LOGINAmara Aurelia menatap langit-langit putih kamar rawat inapnya. Udara pagi yang sejuk masuk dari celah jendela, tapi tidak mampu mengusir gejolak di dadanya. Kata-kata yang ia ucapkan pada Darian Lancaster semalam terus bergema di kepalanya. Seorang staf biasa berani meminta hal segila itu kepada CEO dingin nan arogan? Memalukan.
Namun di balik rasa malu itu, ada penyesalan yang lebih dalam. Nyaris mati karena kecelakaan, membuatnya sadar: ia benar-benar sebatang kara. Seumur hidup ia tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi keluarga. Tapi sekarang, satu-satunya hal yang terlintas justru “bagaimana jika aku menghilang tanpa meninggalkan apa-apa?” Tekad itu lebih kuat daripada rasa takutnya kepada Darian. Pintu terbuka. Darian masuk tanpa mengetuk, langkahnya tenang dan terukur, tetapi auranya yang menekan langsung memenuhi ruangan. Ia terlihat sempurna seperti biasa. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang atletis, menambah kesan dominan. Tatapan mata abu-abunya yang tajam menyorot Amara, seolah ia sedang menaksir nilai sebuah aset. “Kamu terlihat lebih baik,” katanya datar. “Terima kasih.” Amara menunduk. “Maafkan saya atas apa yang saya katakan kemarin malam. Mungkin saya belum sepenuhnya sadar.” Darian berhenti di sisi ranjang, senyum tipis di sudut bibirnya. “Kau pikir dengan menarik kembali ucapanmu aku akan lupa?” Amara mengangkat wajah, tekad dan ketakutan campur jadi satu. “Tidak, Pak. Saya tidak menariknya. Saya hanya… merasa bodoh mengatakannya.” "Bodoh? Itu tidak hanya bodoh, Amara," Darian mencondongkan tubuhnya, suaranya berbisik namun menusuk. "Itu adalah permintaan paling gila yang pernahku dengar sepanjang hidupku. Kamu pikir aku ini apa? Sebuah bank sperma berjalan?" Amara menelan ludah, wajahnya memerah. “Maaf.” Darian menatapnya dengan lekat saat Amara terdiam. "Jadi, kamu pikir aku akan bertanggung jawab atas semua itu? Atas keinginan sepihakmu?" "Saya tidak meminta uang. Saya tidak meminta kompensasi. Saya hanya meminta kesempatan hidup. Kesempatan untuk memiliki apa yang nyaris saya lewatkan. Jika Bapak tidak berkenan, silahkan lupakan.” Darian berjalan mondar-mandir di ruangan, tangan kanannya di saku celana. Rambut hitamnya yang rapi tampak berkilau di bawah cahaya lampu. Aura mencekamnya membuat Amara ingin bersembunyi di bawah selimut. Ia membalikkan badan dan menatap Amara. "Kamu adalah wanita yang cerdas, Amara. Laporanmu memang bodoh, tapi saya tahu otakmu tidak. Jadi, mari kita kesampingkan emosi dan bicara tentang logika," kata Darian. "Kamu ingin anak, dan kamu mau aku yang menjadi ayahnya. Kenapa aku harus setuju? Berikan aku satu alasan logis." "Karena Anda adalah satu-satunya yang tidak akan meminta imbalan apa pun," jawab Amara. "Anda tidak akan peduli, Pak. Anda tidak akan meminta pernikahan, tidak akan meminta hak asuh, tidak akan mengganggu hidup saya. Benar poin saya?” Jawaban Amara yang jujur dan tanpa basa-basi itu membuat Darian terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Gadis ini benar. Ia tidak akan peduli. Ia tidak akan menuntut apa pun, karena baginya, semua ini hanyalah sebuah transaksi. Sesuai dengan sifatnya yang dingin dan kejam. "Tentu saja aku tidak akan peduli," kata Darian, nada suaranya kembali dingin. "Bahkan jika kamu hamil, aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai anakku. Dia hanyalah... anakmu. Dan aku hanya akan menjadi... donor, seperti yang kamu katakan." Darian berjalan ke meja kecil di sudut ruangan dan mengambil sebuah pulpen. "Tapi aku punya syarat. Kita akan membuat perjanjian. Sebuah kontrak yang mengikat kita berdua. Kamu akan mendapatkan yang kamu inginkan, tapi dengan semua aturanku." Amara memandang Darian dengan mata membelalak. