Home / Romansa / Pak Ceo, Aku Ingin Anak / ​Bab 2: Kesepakatan yang Tidak Terduga

Share

​Bab 2: Kesepakatan yang Tidak Terduga

Author: Za_dibah
last update Last Updated: 2025-09-10 19:43:15

​Amara Aurelia menatap langit-langit putih kamar rawat inapnya. Udara pagi yang sejuk masuk dari celah jendela, tapi tidak mampu mengusir gejolak di dadanya. Kata-kata yang ia ucapkan pada Darian Lancaster semalam terus bergema di kepalanya. Seorang staf biasa berani meminta hal segila itu kepada CEO dingin nan arogan? Memalukan.

Namun di balik rasa malu itu, ada penyesalan yang lebih dalam. Nyaris mati karena kecelakaan, membuatnya sadar: ia benar-benar sebatang kara. Seumur hidup ia tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi keluarga. Tapi sekarang, satu-satunya hal yang terlintas justru “bagaimana jika aku menghilang tanpa meninggalkan apa-apa?” Tekad itu lebih kuat daripada rasa takutnya kepada Darian.

​Pintu terbuka. Darian masuk tanpa mengetuk, langkahnya tenang dan terukur, tetapi auranya yang menekan langsung memenuhi ruangan. Ia terlihat sempurna seperti biasa. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang atletis, menambah kesan dominan. Tatapan mata abu-abunya yang tajam menyorot Amara, seolah ia sedang menaksir nilai sebuah aset.

“Kamu terlihat lebih baik,” katanya datar.

“Terima kasih.” Amara menunduk. “Maafkan saya atas apa yang saya katakan kemarin malam. Mungkin saya belum sepenuhnya sadar.”

Darian berhenti di sisi ranjang, senyum tipis di sudut bibirnya. “Kau pikir dengan menarik kembali ucapanmu aku akan lupa?”

Amara mengangkat wajah, tekad dan ketakutan campur jadi satu. “Tidak, Pak. Saya tidak menariknya. Saya hanya… merasa bodoh mengatakannya.”

​"Bodoh? Itu tidak hanya bodoh, Amara," Darian mencondongkan tubuhnya, suaranya berbisik namun menusuk. "Itu adalah permintaan paling gila yang pernahku dengar sepanjang hidupku. Kamu pikir aku ini apa? Sebuah bank sperma berjalan?"

​Amara menelan ludah, wajahnya memerah. “Maaf.”

​Darian menatapnya dengan lekat saat Amara terdiam. "Jadi, kamu pikir aku akan bertanggung jawab atas semua itu? Atas keinginan sepihakmu?"

"Saya tidak meminta uang. Saya tidak meminta kompensasi. Saya hanya meminta kesempatan hidup. Kesempatan untuk memiliki apa yang nyaris saya lewatkan. Jika Bapak tidak berkenan, silahkan lupakan.”

​Darian berjalan mondar-mandir di ruangan, tangan kanannya di saku celana. Rambut hitamnya yang rapi tampak berkilau di bawah cahaya lampu. Aura mencekamnya membuat Amara ingin bersembunyi di bawah selimut. Ia membalikkan badan dan menatap Amara.

​"Kamu adalah wanita yang cerdas, Amara. Laporanmu memang bodoh, tapi saya tahu otakmu tidak. Jadi, mari kita kesampingkan emosi dan bicara tentang logika," kata Darian. "Kamu ingin anak, dan kamu mau aku yang menjadi ayahnya. Kenapa aku harus setuju? Berikan aku satu alasan logis."

​"Karena Anda adalah satu-satunya yang tidak akan meminta imbalan apa pun," jawab Amara. "Anda tidak akan peduli, Pak. Anda tidak akan meminta pernikahan, tidak akan meminta hak asuh, tidak akan mengganggu hidup saya. Benar poin saya?”

​Jawaban Amara yang jujur dan tanpa basa-basi itu membuat Darian terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Gadis ini benar. Ia tidak akan peduli. Ia tidak akan menuntut apa pun, karena baginya, semua ini hanyalah sebuah transaksi. Sesuai dengan sifatnya yang dingin dan kejam.

