Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul saat Lee Hana sudah melangkah cepat di trotoar menuju coffee shop tempat ia biasa bekerja paruh waktu. Udara pagi Seoul masih menusuk, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. Hari ini adalah hari pertamanya syuting sebagai figuran dalam drama saeguk—dan dunia terasa begitu hidup baginya.
Ketika pintu kaca coffee shop terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya. Di balik meja kasir, Jungwon, pemilik sekaligus sahabat lamanya, langsung menoleh dan mengangkat alis.
"Kamu datang juga," katanya sambil tersenyum kecil, mengenakan apron hitamnya. "Aku pikir kamu sudah naik kereta duluan."
Hana melangkah cepat ke belakang meja, memeriksa tasnya sekali lagi. "Aku cuma mau pamit dulu... dan ambil charger yang tertinggal semalam."
Tanpa banyak kata, Jungwon mengambil sebuah kotak makan dari bawah meja dan menyelipkannya ke dalam tas Hana dengan gerakan terbiasa. "Ini sandwich buat kamu. Makan di perjalanan. Jangan cuma mimpi jadi artis, tapi perut kosong."
Hana mengerucutkan bibir. "Kamu seperti ayahku saja."
"Ya, soalnya kamu juga nggak bisa jaga diri. Di Seoul ini kamu butuh seseorang buat gantiin ayahmu, bukan?"
Nada suara Jungwon ringan, tapi tatapan matanya mengandung perhatian yang tulus. Ia memang selalu seperti itu—tak banyak bicara manis, tapi tindakannya selalu lebih cepat dari kata-kata.
Hana menatapnya sebentar, lalu tersenyum penuh rasa terima kasih. "Maaf ya... selama beberapa hari ke depan aku nggak bisa datang kerja. Jadwal syutingnya katanya padat banget."
"Tenang, aku akan turun tangan langsung. Sekalian nostalgia masa-masa jadi barista," ujar Jungwon sambil menyengir, meskipun ada sedikit nada khawatir di ujung suaranya.
Ia lalu melirik ke luar jendela dan kembali menatap Hana. "Kamu yakin nggak mau bawa mobilku aja? Lokasi syuting jauh. Kalau capek, kamu bisa istirahat di dalam mobil."
Hana buru-buru menggeleng. "Itu mobil mahal, Jungwon. Aku bisa rusakinnya cuma dengan cara duduk!"
Jungwon tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. "Hana, kamu berangkat kerja, bukan kabur dari rumah. Kamu boleh bermimpi tinggi, tapi tetap jaga dirimu juga."
"Aku akan tidur bareng kru kok, nggak usah khawatir. Aku udah biasa tidur di mana aja," balas Hana sambil merapikan tali tasnya.
Setelah saling diam sebentar, Jungwon hanya mengangguk pelan. "Kalau begitu, kirim kabar tiap malam. Jangan cuma update I*******m."
Hana tersenyum lebar, kemudian menjulurkan tangannya ke arah Jungwon. "Terima kasih, Appa Jungwon!"
"Eiiish..." Jungwon mendorong tangan Hana pelan sambil tertawa. "Cepat pergi, nanti kamu telat malah dimarahi sutradara."
Dengan langkah ringan dan hati yang membuncah, Hana pun meninggalkan coffee shop kecil itu. Kotak makan pemberian Jungwon terasa hangat di dalam tasnya—bukan karena sandwich-nya, tapi karena perhatian yang dibungkus dalam diam. Ia tidak tahu seperti apa dunia syuting nanti. Tapi satu hal pasti, ia tidak benar-benar sendiri.
Perjalanan menuju lokasi syuting memakan waktu hampir dua jam. Bus yang ditumpangi para figuran melaju menembus batas kota, meninggalkan keramaian Seoul dan memasuki kawasan perbukitan dengan udara yang jauh lebih segar. Dari balik jendela, Hana memandangi pepohonan yang mulai menggugurkan daun, seolah ikut menyambut musim baru dalam hidupnya.