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan. Kontrak seperti apa? Apakah ini benar-benar terjadi? Namun, ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatannya. Kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. "Apa... apa aturannya, Pak?" tanya Amara. “Pertama, tidak boleh membicarakan ini pada siapa pun. Kedua, setelah kau hamil kita tidak akan bertemu lagi. Ketiga, aku tidak akan meminta hak asuh, tapi kau juga tidak akan pernah mengklaim anak itu anakku. Kau tidak boleh memakai namaku atau nama perusahaanku. Dan terakhir…” Darian menatapnya tajam. “…kau akan melakukan apa pun yang kubutuhkan agar ini berhasil.” Senyum miringnya membuat tulang punggung Amara merinding. "Kamu akan tahu nanti. Aku akan mengirimkan kontrak secepatnya. Pikirkan baik-baik, Nona Aurelia. Kesepakatan ini akan mengikat hidupmu. Tapi ini adalah kesempatan satu-satunya bagimu untuk mendapatkan yang kamu inginkan. Kamu bisa menjadi seorang ibu.”Evan menaiki tangga spiral dengan langkah yang ringan dan penuh perhitungan. Senyum tipis, yang lebih menyerupai seringai, terukir di bibirnya. Tujuan utamanya bukan berkas kerja yang ia jadikan alasan kepada Bi Ana di bawah. Tujuannya adalah misteri 'Nona' yang membuat Darian, si patung es Arcus, kehilangan ketenangan. Evan sampai di Lantai Dua. Ia menelisik sekeliling, merasakan keheningan yang berbeda dari biasanya. 'Kakak pasti menyembunyikan seseorang. Lantai Dua ini terasa terlalu... terawat untuk hanya dihuni Bi Ana.' Fokusnya mengarah ke kamar tamu yang pernah ditidurinya beberapa kali saat berkunjung ke penthouse ini. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci dengan kuat dari dalam. "Kenapa kamar ini dikunci?" gumam Evan pelan, dahinya berkerut karena penasaran. Ia mencoba gagang pintu itu lagi, memutarnya keras, tetapi kuncinya tidak bergeser sedikit pun. "Seorang pelayan tidak mungkin mengunci kamar tamu di siang hari kalau tidak ada yang disembunyikan. Ini
Darian memastikan pintu utama penthouse terkunci rapat, mengunci kembali setiap mekanisme keamanan canggih. Ia menghela napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena kelelahan emosional. Kepalanya terasa pening setelah drama adu argumen dengan Evan. Ia segera menaiki tangga spiral, langkahnya lebih berat dari biasanya. 'Kenapa Evan harus datang sekarang? Dan kenapa dia sepenasaran itu pada Amara?' Darian menggerutu dalam hati. Ia sadar, ketertarikan Evan pada wanita yang ia sembunyikan, sekecil apa pun itu, adalah racun mematikan bagi kerahasiaan kontrak ini. Darian kemudian berjalan menuju kamar Amara, mengetuknya pelan, memanggil dengan suara yang sengaja dilembutkan. "Amara, buka pintunya. Ini aku," panggil Darian, suaranya sedikit serak dan rendah, sisa dari ketegangan yang baru saja ia alami. Amara segera berjalan mendekat, kunci diputar perlahan. Ia membuka pintu setengah, wajahnya yang cantik terlihat cemas. Darian berdiri di sana, auranya yang dingin tampak sedik
