Seminggu berlalu sejak pertemuan dengan Devan di Blackroom Cafe.Egraf duduk di dalam kamar kontrakannya yang sempit, hanya ditemani cahaya layar laptop dan tumpukan kaleng minuman energi di meja. Matanya merah, penuh urat tegang, tapi jemarinya masih lincah menari di atas keyboard.“Apa kau benar-benar tidak bercanda, Devan?” gumamnya bermonolog sendirian sambil menatap layar.Ia sudah menyusuri berbagai platform digital, tetapi sosok itu seperti menghilang tanpa jejak. Namun Egraf bukan sembarang pencari.Ia akhirnya menemukan satu celah. Sebuah akun media sosial yang tidak lagi aktif sejak dua tahun lalu. Nama pengguna berbeda, foto profil tidak menampakkan wajah, tapi pola penulisan dan lokasi unggahan cukup mencurigakan baginya. Egraf memperbesar metadata dari gambar itu.Ia menelusuri kembali pola pencarian berdasarkan IP log terakhir sebelum akun itu benar-benar menghilang dari radar. Butuh waktu berjam-jam hingga akhirnya ia menemukan satu titik terang. Namanya memang bukan na
Selesai menghabiskan kopinya, Ziandra pamit untuk pergi duluan. Ia tak bisa berlama-lama karena pekerjaan pasti sudah menumpuk di meja ķerjanya. Ia juga tak boleh lupa kalau Angga harus ditemaninya karena suaminya itu berada dalam kondisi kurang stabil.“Aku akan di sini sebentar lagi, setelah itu kembali ke mejaku. Kau duluan saja. Pokoknya terima kasih atas semuanya, sampaikan juga pada suamimu kalau aku berhutang budi padanya,” ujar Elden dengan senyum ringan.Ziandra mengangguk. “Aku kusampaikan.”Ziandra kemudian melangkah pergi meninggalkan pantry, dan beberapa saat setelah itu, Elden mengembuskan napas panjang. Ia meneguk sisa kopinya lalu bangkit dari duduk, hendak kembali ke mejanya.Namun baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan seseorang di ambang pintu pantry. Keduanya bertubrukan ringan, dan gelas plastik kosong di tangan Elden hampir terjatuh.“Maaf, aku tidak melihat—” suara Elden terputus saat melihat wajah yang dikenalnya dengan baik.Liona.Wanita itu terperangah,
Pagi itu langit tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hati Angga yang masih berkecamuk. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan jas kerjanya dengan gerakan perlahan. Di belakangnya, Ziandra memerhatikan dalam diam, lalu merapikan dasi suaminya dengan sentuhan lembut.“Sudah siap?” tanyanya pelan, suara yang terdengar seperti bisikan penuh perhatian.Angga mengangguk singkat. “Belum sepenuhnya. Tapi, aku sadar bahwa tidak bisa terus-terusan di rumah sakit. Perusahaan juga membutuhkan aku.”Ziandra tersenyum kecil, lalu mengaitkan tangannya ke lengan sang suami. “Aku akan setia menemanimu. Kau tidak sendirian.”Dengan langkah berat tapi pasti, mereka berangkat ke kantor. Meski pikirannya masih tertuju pada kondisi sang ayah yang belum sadarkan diri, Angga berusaha keras untuk tetap fokus. Ia tahu, sebagai CEO, ada banyak hal yang harus ia jaga. Bukan hanya kelangsungan perusahaan, tetapi juga kepercayaan para pegawai yang mengandalkannya.Sesampainya di kantor, suasana terasa sedik
Elden terdiam sebentar, lalu menjawab pelan. [“Ya, aku di rumah sakit itu. Bagaimana kau bisa tahu?”]Tanpa buang waktu Ziandra berdiri bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, tunggu aku sebentar! Aku akan segera ke sana.”Ziandra menutup telepon dengan napas memburu. Matanya segera menoleh ke arah ruang ICU, memastikan Angga masih berada di dalam. Dari balik kaca bening, ia melihat pria itu berdiri tegak di samping ranjang ayahnya, tidak bergerak sedikit pun. Jelas sekali Angga belum menyadari apa pun selain fokusnya yang tertambat pada kondisi sang ayah.Tanpa berpikir panjang, Ziandra berbalik dan melangkah cepat menyusuri lorong. Detak langkahnya menggema, menandai betapa terburu-burunya ia menelusuri tiap sudut rumah sakit. Tidak butuh waktu lama hingga ia menemukan bangsal yang dimaksud Elden—tidak terlalu jauh dari ruang ICU. Hanya terpaut satu belokan kecil dan dua ruangan ke samping.Pandangan matanya langsung tertuju pada sosok pria yang duduk sendirian di bangku panjang, pung
Devan terpaku. Matanya menatap langsung ke mata Angga, tetapi tidak ada jawaban keluar dari mulutnya. Hanya napasnya yang mulai memburu, seolah tubuhnya tahu bahwa ia tengah disudutkan meski pikirannya mencoba menyangkal. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, dan tangan yang dikepal di sisi tubuhnya gemetar tak kentara.“Jawab aku, Devan,” suara Angga rendah namun mengandung tekanan kuat. ““A-Apa maksudmu?” tanyanya akhirnya, pelan namun terdengar jelas dalam keheningan lorong.Angga melangkah mendekat, satu langkah yang cukup untuk membuat Devan mundur setengah langkah secara refleks. Tatapan itu masih menusuk, dan bahunya yang tegap terlihat mengeras.“Jangan berpura-pura tidak tahu. Gelagatmu tadi pagi yang mengikutiku, sudah cukup jadi bukti jelas bahwa ada yang sedang kau sembunyikan.”“Aku tidak tahu,” jawab Devan akhirnya, perlahan namun mantap. “Aku hanya salah menduga targetnya.”Kening Angga mengernyit, seketika rasa penasarannya makin dalam. “Salah menduga target? Oh, b
