar jawabannya tidak menyinggung perasaan Bu Ratih.

"Bunda," panggil Ariela sambil menuruni tangga.

Tanpa pamit Bu Ratih menaruh gagang di telepon di tempatnya, lalu berbalik menatap ke putri semata wayangnya.

Sementara di sana, Davin merasa bingung karena  Bu Ratih  mematikan sambungan. Padahal lelaki itu baru saja membuka mulutnya, untuk menjawab pertanyaan. Davin mengangkat bahunya sambil menaruh gagang telepon.

"Aneh," gumamnya.

"Apa yang aneh?"  tanya Mama Widi seraya memasuki ruang tengah.

"Ini tadi Tante Ratih telepon, aku belum jawab malah dimatiin," jelas lelaki yang mempunyai hobi tidur itu.

"Mungkin enggak sengaja," ucap Mama Widi berpikiran positif.

"Bisa jadi," sahut Davin cuek.

Lelaki yang memakai kaus berwarna hitam itu menyalakan televisi, sebuah acara muncul di layar kaca. Karena kurang menarik ia mengganti saluran, dan memencet remote dengan cepat. Mama Widi yang melihat hal itu mengerutkan dahinya.

"Rusak. Niat nonton enggak, sih," omel wanita itu pada anaknya.

"Ma, itu Ariela kenapa jadi pendiam, ya?" tanya Davin mnegorek informasi.

"Mama juga kurang tahu, yang pasti Ratih sangat sedih melihat perubahan anaknya."

Pikiran Mama Widi melayang ke beberapa bulan yang lalu, saat Bu Ratih mengambil pesanan souvernir untuk para pengunjung resort. Matanya sembab, dengan wajah pucat seperti kekurangan darah.

Mama Widi sempat bertanya, namun Bu Ratih hanya terisak sambil menyebut nama Ariela. Karena tidak tega, ibu dari Davin itu mengurungkan niatnya dan menenangkan sahabatnya itu.

"Ngapain nanya-nanya, kamu suka sama Rie, ya?" ledek Mama Widi sambil tersenyum menggoda, sedangkan di dalam hati wanita itu merasa sedikit risau.

Bukan ia tidak suka dengan Ariela. Gadis itu baik, dan juga pintar karena sejak SD sampai SMA ia selalu masuk sekolah favorit. Namun ia kurang suka dengan sifat Pak Wirya, lelaki itu memiliki perangai yang kurang bagus.

"Suka dan penasaran,"  jawab Davin dengan mata berbinar. "Aku belum pernah ketemu cewek kayak dia," jelasnya lagi sambil tiduran di karpet.

Mama Widi membisu. Anak lelakinya itu sudah besar, dan ia tidak mungkin bisa melarangnya untuk mendekati gadis itu. Wanita itu tahu betul sifat Davin, dan ia tidak ingin kehilangan anaknya lagi karena hanya masalah ini.

"Biarkan saja dulu, siapa tahu Davin, hanya sekadar suka," pikir Mama Widi dalam hati.

*****

Pukul empat sore terlihat Davin berdiri di belakang jendela ruang tamu, lelaki itu menatap lurus ke depan seperti sedang menunggu seseorang. Mama Widi hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingka aneh anak bujangnya.

"Nunggu, siapa?"

"Ah, Mama, bikin kaget aja," ucapnya sambil menoleh sekilas.

Lalu kembali fokus pada jalanan berbatu yang kosong. Tidak berapa lama kemudian, seorang gadis memakai kaus lengan pendek dan celana selutut melintas sambil menundukkan wajah. Davin mendekatkan mukanya sampai menyentuh kaca, untuk memastikan.

Benar itu Ariela. Dengan secepat kilat, lelaki itu memasukkan kakinya ke dalam slip on. Lalu mengempaskan pintu, dan berlari keluar. Membuat Mama Widi terkejut, dan tergopoh-gopoh mengejar anaknya.

"Davin, mau ke mana?" teriaknya.

"Pergi sebentar, Ma,"

Mama Widi berdiri sejenak di ambang pintu, sedetik kemudian ia membalikkan tubuh masuk ke dalam. Tanpa sepengetahuan wanita itu, Davin mengehentikan langkahnya. Kemudian berbalik arah, ia sempat mengintip dan bernapas lega saat melihat pintu rumahnya telah tertutup rapat.

Dengan langkah panjang dan tergesa, ia melintasi jalanan di depan rumahnya. Lalu berbelok ke kiri, ketika sampai di persimpangan. Davin menoleh ke kiri dan kanan, memandangi rumah yang berjajar rapi.

Langkahnya terhenti tepat di sebuah rumah minimalis, berwarna dasar putih dengan pot-pot berisi tanaman yang berbaris rapi. Dengan sedikit takut, lelaki berambut sebahu itu memberanikan diri  mengetuk pintu.

"Sebentar," ucap Bu Ratih dari balik pintu.

Wanita itu berjalan dengan cepat, sambil menerka siapa yang datang. Karena sejak Ariela kuliah di luar kota rumah itu sepi, dan sama sekali tidak ada yang berkunjung. Kecuali kerabat dan orang tua mereka, itu pun sangat jarang sekali.

Bu Ratih membuka pintu dan terkejut mendapati Davin sedang berdiri di sana, dengan wajah agak tegang namun tidak mengurangi kegagahannya. "Mau apa anak itu ke sini," pikirnya dalam hati.

"Selamat sore, Tante. Maaf, kalau mengganggu," sapanya sambil tersenyum sopan.

"Sore, Davin. Kamu sendiri?" tanya Bu Ratih sambil melongok ke belakang lelaki itu. Seperti mencari keberadaan orang lain.

"Iya, Tante."

Mereka terdiam beberapa saat, dan saling membisu.  Membuat Davin menggosok kakinya dengan sepatu, karena bingung harus memulai dari mana. Dengan sedikit canggung, akhirnya Davin memulai percakapan.

"Apa Ariela, ada di rumah?" tanyanya basa-basi, padahal tadi ia jelas melihat gadis itu berjalan ke pantai.

"Oh, Rie sedang keluar sepertinya ke pantai," jawab Bu Ratih, dengan wajah bingung memikirkan sesuatu.

"Davin, kenapa kamu ingin tahu soal, Rie," tanya Bu Ratih penasaran.

"Karena aku menyukainya," jawabnya dengan nada sungguh-sungguh.

Bu Ratih berjalan ke arah kursi teras, dan tanpa dipersilakan Davin mengikutinya. Wanita itu menoleh ke arah anak muda itu, lalu tersenyum getir.

"Setelah itu kamu pasti akan berpikir untuk menyukainya," ucap Bu Ratih dengan suara lirih.

"Maksud, Tante, apa?" cecarnya.

"Ariela ODGJ, tepatnya pengidap PTSD," ucap Bu Ratih, setitik air mata keluar dari celah matanya yang kecil.

Davin shock dan seketika termenung. Bayangan wajah Ariela yang tersenyum, silih berganti dengan cepat saat ia mengenalkan Orion sang pacar khayala.

Lelaki itu mengembuskan napas, padahal ia sudah menyiapkan hati dengan segala kemungkinan. Namun tetap saja ia seperti tidak percaya, dengan penuturan Bu Ratih.

"Kamu sudah dapat jawabannya. Sekarang saya mau ke dalam dulu," pamit wanita itu sambil menyeka matanya masih berair.

"Tunggu, Tante. Saya belum selesai."

"Apa lagi. Tante, paham kalau kamu mundur," ucapnya dengan wajah sedih.

"Tidak, Tante. Saya tidak akan mundur," balasnya berusaha meyakinkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status