Share

Tangisan bayi

Ariela menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan kosong, tidak ada setitik pun secercah harapan untuk Davin di manik bening gadis itu. Namun gadis yang memiliki hobi membacanya itu, tetap memberikan senyum manisnya.

"Kamu tidak percaya denganku," ucap Davin putus asa.

"Aku sudah tidak percaya dengan siapa pun, kecuali Bunda dan juga Orion," sahut Ariela dengan wajah datar. 

"Cobalah dulu, Rie," desak Davin berusaha meyakinkan.

"Kamu seperti Ayah, suka memaksakan kehendak," ucap Ariela dengan senyum kecut. 

Davin tertegun, lelaki itu merutuki dirinya sendiri. Karena telah bertindak bodoh, bukankah dari awal dia sudah mengetahui kalau Rie tidak bisa dipaksa. Hak itu menyebabkan rasa depresinya kian meningkat. 

"Maaf, Rie," ucap Davin penuh sesal.

Ariela tidak menjawab, gadis itu hanya menatap jalan lurus di depan sana. Kemudian terhenti di trotoar, setelah kendaraan dirasa cukup sepi gadis itu menyeberang jalan tanpa menghiraukan Davin. 

"Kok, mukanya lesu gitu?" tanya Mama Widi saat Davin melangkah ke dapur.

Lelsko muda itu membisu. Tangannya yang kekar mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas, lantas menghabiskannya dengan sekali tenggak.

Mama Widi terheran-heran menatap anaknya dengan mata yang membesar, seakan ingin lepas dari kelopak. 

"Kenapa, kok, enggak jawab," ulang Mama Widi kesal.

"Ah, aku sudah bersikap bodoh," seru Davin sambil meremas rambutnya dengan tangan.

"Bertindak bodoh bagaimana?" Cecar wanita penyuka es krim itu. 

Davin duduk di kursi dengan raut wajah penuh penyesalan, dan matanya sedikit berkabut. Lelaki itu kembali menyalahkan dirinya sendiri, karena seharusnya dia bisa lebih bersabar. 

"Tadi aku bertemu, Rie," ujar Davin sambil menatap ke jendela kaca.

"Ketemu atau sengaja menemui," sindir Mama Widi menggoda.

"Sengaja," ujar Davin cemberut, sebal karena karena ketahuan. 

"Terus." 

"Aku mencoba membuatnya untuk percaya padaku. Tapi …." Davin tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, hatinya begitu pedih saat mengingat segores luka di mata gadis itu.

Mama Widi mengelus punggung anak lelaki semata wayangnya, wanita itu turut merasakan kesedihannya. Semenjak mereka tinggal terpisah, Davin memang selalu bercerita apapun termasuk soal gadis-gadis yang mengejarnya. 

"Ya, sudah. Sabar, gadis itu beda dengan yang lain," ucap Mama Widi menenangkan.

Davin meraih tangan wanita yang telah melahirkannya itu, kemudian meremas dengan lembut dan menaruhnya di pipi. Lelaki berkulit cokelat cerah itu memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut dan penuh cinta dari sang Mama.

****

Sudah dua malam ini Ariela tidak dapat memejamkan mata, gadis itu terus terjaga bahkan hingga fajar menyingsing. Membuat kulit di bawah matanya yang sayu menghitam, kontras sekali dengan kulit wajahnya yang putih bersih. 

Malam ketiga gadis itu masih berusaha melawan rasa kantuk yang mendera, berkali-kali ia menguap namun mencoba menepisnya dengan membuka mata lebar-lebar. Tubuh Rie sudah sangat lemas, karena selama lebih dari 40 jam ia hanya terduduk menatap televisi. 

Hanya sesekali ia keluar kamar, untuk buang air. Selebihnya gadis itu berdiam di kamar, bahkan untuk makan pun Bundanya yang mengantarkan. Sebenarnya wanita yang telah melahirkannya itu, merasakan ada sesuatu yang telah terjadi namun sang Bunda belum berani bertanya.

Kali ini Rie sudah tidak dapat bertahan lagi, matanya yang sayu perlahan mulai terpejam. Lantas dalam sekejap dirinya sudah larut di alam mimpi.

Di alam bawah sadarnya, gadis itu sedang berlari di sebuah koridor rumah sakit. Langkahnya berbelok ke kiri, lantas menerobos pintu bertuliskan 'ruang anak'.

Dua orang perawat berusaha mencegahnya untuk masuk, namun tenaganya sangat kuat sehingga membuat para perawat itu terpental dan jatuh..

Rie terus berlari ia berhenti di sebuah kamar dengan kaca besar, gadis itu mencoba membuka namun sayangnya terkunci. Dengan berderai air mata gadis itu menempelkan wajahnya di kaca, matanya menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi dengan bok-bok kecil berisi bayi.

Pandangannya terhenti pada sebuah bok tanpa nama, yang berisi bayi lucu nan menggemaskan memakai bedong berwarna biru. Tiba-tiba saja mata bayi itu terbuka, kemudian dari mulut mungilnya terdengar tangisan yang mengantar hati. 

Seketika Rie merasa khawatir dan panik. Gadis itu menggerakkan gagang pintu dengan kasar, sambil berharap pintunya terbuka. Suara tangisan bayi tadi semakin nyaring, membuat Rie semakin cemas karena tidak ada satu orang pun perawat yang menghampiri.

