Share

Permintaan Davin

Bu Ratih tertegun mendengar nada serius dari ucapan Davin, seketika hatinya yang gundah gulana sedikit lega. Namun wanita itu tidak mau banyak berharap, agar tidak merasakan kekecewaan yang semakin dalam. 

Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir 45 tahun itu, menatap lekat pada Davin. Lelaki itu balasa memandang Bu Ratih dengan serius, tidak ada keraguan di bola matanya yang cokelat. 

"Saya permisi, Tante," pamitnya sambil berdiri dari kursi.

Bu Ratih bergeming. Pandangannya masih menerawang, dan tidak mendengar ucapan Davin. Tanpa menunggu jawaban dari Bu Ratih, lelaki berjalan menjauhi rumah minimalis itu dan berbelok menuju pantai. 

Aroma amis dan semilir angin langsung terasa, saat lelaki itu keluar dari gerbang perumahan. Davin merentangkan tangannya, memberi tanda pada pengemudi mobil. Bahwa ia akan menyeberang jalan. 

Dari depan pintu masuk, terlihat segerombolan orang berjalan meninggalkan pantai. Davin melirik jam Guees yang melingkar di lengannya, pukul lima lewat sedikit. Saatnya para pelancong itu, kembali menuju resort untuk beristirahat. 

Davin menyusuri pinggir pantai yang mulai sepi, dan membiarkan rambut ikalnya dibelai angin. Lelaki itu menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan beberapa orang yang tengah menambatkan perahu  yang biasa disewakan. 

Davin terus berjalan ke arah matahari tenggelam, sambil terus mencari sesosok gadis yang sangat ingin ditemuinya. Instingnya tidak salah, beberapa puluh meter di depan. Ia melihat serupa noktah, dan senyumnya pun terkembang. 

Dengan perasaan membuncah, Davin mempercepat langkah. Tungkainya yang panjang seakan melayang di atas pasir, dan dalam waktu singkat ia sudah berada di samping Ariela. 

"Hai," sapanya dengan napas memburu. 

Ariela menoleh, wajahnya datar begitu pun matanya. Tidak ada rona kehidupan di sana, hanya ada tatapaan kosong. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya, kembali menatap laut lepas di hadapannya.

Ombak datang bergulung, dan pecah di mata kaki mereka. Menciptakan buih-buih serupa sabun di dalam jacuzzi. Gadis itu bergeming, dan mengabaikan sapaan Davin. 

"Hai, Rie," ulang Davin seraya menggoyangkan tangan di depan wajahnya. 

Lelaki itu tidak mau menyerah, ia akan membuat gadis itu menyadari kehadirannya. Namun tampaknya  Davin harus menelan kekecewaan, karena Ariela tidak merespon panggilannya. 

Davin menggaruk kepalanya frustasi. Akhirnya ia memilih untuk duduk, lantas memainkan pasir dengan jemarinya. Tiba-tiba saja Ariela mengikutinya, sementara pandangannya tetap lurus ke laut. 

"Kamu dari tadi di sini?" Ariela bertanya dengan suara pelan.

Davin seketika menoleh dan terkejut, melihat Ariela duduk di sampingnya bahkan menyapa lebih dulu. Perasaannya yang tadi kacau, kini mulai membaik dan lelaki itu merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatinya. 

"Iya. Dari tadi kamu aku panggil." Davin menjawab sambil tetap memainkan jari. 

"Masa, sih? Kok, aku enggak dengar, ya?" ucapnya heran.

"Karena kamu melamun," sahut Davin. 

"Aku enggak melamun, dari tadi aku berbicara dengan Orion." 

"Oh." Davin menghela napas, ada rasa nyeri di hatinya saat nama itu disebut. 

"Lalu ke mana, Orion?" tanyanya penasaran. 

"Sudah pergi, tapi besok dai datang lagi." Ariela menyahut dengan intonasi riang. 

Davin kembali mengheal napas, dadanya sangat sesak. Lelaki itu tengah berpikir, setampan dan sebaik mantan kekasih Arieal. Sampai menyebabkan ia trauma, karena ditinggalkan. 

"Rie, kamu kuliah di mana?" Davin menselojorkan kakinya. 

Arieal memeluk ke dua kalinya, dan menaruh kepalanya di atas lutut. Wajahnya menghadap ke arah Davin, sinar matanya yang tadi terang kini meredup. 

"Di kota, tapi aku sedang cuti," jawabnya tidak bersemangat. 

"Ambil jurusan apa?" 

"Akademi perhotelan dan pariwisata, Ayah yang meminta dan juga memilihkan universitasnya. Padahal aku ingin di sini saja, dengan jurusan yang aku pilih sendiri," ucapnya Sendu.

