LOGINAmara menatap wajah Darian yang tepat berada di depan matanya. Meski pria itu tersenyum, Amara bisa merasakan ada ketegangan yang tersembunyi di balik sorot mata abu-abu itu. "Ini sudah jam sepuluh lewat, Mas," ucap Amara lembut sambil melirik jam dinding. "Apa kau tidak pergi ke kantor? Biasanya jam segini kau sudah sibuk dengan rapat-rapat besar, bukan?" Darian menggeleng pelan, jemarinya beralih mengusap punggung tangan Amara dengan gerakan ritmis yang menenangkan, seolah ia sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa Amara masih di sana, aman bersamanya. "Urusan kantor sudah kuserahkan pada Marco untuk sementara waktu. Tidak ada yang lebih penting daripada memastikanmu pulih sepenuhnya, Sayang. Jadi, tidak masalah jika aku tidak ke kantor hari ini, atau bahkan beberapa hari ke depan," jawab Darian dengan suara baritonnya yang mantap. Amara mengernyit kecil, merasa sedikit bersalah. "Tapi Mas, Arcus Capital dan Lancaster Group itu perusahaan besar. Aku tidak ingin menjadi a
Di lorong, Marco menunjukkan layar tabletnya. Berita utama di kanal finansial Solterra sedang memanas, menampilkan foto seorang pria dengan setelan jas hitam elegan yang baru saja turun dari jet pribadi. Tatapannya tajam, dingin, dan penuh ambisi. "Kembalinya Sang Pewaris Tunggal: Maximilian Heuston Siap Ambil Alih Heuston Corp dan Guncang Pasar Solterra." "Maximilian..." desis Darian, rahangnya mengeras seketika hingga otot lehernya menegang. "Benar, Tuan," lapor Marco dengan nada rendah dan waspada. "Tuan Maximilian Heuston telah kembali setelah lima belas tahun berada di luar negeri. Dia baru saja mendarat pagi ini untuk meneruskan warisan keluarganya. Heuston Corp kini muncul sebagai rival terkuat Arcus Capital dan Lancaster Group. Kabarnya, dia sudah menyiapkan strategi agresif untuk merebut pasar Asia." Darian teringat kembali pada masa sekolah mereka. Max, begitu ia dulu dipanggil, adalah remaja tampan namun memiliki sisi gelap yang mengerikan. Karena obsesi gil
Tak lama kemudian, Dokter Park masuk bersama perawat untuk melakukan pemeriksaan rutin. Melihat Darian yang masih setia di sana, Dokter Park tersenyum simpul. "Kondisi Nona Amara menunjukkan kemajuan yang luar biasa, Tuan Darian. Tekanan intrakranialnya sudah normal," lapor Dokter Park. "Hari ini, kita bisa mulai mencoba untuk duduk tegak dan berjalan ringan di dalam ruangan. Otot-ototnya perlu digerakkan agar tidak kaku." Saat perawat hendak membantu Amara untuk duduk, Darian mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka mundur. "Biar aku saja," perintah Darian. Dengan sangat hati-hati, Darian menyelipkan lengannya di bawah bahu Amara dan membantunya bersandar pada tumpukan bantal. Gerakannya sangat protektif, seolah Amara adalah porselen retak yang bisa hancur kapan saja. "Pelan-pelan," bisik Darian tepat di telinga Amara, membuat wajah Amara sedikit merona. Untuk pertama kalinya setelah kecelakaan itu, Amara bisa melihat ruangan dengan sudut pandang yang berbe
Lampu-lampu jalanan kota Solterra melesat seperti garis putih di samping mobil Darian. Pikirannya kalut. Provokasi Grace tentang "Camar" berhasil menyentuh saraf sensitif di otaknya. Ingatan tentang gadis kecil yang menariknya dari gudang tua itu kembali muncul, janji yang ia bisikkan dengan suara serak belasan tahun lalu seolah menagih kembali komitmennya. 'Apakah aku akan mengkhianati janji masa kecilku jika aku mencintai Amara sepenuhnya?' Kegelisahan itu menyelimuti hatinya hingga ia tiba di Rumah Sakit Utama Lancaster. Langkah kakinya yang berat menggema di koridor sunyi menuju kamar VVIP. Di depan pintu, Marco berdiri siaga. "Tuan," Marco membungkuk hormat. "Nona Amara sudah tidur sekitar satu jam yang lalu setelah minum obatnya." Darian hanya mengangguk pelan, raut wajahnya tampak sangat lelah. Ia membuka pintu perlahan, tidak ingin menimbulkan suara sekecil apa pun. Di dalam ruangan, hanya ada cahaya redup dari lampu tidur. Aroma minyak herbal milik Maya samar-s
Darian melirik jam tangan mahal di pergelangan tangannya untuk kesekian kali. Setiap detik di ruangan ini terasa seperti siksaan baginya. Ia menoleh ke arah Mamanya, Jasmine dan para tetua, memasang wajah penutup yang paling sopan yang bisa ia kumpulkan. "Mama, Papa, Kek, Nek," suara Darian rendah namun cukup tegas untuk menghentikan percakapan di Meja Utama. "Saya harus pamit sekarang. Ada urusan mendesak di Arcus yang membutuhkan kehadiran saya segera." Sofia Jasmine menatap putranya dalam-diam, ia tahu persis "urusan mendesak" itu berada di kamar rumah sakit, bukan di kantor. "Begitu ya? Baiklah, Darian. Hati-hati di jalan. Terima kasih sudah datang untuk Mama." "Jangan bekerja terlalu keras, Rian," timpal Nenek Martha sambil menepuk tangan Darian. "Kabari Nenek kalau teman wanitamu itu sudah membaik." Darian mengangguk pelan, mencium tangan kakek dan neneknya, lalu berbalik pergi tanpa sekali pun melirik ke arah keluarga Adhiyaksa yang duduk membeku. Ia melangkah
Alexander Adhiyaksa dan Amelia Kate melangkah masuk dengan langkah yang ragu. Di belakang mereka, Grace mengekor dengan kepala sedikit tertunduk. Grace tampak pucat, tubuhnya terbalut gaun sutra yang indah, namun sebuah syal tipis melilit lehernya, sebuah taktik untuk menutupi jejak memar biru akibat cengkeraman Darian di rumah sakit tempo hari. Alexander bersikap sangat sopan, nyaris terlihat tunduk saat menyapa Liam Lancaster. Ia tahu betul posisinya sedang di ujung tanduk karena bukti CCTV yang dipegang Darian bisa menghancurkan reputasi keluarganya dalam semalam. "Liam, Jasmine... selamat atas pertambahan usiamu. Pesta ini sungguh luar biasa," Alexander menjabat tangan Liam dengan hormat yang berlebihan. "Terima kasih, Alexander. Senang kau bisa hadir," jawab Liam singkat, nada suaranya netral namun tetap memberikan jarak yang tegas. Amelia Kate mendekati Sofia Jasmine, berbincang basa-basi tentang perhiasan sambil menyerahkan kado mewahnya. Sementara itu, Grace be