Begitu bus berhenti, suasana langsung berubah hiruk-pikuk. Kru dan staf berlarian ke sana ke mari, membawa peralatan, kabel, dan kostum. Tenda-tenda sementara berdiri di pinggir set yang didesain menyerupai kompleks istana kerajaan. Hana turun dari bus sambil menenteng tas ranselnya, matanya membulat kagum saat melihat skala produksi yang luar biasa besar.
"Inilah... dunia nyata dari mimpi-mimpiku," bisiknya pelan.
"Hana, ke sini!" panggil Mina yang sudah lebih dulu turun.
Mereka segera diarahkan ke tenda khusus figuran oleh asisten sutradara yang sibuk membaca daftar nama. "Lee Hana! Kang Mina! Ganti kostum, kalian dayang istana. Setelah itu langsung ke titik kumpul untuk blocking!"
Tanpa menunggu lama, Hana dan Mina bergegas masuk ke tenda ganti. Di dalamnya, hanbok-hanbok tergantung rapi sesuai kategori peran. Kostum dayang yang dikenakan Hana berwarna lembut, dengan bordiran halus di lengan. Saat ia memakainya, ada perasaan aneh yang menyelinap—campuran antara gugup dan haru.
"Bagaimana? Cocok nggak aku jadi dayang?" tanya Hana sambil memutar badan ke arah Mina.
Mina tertawa pelan. "Kalau kamu punya reinkarnasi, mungkin dulunya kamu memang hidup di istana."
Hana ikut tertawa, tapi matanya berkaca-kaca. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kecil di sudut tenda. Di balik hanbok itu, bukan hanya kostum—tapi bukti bahwa perlahan, ia sedang mendekati dunia yang dulu hanya bisa ia tonton dari layar televisi di rumah kecilnya di Jeju.
"Yah, meskipun cuma jadi figuran yang jalan mondar-mandir di belakang, tapi tetap saja rasanya luar biasa ya," kata Hana sambil menarik napas dalam-dalam.
"Percaya deh," ujar Mina sambil merapikan sanggul kecil di kepala Hana, "Semua aktor besar juga pernah berdiri di posisi kita dulu. Yang penting, jangan menyerah."
Dari kejauhan, terdengar suara asisten sutradara memanggil mereka untuk segera ke set. Saat keluar dari tenda, cahaya pagi menyapa wajah Hana yang kini tampak berbeda. Bukan hanya karena riasan ringan atau hanbok yang anggun, tapi karena semangat dalam dirinya yang menyala lebih terang dari sebelumnya.
Setelah beberapa kali pengambilan gambar untuk adegan istana, para figuran diminta untuk menunggu giliran berikutnya di sisi luar set. Matahari sudah meninggi, namun Hana masih berdiri tegak di posisinya, meski kakinya mulai pegal karena berdiri terlalu lama dengan sepatu tradisional.
Ia mengusap pelipisnya yang berkeringat pelan, saat tiba-tiba suasana di sekitar menjadi hening.
Beberapa kru mulai membenahi alat dengan cepat, make-up artist terlihat panik memperbaiki rambut aktor, dan asisten sutradara mulai mengangkat suara, memberi instruksi dengan ritme yang lebih cepat.
"Awas! Pemain utama datang!" bisik salah satu figuran dengan mata membelalak.
Hana menoleh ke arah jalur set yang terbuka. Sosok pria bertubuh tinggi dengan pakaian kerajaan lengkap berjalan perlahan di tengah para staf. Wajahnya teduh namun tajam, karismanya tak tertutupi meski hanya melangkah biasa. Kamera belum menyala, namun seolah semua mata sudah tertuju padanya.
Han Jiwon.
Aktor muda ternama. Wajah yang selama ini hanya dilihat Hana lewat layar ponsel dan klip promosi drama. Kini, pria itu benar-benar berjalan beberapa meter di depannya, mengenakan hanbok raja, membawa aura yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Gila... dia memang seperti pangeran beneran ya," gumam Mina dari samping, setengah kagum setengah pusing melihat semua figuran perempuan jadi salah tingkah.
Hana menelan ludah. Bukan karena terpesona, tapi karena merasakan kehadiran seseorang yang... benar-benar berbeda. Seolah waktu melambat selama beberapa detik saat mata Jiwon sekilas bertemu dengan matanya. Tatapan itu dingin, tenang, tanpa ekspresi—namun cukup untuk membuat jantung Hana berdetak tidak beraturan.
