Share

Keluar dari Lubang Buaya, Masuk Kandang Singa

Sinta panik, ia tak bisa berpikir sekarang kepalanya mendadak pusing. 

"Lo udah tanda tangan kontrak, Sin. Kalo nggak lanjut lo disuruh bayar, emang mau?" kata Yoyo mengingatkan, bukan ... lebih tepatnya mengancamnya agar tak keluar. 

Sinta berpikir keras, ia tak mau membayar kompensasi dan juga tak mau kerja menjadi SPG miras, tapi dia tak ada pilihan selain bekerja di sana. Uang dari mana untuk bayar denda? Ah, dia akhirnya pasrah dan mengikuti Yoyo yang sedari tadi meninggalkannya. 

"Nih, pake baju ini dan tawarin minumannya ke semua pelanggan yang sudah datang, nanti diajarin sama Dewi, lo perhatiin baik-baik." 

Sinta mengangguk lesu kemudian berganti pakaian di toilet. Ia mematut diri di kaca toilet wanita, sungguh menjengkelkan. Dress mini yang pendek dan ketat, belahan dadanya terlihat bahkan pantatnya sedikit terekspos. 

"Sialan ini baju apa bikini?" umpat Sinta kesal, menarik-narik dress warna hitam itu agar melar namun sama sekali tak menutupi pahanya. 

"SPG baru ya?" tanya wanita yang baru muncul dari toilet, pakaian mereka sama namun sepertinya dia senior di sana, terlihat dari gelagatnya juga tatapan merendahkannya jelas terlihat. 

"Em, iya, Mbak," jawab Sinta ragu-ragu. 

"Gue ajarin ya-kalo nawarin harus pede, harus berani kalo perlu lo rayu sambil duduk dipangkuannya, lo pegang anunya pasti dia bakal beli," terangnya sambil mencuci tangan kemudian pergi dulu dari toilet. 

"Ha? gila ... segitunya banget cari duit, ogah banget gue." Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya tak mau melakukan hal yang dijelaskan wanita tadi. 

Krieet! 

Pintu dibuka, sontak Sinta menoleh. 

"Lama banget sih, lo Sinta kan-buruan keluar!" titah perempuan itu melongok diambang pintu. Sinta lalu bergegas mengambil tasnya juga pakaiannya. 

"Eh, iya." 

Sinta mengikuti perempuan seksi di depannya dengan rambut panjang keriting gantung yang diwarnai coklat, kaki jenjangnya dihiasi high heels dengan tinggi sekitar lima belas senti. Pakaian perempuan itu sama dengan yang dipakainya, sangat terbuka. Ia melihatnya risih, lalu bagaimana dirinya nanti dipandang orang lain ... sungguh memalukan. Rasa-rasanya ia tak sanggup menampakkan mukanya. Ia menutup sebagian muka dengan pakaiannya, malu. 

Dug! 

Sinta menabrak perempuan di depannya. 

"Duh, apaan sih nggak liat apa! Lo taro di loker sana tas lo, cepetan." Perempuan itu menunjuk ruangan di sebelah kiri mereka. Sinta mengangguk lalu menyimpan tas dan pakaiannya di salah satu loker di sana. Lalu buru-buru keluar untuk mengikuti langkah perempuan tadi bergabung dengan SPG lain, berkumpul di sudut ruangan dengan pencahayaan remang-remang itu. 

"Kalian semua kenalin ini anak baru namanya Sinta, kalian wajib bantu dia, oke?" ucapnya sambil memegang pundak Sinta. Wanita ini mungkin atasan mereka, dia menggunakan jas juga rok span selutut, elegan. "Ajarin, Dew ... tanya aja apa yang susah ya, Sin, jangan sungkan tanya. Kenalannya nanti aja, karena kalian udah ditunggu. Ayo, nak. Semangat cari uang yang banyak," katanya menyemangati. 

Mereka satu persatu pergi, Dewi yang diperintahkan langsung untuk mengajari Sinta mengajaknya bergabung dengan dua kawannya. 

"Bawa tuh nampan, isi empat botol," perintah Dewi ketus. 

"Em, iya," balas Sinta menurut, ia langsung melakukan apa yang diperintahkan dan mengekor di belakang tiga orang itu. 

Sinta berjalan di belakang mereka, ketiga temannya itu memakai heels yang sama, apa mungkin seragam? pikirnya, ia menggelengkan kepala lalu fokus berjalan cepat mengikuti tiga teman barunya. Mereka berhenti disalah satu sofa berbentuk U dan dengan cekatan si Dewi langsung mengambil satu botol tersebut, memegangnya sambil berpromosi. Teman satunya si rambut pendek duduk dipangkuan om yang paling pinggir rambutnya botak, ia mengalungkan lengannya di leher lelaki paruh baya itu. Semua mengenakan kemeja, ada satu yang masih mengenakan jas, namun semuanya tua ... mengerikan. Saat mereka kedatangan Sinta dan kawan-kawan terlihat sekali mereka gembira, tak berhenti tertawa. 

