Belvina berdiri mematung di ambang pintu rumah kecil itu. Tatapannya kosong, menatap dinding kusam di dalam ruangan yang kini menjadi tempat singgahnya. Liam tertidur di pelukannya, masih memeluk erat boneka kecil yang ia beli di supermarket kemarin.
Liona menutup pintu pelan, lalu memutar kunci. Ia berbalik, menyandarkan tubuhnya di balik daun pintu sambil menatap Belvina.
“Aku tidak di sini untuk bersahabat. Jadi sebaiknya kau tidak mencoba mencari simpati dariku,” ucapnya dingin.
Belvina mengangguk pelan, tak berniat membalas. Ia tahu, untuk saat ini, tidak ada gunanya melawan.
“Kalau kau berpikir bisa kabur, pikirkan lagi. Devan bilang kalau kau macam-macam, Liam yang akan jadi taruhannya.”
Nada Liona sangat datar, seperti sedang membacakan kalimat dari buku manual. Namun justru karena itulah kalimat itu terasa menakutkan.
Belvina menggigit bibir, menahan gemetar. Ia menunduk, membelai rambut Liam yang lembut. &ld
Setelah mengucapkan kalimat menggantung itu, Liona menatap Ziandra dengan sorot mata puas. Melihat wajah Ziandra yang mulai mengeras, ia segera menarik tangan perempuan itu dengan kasar.“Aku belum selesai,” desisnya.“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!” seru Ziandra berusaha menarik lengannya, namun Liona tetap menggenggam erat.“Kau harus melihat ini dengan matamu sendiri,” ujar Liona cepat, menyeret Ziandra melewati lorong samping kantor yang jarang dilewati orang. Langkahnya cepat dan tak peduli pada sorot mata beberapa karyawan yang sempat melihat.Mereka berhenti di depan sebuah ruangan kecil bertuliskan gudang. Tanpa banyak bicara. Liona membuka pintu dengan kasar dan mendorong Ziandra masuk ke dalam.“Liona! Kau gila?!”Ruangan itu sempit dan berbau lembap, dengan beberapa tumpukan kardus di sisi dinding. Lampunya redup, tapi masih cukup untuk bisa melihat jelas keadaan sekitar dengan
Belvina duduk di sudut ruangan dengan wajah kusut. Sedangkan Liam sedang bermain sendirian dengan bonekanya di kamar yang bisa dibilang kecil dan pengap itu. Untung saja Liam bukan termasuk bocah rewel yang susah beradaptasi dengan tempat baru. Liona, yang sejak tadi duduk di sofa dengan kaki bertumpuk dan tangan sibuk memainkan ponsel, tampak sama sekali tidak peduli.Pintu mendadak terbuka. Devan muncul, berdiri tegak dengan sorot mata tajam yang membuat suasana ruangan seketika berubah tegang.Liona segera berdiri, agak terkejut, tapi senyum licik langsung terukir di bibirnya. “Wah, akhirnya datang juga. Aku kira kau akan membuatku menunggu lebih lama.”Devan menutup pintu pelan, matanya menyapu cepat ruangan. Ia menatap sekilas pada kamar yang terbuka sedikit pintunya, di sana ada Liam yang tak terganggu dengan kebisingan di luar kamar. Sedangkan Belvina mengangkat wajahnya, sedikit panik melihat kedatangan Devan yang tiba-tiba. Buru-buru ia berd
Belvina berdiri mematung di ambang pintu rumah kecil itu. Tatapannya kosong, menatap dinding kusam di dalam ruangan yang kini menjadi tempat singgahnya. Liam tertidur di pelukannya, masih memeluk erat boneka kecil yang ia beli di supermarket kemarin.Liona menutup pintu pelan, lalu memutar kunci. Ia berbalik, menyandarkan tubuhnya di balik daun pintu sambil menatap Belvina.“Aku tidak di sini untuk bersahabat. Jadi sebaiknya kau tidak mencoba mencari simpati dariku,” ucapnya dingin.Belvina mengangguk pelan, tak berniat membalas. Ia tahu, untuk saat ini, tidak ada gunanya melawan.“Kalau kau berpikir bisa kabur, pikirkan lagi. Devan bilang kalau kau macam-macam, Liam yang akan jadi taruhannya.”Nada Liona sangat datar, seperti sedang membacakan kalimat dari buku manual. Namun justru karena itulah kalimat itu terasa menakutkan.Belvina menggigit bibir, menahan gemetar. Ia menunduk, membelai rambut Liam yang lembut. &ld