Namun, seperti halnya angin yang datang lalu pergi, Jiwon pun berlalu tanpa sepatah kata. Para kru kembali sibuk. Waktu pun kembali berjalan normal.
"Dia bahkan nggak senyum sedikit pun," ujar Mina sambil menghela napas. "Tapi entah kenapa, aku makin suka."
Hana masih diam, menatap punggung Jiwon yang semakin jauh menuju arah kamera utama. Ia tidak tahu kenapa matanya sulit lepas dari sosok itu.
Baru hari pertama syuting, dan dunia yang selama ini hanya ia impikan sudah menampakkan sebagian wajah nyatanya. Bukan hanya indah, tapi juga penuh ketegangan, tekanan, dan—entah kenapa—seseorang seperti Han Jiwon.
Sudah tiga hari sejak pertengkaran kecil di dalam mobil itu. Hana tidak menerima satu pun pesan atau telepon dari Jungwon—hal yang sangat tidak biasa bagi pria yang selama ini selalu menjadi orang pertama yang menanyakan kabarnya.Keheningan itu membuat dada Hana terasa sesak. Bukannya membaik, tubuhnya justru makin melemah. Tapi diam di rumah hanya membuat pikirannya makin kalut, dan satu-satunya tempat yang bisa memberinya sedikit rasa nyaman adalah coffee shop milik Jungwon.Dengan langkah lesu dan wajah pucat, Hana mendorong pintu masuk café yang terasa hangat dibanding udara luar yang dingin. Aroma kopi dan kayu manis menyambutnya, tapi tidak cukup kuat untuk mengusir dingin yang menggerogoti tubuhnya."Hei, Kak Hana!" sapa salah satu staf dengan senyum ramah.Hana membalas senyuman itu seadanya. "Jung ada di ruangannya, kan? Aku masuk ya."Staf itu terlihat ragu. "Eh, Kak... Pak Jungwon tadi pagi ke Busan."Langkah Hana langsung terhenti. "Busan? Kenapa nggak bilang?""Saya kura
Hana baru saja menyelesaikan take adegannya untuk adegan pagi yang cukup emosional. Pipinya masih sedikit memerah karena terpaan angin dingin bercampur salju buatan. Ia menepi ke pojok tenda kru, menarik napas, lalu membuka jaket bagian dalam untuk meraih ponselnya.Begitu layarnya menyala, Hana terkejut melihat notifikasi pesan dari Jiwon—banyak sekali. Biasanya, Jiwon hanya mengirim satu atau dua pesan singkat. Tapi kali ini, pesan-pesannya muncul berurutan seperti seseorang yang sedang kalap. Ia membuka satu per satu.📲 Jiwon : Hana... kamu sudah sampai di lokasi syuting kah? Pakai pakaian tebal, salju akan turun.Hana tersenyum tipis. Terlambat, pikirnya. Ia memang sudah menggigil beberapa jam terakhir karena wardrobe-nya tak terlalu hangat.📲 Jiwon : Hana! Aku tahu kamu diantar sama Jungwon! Aku iri!!!!Kening Hana mengernyit. Kok tahu...? Lalu ia lanjut membaca.📲 Jiwon : Hana, kamu nolak aku bukan karena udah pacaran sama Jungwon kan?📲 Jiwon : Han... kalau kamu gak jawab y
Hujan turun tipis pagi itu, seperti ingin mengiringi langkah terakhir Hana di lokasi syuting. Hari ini adalah penutup untuk perannya dalam drama yang diam-diam begitu membekas di hatinya—bukan karena karakternya, tapi karena seseorang yang tak sengaja menjadi pusat kekacauan emosinya.Senyuman para kru dan figuran lainnya mengiringi perpisahan kecil di ujung set. Tak ada pesta perayaan. Hanya beberapa pelukan hangat, ucapan terima kasih, dan sebotol kopi hangat yang diberikan oleh manajer figuran."Kamu akan langsung masuk jadwal produksi yang ini, ya. Besok udah bisa standby di lokasi baru," ucap manajer figuran sambil menyodorkan secarik jadwal.Hana mengangguk. "Terima kasih, sunbae. Aku akan datang tepat waktu."Namun di balik semua keheningan dan kepergian yang tampak biasa itu, ada satu orang yang tak siap membiarkan Hana benar-benar pergi.Sementara Hana menyembunyikan dirinya dalam rutinitas baru yang padat dan nomor yang selalu dalam mode diam, Yoon Chan berdiri canggung di d
