Satu jam berlalu tanpa terasa. Ziandra mengira makan malam ini akan terasa canggung, tapi nyatanya, ia malah menikmati waktu bersama Devan. Pria itu jauh lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan—humoris, santai, dan bahkan bisa membuatnya tertawa di sela-sela makan.
Devan menyuapkan potongan steak ke mulutnya, lalu menatap Ziandra dengan seringai menggoda. “Jadi, bagaimana sebenarnya kau dan Angga bisa bertemu?”
Ziandra yang sedang mengunyah, nyaris tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia buru-buru meneguk air putihnya, berusaha menjaga ekspresi agar tetap tenang.
“Oh, itu ...,” Ziandra menunduk sedikit, menyusun kebohongan yang terdengar masuk akal. “Kami bertemu secara kebetulan. Layaknya pasangan lain, kau tahu? Awalnya tidak menyangka, lalu saling tertarik dan jatuh cinta begitu saja.”
Devan mengangkat alis, seolah tidak percaya begitu saja. “Kebetulan, ya?”
Ziandra mengangguk gugup, tersenyu
Devan terpaku. Matanya menatap langsung ke mata Angga, tetapi tidak ada jawaban keluar dari mulutnya. Hanya napasnya yang mulai memburu, seolah tubuhnya tahu bahwa ia tengah disudutkan meski pikirannya mencoba menyangkal. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, dan tangan yang dikepal di sisi tubuhnya gemetar tak kentara.“Jawab aku, Devan,” suara Angga rendah namun mengandung tekanan kuat. ““A-Apa maksudmu?” tanyanya akhirnya, pelan namun terdengar jelas dalam keheningan lorong.Angga melangkah mendekat, satu langkah yang cukup untuk membuat Devan mundur setengah langkah secara refleks. Tatapan itu masih menusuk, dan bahunya yang tegap terlihat mengeras.“Jangan berpura-pura tidak tahu. Gelagatmu tadi pagi yang mengikutiku, sudah cukup jadi bukti jelas bahwa ada yang sedang kau sembunyikan.”“Aku tidak tahu,” jawab Devan akhirnya, perlahan namun mantap. “Aku hanya salah menduga targetnya.”Kening Angga mengernyit, seketika rasa penasarannya makin dalam. “Salah menduga target? Oh, b
Rumah sakit dipenuhi aroma alkohol medis dan udara dingin yang terlalu kering. Angga berjalan cepat menyusuri lorong, menggenggam tangan Ziandra erat-erat seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak jatuh. Begitu sampai di depan ruang operasi, matanya langsung menangkap dua sosok duduk di kursi tunggu.Vidia dan Devan. Keduanya nampak tegang, dengan mata sembab dan tubuh yang hampir membeku. Namun, yang paling membuat Angga tercekat bukan mereka, melainkan lampu merah menyala terang di atas pintu bertuliskan ‘OPERASI SEDANG BERLANGSUNG’.Angga berhenti mendadak. Pandangannya terpaku pada tulisan itu. Seakan dunia berhenti bergerak.Kakinya terasa lemas. Ia menghela napas pendek, tapi dadanya terasa berat.“Baru semalam ...,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar, “Baru semalam kami bicara begitu santai. Baru semalam akhirnya aku bisa menganggap dia ayahku lagi setelah sekian lama semenjak dia berubah.”Tangannya mengepal, dan sebelum Ziandra sempat berkata apa pun, Angga mulai berja
Langkah Angga terdengar berat saat memasuki kantor. Pintu ruangan utamanya terbuka lebar, disambut tatapan penasaran beberapa karyawan yang sempat melihat ia masuk dengan wajah muram dan langkah cepat.“Kurang aja memang bocah itu!” gerutunya sambil melempar map ke atas meja kerja dengan kasar. “Menguntit, lalu membuat keributan di jalan. Apa dia pikir aku ini boneka yang bisa dipermainkan seenaknya?”Ziandra yang sedari tadi berjalan di belakang suaminya, memilih menutup pintu ruangan perlahan dan mengunci agar tidak ada yang masuk sembarangan. Ia mendekat, menatap Angga dengan hati-hati. “Tenanglah. Semua sudah selesai, kan?”Angga menghempaskan tubuhnya ke kursi, mengusap wajah dengan kedua tangan. “Tidak semudah itu, Zia. Dia terus saja memancing emosiku, dan aku yakin dia akan membuat masalah lagi.”Ziandra berjalan mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Angga. “Aku tahu kau kesal. Tapi kalau terus marah begini, kau akan kehilangan fokus. Jangan biarkan Devan mengacaukan har
“Aku dan Ziandra pamit pulang dulu, Ayah,” ucap Angga sopan.Pak Yuda mengangguk tenang. “Menginaplah sesekali jika kau tidak terlalu sibuk.”Angga hanya mengangguk membalasnya. Ia menggandeng tangan Ziandra lembut lalu keduanya masuk ke mobil.Vidia ikut melambaikan tangannya, mencoba terlihat ramah tapi ada senyum miring yang terukir samar di bibirnya. “Hati-hati di jalan.”Devan berdiri di sisi pintu, menyaksikan semua itu. Matanya bergantian menatap wajah ibunya dan langkah kepergian Angga. Jantungnya berdebar kencang. Tatapan ibunya saat mengucapkan kalimat itu membuat bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu di balik senyuman tipis itu yang membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia melihat mobil Angga melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Napasnya terasa berat.“Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya Vidia pelan, saat mereka kembali ke dalam rumah.Devan menoleh cepat. “Tidak apa-apa,” elaknya ketus.Devan pergi begitu saja masuk ke mobilnya sendiri,