Darian baru saja keluar dari kamar Amara, hatinya masih menyimpan gejolak dari sentuhan singkat saat ia memasangkan liontin. Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di ujung lorong Lantai Dua. Tiba-tiba, suara bel pintu yang nyaring di Lantai Satu terdengar memecah keheningan penthouse. Darian, yang bersiap masuk ke ruang kerja, mengerutkan kening. Siapa yang berani mengganggu di hari Minggu malam? Tak lama, suara langkah kaki Bi Ana yang tergesa menaiki tangga spiral terdengar. Bi Ana langsung menuju kantor Darian dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Tuan Darian! Tuan Evan datang berkunjung!" lapor Bi Ana. Darian terkejut, ekspresinya langsung mengeras. Ia tahu ini adalah ancaman besar. "Evan?" gumamnya, suaranya mengandung bahaya. Ia mengangguk cepat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku akan menemuinya, Bi," kata Darian, suaranya rendah dan tajam. Ia memberi peringatan kepada Bi Ana di dalam kantornya. "Ingat, Bi. Jangan bilang soal Amara. Aku tida
Darian tiba di penthouse megah di Solterra sebelum matahari terbit. Udara subuh kota itu terasa dingin, tetapi Darian segera mandi dan berganti pakaian, menyingkirkan aroma lelah perjalanan. Meskipun jetlagnya menusuk, ia tidak bisa menunggu lama. Kebutuhan untuk melihat Amara dan menepati janjinya lebih mendesak. Tepat pukul 08.00, setelah Amara menyelesaikan ritual suntikan paginya, Darian mengetuk pintu. "Masuk," jawab Amara, yang sedang sarapan di sofa kecil di kamarnya. Amara segera meletakkan sendoknya, terkejut melihat Darian. Pria itu berdiri di ambang pintu, tampak rapi dengan kemeja oxford berwarna charcoal dan celana kain yang santai. Namun, kelelahan akibat perjalanan lintas benua terlihat jelas di bawah matanya. "Pagi, Amara. Aku kembali," sapa Darian. Suaranya rendah dan serak, tetapi kelembutan yang ia tunjukkan belakangan ini tetap terasa. "Bagaimana tidurmu setelah panggilan tadi malam?"
Pagi hari, Amara terbangun setelah tidur yang gelisah. Rasa lelahnya berbeda, bukan lagi lelah fisik akibat obat, melainkan lelah mental yang menumpuk. Di kota metropolitan Solterra yang selalu bergerak cepat, Amara terperangkap dalam keheningan penthouse mewah itu. Hari keenam Two Week Wait (TWW) adalah titik kritis. Secara teori, ini adalah masa puncak implantasi janin. Dan secara emosional, ini adalah masa puncak kecemasan. Amara merasakan mual yang lebih kuat hari ini. Sensasi itu datang seperti gelombang, membuatnya harus segera duduk tegak di tempat tidur. 'Mual ini...' Amara memejamkan mata. 'Apakah ini mual kehamilan? Atau hanya efek Progesteron yang mencekik tubuhku?' Ia tahu ia tidak boleh mencari gejala. Ia tahu obsesi ini hanya akan menyakitinya. Namun, otak biologisnya terus menerus mencatat setiap sensasi. "Aku tidak boleh berharap. Jika aku terlalu berharap, dan ternyata aku gagal... Pak Darian akan kecewa. Dia sudah berkorban begitu banyak, mengatur segalany
Pagi hari tiba, menandai hari kelima dalam masa Two Week Wait yang terasa tak berujung. Amara terbangun bukan karena alarm, melainkan karena rasa nyeri yang menjalar di punggung bawah. 'Punggungku sakit sekali. apakah ini kram lagi?' Amara segera meraih ponsel, siap memanggil Suster Dewi, tetapi rasa sakit itu mereda secepat kedatangannya. Ia menarik napas lega. 'Hanya ilusi. Hanya otot yang tegang karena terlalu banyak istirahat,' Amara mencoba menenangkan pikirannya. Progesteron memang sering menyebabkan nyeri punggung, tetapi rasa cemas selalu menyertai setiap sensasi baru. Pukul 08.00, Suster Dewi datang dengan senyum cerah. "Pagi, Bu Amara. Bagaimana hari ini? Ada keluhan baru?" tanya Suster Dewi sambil menyiapkan ampul PIO. "Punggung bawah saya terasa sakit sebentar tadi, Suster. Apakah itu normal?" tanya Amara, nada suaranya sedikit ragu. Suster Dewi memeriksa denyut nadinya dengan teliti. "Sangat normal, Bu. Progesteron membuat ligamen dan otot di sekitar pa