Merasa kesal dan tidak berdaya, Rie kembali berjalan ke cermin besar. Bayi di dalam bok itu masih meraung dengan wajah memerah, gadis itu menempelkan tangannya di kaca seakan-akan sedang mengelus. Air matanya tumpah ruah, suara tangisan bayi itu perlahan mengecil seiring Rie yang mulai terjaga dari tidurnya.

Rie seketika bangkit dari kasur, dengan peluh yang membasahi seluruh wajah dan juga tubuhnya. Mimpi terasa sangat nyata, membuat jantung Rie berdegup kencang. Gadis itu meraba pinggir kasur dan menekan sakelar, ruangan yang temaram menjadi terang benderang. 

Rie memandang sekeliling, dan memindai setiap sudut kamarnya. Tubuhnya seketika membeku saat, suara tangisan bayi terngiang di telinganya, dan juga wajah bayi yang memerah itu terbayang jelas di matanya. 

Rie merasakan ketakutan yang amat sangat, gadis itu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya awas dan bersiaga menatap lekat pada pintu, seolah-olah akan ada seseorang yang akan membukanya. 

Tidak tahan merasakan suasana yang seakan mencekam, dan juga mendengar tangisan bayi yang terus berulang. Rie berteriak lantang sambil menutup teling dengan kedua tangan, dan juga memejamkan mata berharap wajah bayi lucu itu menghilang dari pandangannya. 

"Ariela, ada apa?" tanya Bu Ratih cemas. 

Untunglah gadis itu tidak pernah mengunci kamarnya, sehingga kedua orang tuanya bisa langsung masuk untuk memeriksa keadaannya. Sebenarnya Rie tidak mau seperti itu, namun karena kesadarannya sering hilang dan juga demi kebaikannya. Akhirnya Rie menerima dengan terpaksa, ruang pribadinya bisa dimasuki kapan saja. 

"Bayi," ucap Rie tanpa membuka mata.

"Bayi apa?" tanya Bu Ratih tidak mengerti.

"Ada bayi menangis, dan aku tidak bisa mendiamkannya," kata Rie sambil berlinang air mata.

Pak Wirya yang sedari tadi hanya berdiri mengerutkan kening, wajah tuanya tampak lelah. Pria berkacamata itu sebenarnya sedikit kesal, istrinya membangunkan karena mendengar Rie teriak. Padahal baru saja pria pemilik resort itu merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.

Sebenarnya itu bukan hal baru baginya, terkadang pria itu ingin membiarkannya saja. Karena Rie terlalu sering seperti itu, dan ketika ditanya jawaban anak perempuan itu akan melontarkan kata-kata yang sama. Sehingga Pak Wirya bosan mendengarnya, dan malam ini Rie kembali berteriak setelah beberapa Minggu ini pria tua itu bisa tidur dengan tenang. 

"Itu cuma mimpi, Rie," sela Pak Wirya dengan nada tajam.

Bu Ratih seketika melotot ke arah sang suami, wanita itu tidak habis pikir. Di saat anak mereka sedang butuh untuk ditenangkan, Pak Wirya justru bersikap menyebalkan.

Demi mendengar ucapan sinis sang Ayah, Rie menghentikan isakannya namun air matanya masih tetap mengalir. Gadis itu menatap ayahnya lekat, ada benci dan rasa takut terpancar dari matanya. 

"Ayah, bisa lebih pelan bicaranya," seru Bu Ratih marah.

"Aku lelah. Baru saja mau tidur tiba-tiba, Rie berteriak," ucao Pak Wirya jengkel.

Pria itu benar-benar mengantuk dan kepalanya sekarang mulai terasa pusing karena terkejut. 

"Apa kamu tidak peduli dengan, Rie." Bu Ratih emosi.

"Aku bukan tidak peduli, tapi sering kali dia seperti ini. Berteriak dalam tidurnya, dan ketika ditanya diam saja. Dan sekarang dia bilang ada bayi." Taboa pria itu sadari ucapan Pak Wirya menggoreskan luka di hati anak gadisnya.

Rie merasa sangat bersalah dan bersedih. Saat mengetahui ternyata sang ayah terganggu, dengan kondisi dirinya yang suka berteriak dalam tidurnya. Kedua pelupuk gadis itu  masih mengeluarkan bulir bening.

"Ayah, memang tidak sayang padaku," bisik Rie sambil meremas selimut.

Hati gadis itu terasa tercabik-cabik, saat kilasan peristiwa silam bermain di kepalanya. Kala ia memilih sekolah saat SMP, ketika pria tua itu melarangnya bermain dengan teman-teman, bahkan pada waktu Rie beranjak remaja dan ingin kuliah, dengan terpaksa gadis itu harus mengikuti kemauan sang ayah.

Tidak ada satu pun hal baik tentang Pa Wirya, dibenak gadis berusia delapan belas tahun itu. Semua yang diingatnya hanyalah pemaksaan, dan keotoriteran sang ayah. 

Semua hal itu membuat dada Rie terasa sesak, dan membuat kepalanya berdentam-dentam. Sekakan belum cukup, tiba-tiba telinganya menangkap suara tangisan bayi. Sedangkan di depannya, perdebatan kedua orang tuanya masih terus berlangsung. Tidak tahan menghadapi tekanan, akhirnya Rie menutup telinga. 

"Cukup, pergi kalian semua dari sini. Dan siapapun tolong, hentikan tangis bayi itu!" Teriak Rie histeris. 

Iik Aria

Selamat menikmati, jangan lupa sub, rate, dan review. Terima kasih, salam sayang buat semuanya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status