Ketukan pintu menggema di ruang tunggu rumah sakit tempat Ziandra dan Angga duduk menanti kabar terbaru dari kondisi Pak Yuda yang sedang menjalani pemantauan berkala. Seorang pria dengan setelan serba hitam, mengenakan lencana kecil di saku dada kirinya, muncul di ambang pintu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai detektif dari kepolisian yang ditugaskan menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpa Pak Yuda.Ziandra terkejut, matanya melebar menatap Angga. “Kau melaporkan ini ke polisi?” bisiknya pelan, nyaris tak percaya.Angga hanya mengangguk kecil. Tatapannya lurus, tak bergeming.“Ada yang harus saya sampaikan secara langsung,” ucap detektif itu serius. “Berdasarkan penyelidikan awal, kami menduga bahwa mobil yang dikendarai Pak Yuda mengalami sabotase. Dengan kata lain, kecelakaan itu kemungkinan besar telah direncakan.”Ziandra menelan ludahnya. Dadanya berdebar tak karuan.“Siapa yang diduga melakukan ha
Langit di luar jendela pesawat terlihat biru pucat, diwarnai awan tipis yang menggumpal seperti kapas. Di dalam kabin kelas bisnis yang nyaman, lampu kabin diredupkan, memberikan kesan malam meski waktu masih menunjukkan siang. Suara mesin pesawat bergema lembut, menciptakan suasana sunyi yang anehnya menenangkan.Devan duduk di kursi dekat jendela, diam membisu, sementara Belvina duduk di sebelahnya dengan Liam yang tertidur di pangkuannya. Bocah kecil itu tampak sangat tenang, napasnya teratur, dengan wajah polos yang begitu damai. Tangan mungilnya menggenggam ujung cardigan ibunya, dan sesekali tubuh kecilnya bergerak sedikit, seperti mencari posisi yang lebih nyaman.Entah sejak kapan, pandangan Devan teralihkan dari jendela ke arah bocah kecil itu. Pandangannya tajam, tapi bukan karena marah. Justru ada semacam keterpukauan yang sulit ia definisikan. Tatapan polos dalam tidurnya, senyum samar yang kadang muncul entah karena mimpi apa, dan kepalanya yang sesekali b
Langit mulai cerah sepenuhnya ketika Ziandra dan Angga melangkah keluar dari gedung rumah sakit. Angin pagi yang lembut menyapu wajah mereka, membawa aroma segar yang sedikit mengusir sisa ketegangan yang masih menggantung.Ziandra berjalan setengah ragu di samping Angga. Tatapan Vidia tadi, kata-katanya yang menusuk, dan tuduhan tanpa dasar itu masih bergema samar di pikirannya. Tapi genggaman tangan Angga yang hangat di pergelangan tangannya menjadi pengingat bahwa dia tidak sendirian.“Kenapa menunduk terus?” tanya Angga pelan, membuka pintu mobil untuknya. “Kalau terus begini, orang-orang bisa salah paham. Dikira suamimu galak.”Ziandra tersenyum tipis, kemudian menghela napas sebelum masuk ke dalam mobil. “Aku hanya merasa sedikit tegang karena tadi.”Angga menutup pintu lalu masuk ke kursi kemudi. Setelah menyalakan mesin, ia menoleh dan menatap Ziandra dengan lembut.“Aku tahu tadi mudah. Tapi kau ku