Davin mulai paham, dari awal saja gadis itu sudah tertekan. Selama ia menjadi mahasiswa jauh dari mamanya, mengingat sifat Rie yang pendiam dan pemalu. Ada kemungkinan perasaan itu membesar dan bertambah bagaikan bola salju. 

"Sampai kapan kamu cuti?" 

Gadis itu hanya mengangkat wajahnya, dan kembali membuang pandangannya ke arah laut. Di sana ombak sedang berkejaran, membuat perahu para nelayan bergoyang. 

"Tidak tahu," jawabnya singkat. 

Pantai benar-benar hening, tidak ada suara peluit penjaga pantai dan juga teriakan anak-anak. Di bagian barat langit berwarna oranye terang, petang sebentar lagi berakhir dan berganti malam.

"Pulang, yuk," ajak Davin seraya bangkit dari duduknya. 

Ariela mendongak, saat melihat tangan Davin berada di sampingnya. 

"Ayo, bangun!" perintah lelaki itu. 

Dengan ragu Rie, mengangsurkan tangannya yang langsung di genggam mesra oleh Davin. Lelaki itu membantu Rie berdiri, sambil terus menatap lekat wajahnya. Sehingga membuat gadis itu merunduk karena malu. 

Mereka berjalan bersisian, membelakangi matahari yang sebentar lagi terbenam. Beberapa kali Davin melirik gadis di sebelahnya, yang menunduk menatap pasir. 

"Apa kamu tidak pernah menabrak orang saat jalan?" tanya Davin memecah kebekuan.

"Maksud kamu?" Rie bertanya balik.

Davin menghela napas, berbicara dengan Ariela memerlukan kesabaran ekstra. Karena gadis itu tidak langsung bisa menangkap, apa yang diucapkan. Kecuali dirinya dalam kondisi sadar. 

"Kamu itu kalau jalan pasti menunduk, apa enggak takut nabrak sesuatu," jelas Davin sabar. 

"Oh, aku enggak nabrak. Soalnya orang-orang menghindar sendiri, begitu aku lewat," jawabnya datar. Namun meninggalkan segores luka di hati Davin. 

Ternyata Ariela tidak secuek kelihatannya, sebenarnya ia masih memperhatikan sekeliling. Karena mereka menganggap dia aneh, jadi otomatis gadis itu merasa terkucilkan. Membuat hatinya yang sudah kehilangan kepercayaan diri, terpuruk semakin dalam.

"Bukannya kamu juga menganggap aku aneh?" tanya Ariela, gadis itu menghentikan langkahnya lalu menatap pada Davin.

Bola matanya bergerak-gerak gelisah, gadis itu tampak mencari sesuatu manik cokelat milik Davin. Lelaki itu tahu Ariela sedang memindai dirinya, dengan penuh keyakinan ia membalas tatapan Ariela. Dan berharap gadis itu mempercayainya, karena saat ini itulah yang amat dibutuhkan olehnya. 

Tak kuasa ditatap penuh perasaan oleh Davin, gadis itu menundukkan wajah. Lantas berjalan kembali menuju pintu keluar pantai, Davin yang masih terpesona seketika terkejut dan berlari menyusul.

"Ariela, tunggu!" Panggilnya, entah kenapa gadis itu bisa berjalan sangat cepat. 

Sampai di pinggir jalan raya, Davin mencekal tangan Ariela. Membuat gadis itu tersentak, sehingga rambutnya bergoyang dan menutupi wajah.

"Maaf," ucap Davin saat gadis itu melotot ke arahnya. 

"Kenapa kamu langsung mengambil kesimpulan, tanpa mendengar jawabanku," cetusnya membuat Ariela yang meronta akhirnya terdiam.

Gadis itu menyingkirkan rambut, dengan tangannya yang bebas. Raut wajahnya terlihat marah dan kesal, namun sorot matanya tampak sendu. 

"Karena kamu sama saperti mereka," geramnya. 

"Coba kamu pikir, selama ini bagaimana sikapku," tanyanya dengan nada serius.

Ariela mengerjapkan mata, lalu menunduk. Gadis itu memang merasakan sejak pertama bertemu, kalau lelaki itu berbeda dengan yang lain. Namun hatinya masih luka sehingga membuat dia memilih untuk tidak terlalu percaya dengannya.

Kecuali dengan Orion, lelaki itu sangat sempurna di hadapannya. Ia tahu apa yang Ariela mau, namun gadis itu tidak sadar. Kalau pacarnya itu hanya khayalan. 

"Cobalah percaya padaku, Ariela," ucap Davin memohon. "Sebagai sahabat," lanjutnya dengan tenggorokan tercekat.

Iik Aria

Tolong komen, like, dan sub, ya. Selamat membaca.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status