Rumah sakit dipenuhi aroma alkohol medis dan udara dingin yang terlalu kering. Angga berjalan cepat menyusuri lorong, menggenggam tangan Ziandra erat-erat seolah itu satu-satunya pegangan agar ia tidak jatuh. Begitu sampai di depan ruang operasi, matanya langsung menangkap dua sosok duduk di kursi tunggu.Vidia dan Devan. Keduanya nampak tegang, dengan mata sembab dan tubuh yang hampir membeku. Namun, yang paling membuat Angga tercekat bukan mereka, melainkan lampu merah menyala terang di atas pintu bertuliskan ‘OPERASI SEDANG BERLANGSUNG’.Angga berhenti mendadak. Pandangannya terpaku pada tulisan itu. Seakan dunia berhenti bergerak.Kakinya terasa lemas. Ia menghela napas pendek, tapi dadanya terasa berat.“Baru semalam ...,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar, “Baru semalam kami bicara begitu santai. Baru semalam akhirnya aku bisa menganggap dia ayahku lagi setelah sekian lama semenjak dia berubah.”Tangannya mengepal, dan sebelum Ziandra sempat berkata apa pun, Angga mulai berja
Langkah Angga terdengar berat saat memasuki kantor. Pintu ruangan utamanya terbuka lebar, disambut tatapan penasaran beberapa karyawan yang sempat melihat ia masuk dengan wajah muram dan langkah cepat.“Kurang aja memang bocah itu!” gerutunya sambil melempar map ke atas meja kerja dengan kasar. “Menguntit, lalu membuat keributan di jalan. Apa dia pikir aku ini boneka yang bisa dipermainkan seenaknya?”Ziandra yang sedari tadi berjalan di belakang suaminya, memilih menutup pintu ruangan perlahan dan mengunci agar tidak ada yang masuk sembarangan. Ia mendekat, menatap Angga dengan hati-hati. “Tenanglah. Semua sudah selesai, kan?”Angga menghempaskan tubuhnya ke kursi, mengusap wajah dengan kedua tangan. “Tidak semudah itu, Zia. Dia terus saja memancing emosiku, dan aku yakin dia akan membuat masalah lagi.”Ziandra berjalan mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Angga. “Aku tahu kau kesal. Tapi kalau terus marah begini, kau akan kehilangan fokus. Jangan biarkan Devan mengacaukan har
“Aku dan Ziandra pamit pulang dulu, Ayah,” ucap Angga sopan.Pak Yuda mengangguk tenang. “Menginaplah sesekali jika kau tidak terlalu sibuk.”Angga hanya mengangguk membalasnya. Ia menggandeng tangan Ziandra lembut lalu keduanya masuk ke mobil.Vidia ikut melambaikan tangannya, mencoba terlihat ramah tapi ada senyum miring yang terukir samar di bibirnya. “Hati-hati di jalan.”Devan berdiri di sisi pintu, menyaksikan semua itu. Matanya bergantian menatap wajah ibunya dan langkah kepergian Angga. Jantungnya berdebar kencang. Tatapan ibunya saat mengucapkan kalimat itu membuat bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu di balik senyuman tipis itu yang membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia melihat mobil Angga melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Napasnya terasa berat.“Kenapa ekspresimu seperti itu?” tanya Vidia pelan, saat mereka kembali ke dalam rumah.Devan menoleh cepat. “Tidak apa-apa,” elaknya ketus.Devan pergi begitu saja masuk ke mobilnya sendiri,
Di kamar yang luas dan elegan dengan lampu gantung klasik yang menggantung di langit-langit, Angga dan Ziandra duduk di sisi ranjang. Keduanya tampak lebih santai setelah ketegangan di ruang tamu tadi mereda.Ziandra menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk di tengah kamar, menghela napas panjang. “Akhirnya, selesai juga drama malam ini,” gumamnya sambil menatap langit-langit.Angga hanya tertawa kecil, lalu melepas jasnya dan melemparkannya ke sandaran kursi. “Drama? Kurasa itu lebih mirip pertunjukkan teater keluarga bergengsi. Kau lihat bagaimana ekspresi wajah Devan saat Ayah memintaku menginap? Seperti anak kecil yang direbut mainannya.”Ziandra tertawa, menyembunyikan wajahnya di bantal. “Jangan kejam begitu. Tapi ya ... aku senang sekali Ayahmu akhirnya mengakuimu malam ini. Bahkan memintamu menginap secara langsung, itu sudah seperti mukjizat kecil.”“Aku bahkan nyaris tidak percaya Ayah bilang begitu tadi. Menyuruh kita menginap.” Angga tertawa kecil, nada suaranya mengandung ke