Udara pagi masih menusuk tulang saat Hana melangkah masuk ke lokasi syuting. Kabut tipis melayang-layang di udara, menambah nuansa dramatis pagi itu. Pipinya memerah, bukan karena riasan, melainkan sisa kedinginan semalam saat syuting adegan di bawah hujan buatan yang mengguyur hingga larut malam. Ia menarik napas pelan, mencoba menstabilkan detak jantung yang sedikit lebih cepat dari biasanya.Seorang manajer figuran mendekat cepat, tatapannya meneliti wajah Hana yang tampak sedikit pucat. "Kau nggak apa-apa, Hana? Hidungmu merah. Jangan-jangan masuk angin?"Hana tersenyum, menepis kekhawatiran yang terpancar dari mata manajer itu. "Aku baik-baik saja, kok. Mungkin cuma efek cuaca. Enggak perlu ubah jadwal, ya. Aku masih bisa lanjut."Belum sempat manajer itu membalas, terdengar suara ribut dari arah belakang. Beberapa kru menoleh, termasuk Hana. Yoon Chan datang tergopoh-gopoh, peluh di pelipisnya mengalahkan suhu dingin. Di tangannya ada dua kardus besar berisi botol-botol air mine
Rintik salju menyambut pagi Hana yang dingin. Hari ini adalah hari pertamanya syuting untuk drama Confidental yang akan ia perankan bersama Jiwon.Selama menuju halte, Hana terus memikirkan bagaimana caranya agar dia tampak profesional di hadapan Jiwon yang belakangan terus mengejarnya. Pandangannya tertuju pada iklan besar di seberang halte. Wajah Jiwon yang tampan di sana bahkan bisa membuat remaja di sekitarnya berfoto. Mereka sangat mengidolakan Jiwon. Lantas, bagaimana respon mereka kalau Jiwon menyukai seseorang yang jauh di bawah Jiwon? Baik dari segi karir, keuangan, keluarga. Apakah mereka masih mau bertahan menjadi penggemar Jiwon? Atau mundur perlahan dan Jiwon akhirnya kehilangan sinarnya?Kedatangan bus membuyarkan pikiran Hana. Ia pun masuk ke dalam bus dan membaca naskah agar syuting hari ini berjalan lancar. Kata demi kata Hana baca, sungguh membuat hatinya tersayat. Kisah cinta antara dirinya dan Jiwon di drama ini sangatlah pilu. Mereka berpisah bukan karena suatu ke
Pagi itu, cahaya matahari menerobos perlahan melalui sela-sela gorden kamar sempit Hana. Ia menggeliat kecil, mencoba membuka matanya yang masih berat. Di luar jendela, langit Seoul tampak cerah, meski udara masih dingin di akhir musim dingin yang belum benar-benar hengkang.Ponselnya bergetar hebat di atas meja kecil. Getaran itu membangunkannya lebih cepat daripada alarm. Dengan mata setengah terbuka, Hana meraih ponsel dan melihat sebuah pesan baru dari manajer figuran agensinya.📩 Naskah baru untukmu, Hana. Kamu dapat peran figuran spesial. Cek email.Perasaan kantuknya langsung lenyap. Ia duduk tegak di tempat tidur, jantungnya berdetak lebih cepat. Hana membuka email dan menemukan file naskah bertanda “CONFIDENTIAL”. Dengan rasa penasaran dan semangat, ia mulai membacanya. Ternyata, ia diminta memerankan mantan kekasih dari karakter utama dalam drama terbaru yang akan diproduksi stasiun televisi besar.Meski hanya figuran, peran itu memiliki beberapa adegan penting—bahkan adega