Di kamar yang luas dan elegan dengan lampu gantung klasik yang menggantung di langit-langit, Angga dan Ziandra duduk di sisi ranjang. Keduanya tampak lebih santai setelah ketegangan di ruang tamu tadi mereda.Ziandra menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk di tengah kamar, menghela napas panjang. “Akhirnya, selesai juga drama malam ini,” gumamnya sambil menatap langit-langit.Angga hanya tertawa kecil, lalu melepas jasnya dan melemparkannya ke sandaran kursi. “Drama? Kurasa itu lebih mirip pertunjukkan teater keluarga bergengsi. Kau lihat bagaimana ekspresi wajah Devan saat Ayah memintaku menginap? Seperti anak kecil yang direbut mainannya.”Ziandra tertawa, menyembunyikan wajahnya di bantal. “Jangan kejam begitu. Tapi ya ... aku senang sekali Ayahmu akhirnya mengakuimu malam ini. Bahkan memintamu menginap secara langsung, itu sudah seperti mukjizat kecil.”“Aku bahkan nyaris tidak percaya Ayah bilang begitu tadi. Menyuruh kita menginap.” Angga tertawa kecil, nada suaranya mengandung ke
Pak Yuda yang sedari tadi berdiri di beranda hanya menatap kedua mobil itu dengan dahi berkerut. Setelah beberapa saat, ia kembali masuk ke dalam rumah, diikuti oleh kedua anaknya—Angga dan Devan—serta menantunya, Ziandra. Suasana begitu hening, hanya langkah kaki mereka yang terdengar menggema di dalam rumah megah itu.Pak Yuda duduk di kursi utamanya, di ruang tamu bergaya klasik yang terkesan dingin dan berjarak. Wajahnya datar, namun sorot matanya tajam, seperti menimbang banyak hal dalam diam.Tak lama berselang, langkah tergesa terdengar dari arah tangga. Seorang wanita paruh baya turun dari lantai atas—Vidia. Wajahnya tegang begitu melihat siapa yang datang. Tanpa ragu, ia melangkah cepat dan langsung duduk di sebelah Devan, menatap tajam ke arah Angga dan Ziandra yang berdiri di seberang ruangan.“Apa maksud kedatangan kalian ke mari?” tanya Vidia dingin. “Apa kalian sengaja datang malam-malam begini hanya untuk memperolok Devan yang berhasil kalian singkirkan dari perusahaan?
Langkah kaki Liona terasa berat di trotoar yang sepi, hanya diterangi lampu jalan yang remang. Malam ini udara terasa lebih dingin, namun bukan karena cuaca. Dingin itu bersumber dari dadanya yang dipenuhi rasa marah, ketakutan, dan pengkhianatan. Devan menghilang. Angga mulai mengincarnya. Dunia yang selama ini ia bangun dengan ambisi dan kepura-puraan, kini mulai runtuh satu demi satu.Tanpa sadar, kedua kakinya telah membawanya ke sebuah kawasan perumahan elit. Di ujung jalan berdiri rumah megah bergaya klasik. Ya, itu rumah Bapak Yuda, di mana Devan tinggal bersama orangtuanya.Liona menggenggam ponselnya erat. Jemarinya dingin, berkeringat. Ini gila, pikirnya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Jika Devan tidak bisa dihubungi, maka ia akan mencarinya. Langsung. Dengan cara apa pun.Namun sebelum sempat ia mengetuk gerbang rumah itu, suara deru mobil yang dikenalnya begitu baik menghentikan langkahnya. Sebuah mobil hitam melaju cepat dari arah berlawanan dan berhenti mendadak tepat
Langit senja mulai meremang ketika Devan sampai di apartemennya. Tanpa melepas jas, ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, memandangi langit yang memerah dari balik kaca jendela besar. Pikirannya masih bergemuruh. Kekalahan di perusahaan takkan pernah bisa ia terima begitu saja. Ia akan membalas.Setelah beberapa menit terdiam, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka salah satu kontak lama. Nama yang tertera di layar membuat matanya menyipit tajam. Seseorang dari masa lalu yang dulu pernah dekat dengan Angga. Seringaian di bibirnya terbit sesaat setelah ia menekan tombol panggil.“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Tidak terdaftar atau telah tidak aktif.” Devan menggertakkan gigi. “Sial.”Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia membuka galeri ponselnya, mencari satu foto lama—tangkapan layar dari profil media sosial ‘seseorang itu’ beberapa tahun lalu. Senyumannya kembali terbit dan tanpa buang waktu mengorek nomor kontak sahabat lamanya yang sudah lama tidak pernah be
Setelah memastikan Liona cukup tenang, Devan melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Begitu masuk ke ruangannya, ia langsung mengunci pintu, lalu berjalan mondar-mandir di depan mejanya. Sesekali, ia mengetukkan jari ke dagunya, memikirkan berbagai kemungkinan. Matanya menyipit tajam.“Aku harus menyerang Angga dari sisi yang paling lemah,” gumamnya pelan.Perlahan, senyuman kecil mulai terukir di sudut bibirnya. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.“Aku harus menemukan ‘perempuan itu’ jika ingin menghancurkan Angga.”Devan baru saja meraih ponselnya ketika tiba-tiba pintu ruangannya dibuka lebar dengan kasar. Ia terperanjat, nyarisnya menjatuhkan ponsel dari genggaman.Matanya membelalak saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu—Angga, dengan senyum remeh yang terukir jelas di wajahnya. Di belakangnya, tampak Ziandra mengikuti dengan langkah hati-hati, seolah enggan terlibat dalam ketegangan yang sangat menggantung di udara.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Angga melangkah