"Kamu, sini dong, Cantik. Kita cobain bareng-bareng, boleh kan?" tanya om gembul yang duduk di tengah-tengah melambaikan tangan ke Dewi. Dengan senyum manis Dewi menghampiri, sedangkan teman yang satunya duduk di samping pria botak, dia dirangkul lelaki sebelahnya, tubuhnya kurus hitam temannya itu menuangkan minuman beralkohol yang mereka jual. 

Sinta merasakan mual dan pusing, seumur-umur baru masuk tempat seperti ini. Ia lalu dipanggil Dewi. 

"Sini, Sin," ucapnya menepuk sebelah kirinya, mengajaknya duduk ditengah-tengah lelaki itu. Sinta bergidik ngeri. 

"Ayo dong, Cantik. Sini om pangku aja deh kalo nggak mau duduk," kata om-om yang duduk di pinggir bagian kanan. Dia sendiri yang belum mendapat pasangan, Sinta ragu ia ketakutan. 

"Sorry, Om. Dia anak baru makanya gitu," ujar Dewi kesal. Menatap Sinta dengan tatapan tajam. 

"Nggak papa ... namanya juga pemula wajar dong kalau malu-malu kucing. Nanti kalau udah mahir kan kayak kalian, ya nggak?" 

"Iya, Om." 

"Minum dulu dong, terus kita joget yuk," titah om yang merangkul Dewi. Om yang menatap Sinta dengan tatapan penuh nafsu itu melambaikan tangan menyuruh Sinta mendekat. Ia meletakkan nampan, mengambil satu botol minuman beralkohol lalu duduk di pinggir separuh pahanya menahan agar ia tak jatuh, ia takut duduk dekat-dekat dengan laki-laki seusia bapaknya. 

"Sini dong, jangan takut kita nggak gigit," ucap om di sebelahnya meraih pinggul Sinta agar mendekat. 

"Jangan pegang-pegang ya," ucap Sinta melotot ke om itu, dan sialnya si om malah terkekeh. 

'Dasar om gila!' umpat Sinta dalam hati. 

Hampir sejam lamanya mereka di sana, Sinta tak betah dan meminta izin pergi ke toilet. Ia menatap dirinya dalam pantulan cermin, tak percaya dia bisa ada di sini sekarang. Buliran bening disudut mata jatuh, ia mengambil tisu di sudut wastafel, menyeka air matanya. 

'Gue harus kuat, gue nggak punya pilihan.' Sinta manggut-manggut, ia akan mencoba bertahan  semoga saja bisa. 

Ia keluar dari toilet namun si om yang duduk di sebelahnya tadi menyeringai kepadanya. Om gila itu langsung menyergapnya, satu tangannya mencekal kedua tangan Sinta, yang satunya membelai lembut pipi gadis di depannya. Sinta ketakutan, terlintas sesuatu di benaknya. 

Sinta menginjak kaki om itu dengan pantofelnya, sejurus kemudian menendang juniornya. Om itu mengaduh, Sinta lari tunggang langgang namun sial om itu berhasil menarik lengannya dan membawanya ke toilet pria. 

"Tolooong!" pekik Sinta, meronta-ronta. 

Si om menyeret Sinta agar masuk ke dalam bilik, membekap mulutnya juga mencekal kedua tangannya ke belakang, menyuruhnya berjalan masuk ke bilik. 

"Kamu kenapa sih berontak? Apa masih perawan?" tanyanya kemudian terkekeh. "Udahlah jangan sok jual mahal, nanti pasti saya bayar ... kita pemanasan di sini saja, nanti kalo enak lanjut ke hotel, deal?" ucapnya menawarkan sesuatu yang membuatnya bergidik ngeri. Sinta menggigit salah satu jari om tersebut sampai si om mengaduh dan mengumpat. 

"Kamu nakal ya! Sialan!" si om menjambak rambut Sinta hingga kepala gadis itu tertarik ke belakang. 

"Tolooong! Aku diperkosaaaa!" pekiknya sekencang mungkin. 

"Nggak akan ada yang tolong kamu, Sayang. Di sini semuanya ya begini, udahlah nurut aja," ucap om gila. 

"Hiks hiks hiks, lepasin!" Sinta terus meronta namun si om tak melepaskan tangan kanan yang siaga menggenggam erat dua tangan Sinta. Satu tangannya sudah melucuti sabuk yang ia kenakan, Sinta menggigil semakin ketakutan. 

Braaak! 

Tiba-tiba pintu bilik terbuka, seseorang pasti menendangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status