​"Tentu saja aku tidak akan peduli," kata Darian, nada suaranya kembali dingin. "Bahkan jika kamu hamil, aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai anakku. Dia hanyalah... anakmu. Dan aku hanya akan menjadi... donor, seperti yang kamu katakan."

​Darian berjalan ke meja kecil di sudut ruangan dan mengambil sebuah pulpen. "Tapi aku punya syarat. Kita akan membuat perjanjian. Sebuah kontrak yang mengikat kita berdua. Kamu akan mendapatkan yang kamu inginkan, tapi dengan semua aturanku."

​Amara memandang Darian dengan mata membelalak. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan. Kontrak seperti apa? Apakah ini benar-benar terjadi? Namun, ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatannya. Kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi.

​"Apa... apa aturannya, Pak?" tanya Amara.

​“Pertama, tidak boleh membicarakan ini pada siapa pun. Kedua, setelah kau hamil kita tidak akan bertemu lagi. Ketiga, aku tidak akan meminta hak asuh, tapi kau juga tidak akan pernah mengklaim anak itu anakku. Kau tidak boleh memakai namaku atau nama perusahaanku. Dan terakhir…” Darian menatapnya tajam. “…kau akan melakukan apa pun yang kubutuhkan agar ini berhasil.”

Senyum miringnya membuat tulang punggung Amara merinding.

"Kamu akan tahu nanti. Aku akan mengirimkan kontrak secepatnya. Pikirkan baik-baik, Nona Aurelia. Kesepakatan ini akan mengikat hidupmu. Tapi ini adalah kesempatan satu-satunya bagimu untuk mendapatkan yang kamu inginkan. Kamu bisa menjadi seorang ibu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 6: Hambar, sama seperti wajahnya.

    Amara menatap layar ponselnya sekali lagi. Pesan singkat itu hanya berisi dua kata: Ke ruanganku sekarang. Ia menarik napas panjang, merapikan kertas-kertas di mejanya, lalu berdiri. Langkahnya terasa berat saat menuju lift. Detik demi detik di dalam kotak logam itu terasa lebih lama dari biasanya, hingga akhirnya pintu terbuka tepat di depan ruangan sang CEO. Pintu kaca besar membentang, tulisan “Ruangan Ceo" membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Amara mengetuk pelan, mendengar suara datar dari dalam. “Masuk.” Ia mendorong pintu. Ruangan luas itu terasa sunyi dan dingin, wangi kopi hitam samar tercium. Darian sudah duduk di balik mejanya, jas abu tua membungkus tubuhnya sempurna. Tatapannya menusuk seperti biasa, dingin, tak terbaca. “Duduk.” Suaranya singkat, tak memberi ruang untuk menawar. Amara duduk di kursi depan meja. Tangannya meremas rok kerjanya di pangkuan, mencoba menahan gugup. Ia belum mengerti kenapa bosnya memanggilnya lagi. Darian menatapnya sejenak,

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 5: Sewa Rahim

    Ruangan mendadak terasa lebih sunyi setelah kata “sewa rahim” terucap. Bunyi pendingin ruangan yang semula samar kini terdengar jelas. Amara duduk kaku di kursinya, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Darian tetap berdiri di dekat jendela, punggungnya lurus, tatapannya tak terbaca. Dokter Anton berdehem pelan, berusaha mencairkan ketegangan. “Baik, kita tidak akan langsung mengambil langkah itu,” ujarnya hati-hati. “Hari ini kita mulai dari pemeriksaan awal. Tes darah lengkap, hormon, USG transvaginal. Setelah hasilnya keluar, kita akan jadwalkan stimulasi ovarium untuk pengambilan sel telur. Biasanya memakan waktu dua minggu sebelum prosedur IVF pertama dilakukan.” Amara mengangguk kecil, masih berusaha mencerna. “Dua minggu…” ia mengulang pelan. “Kami akan memberikan resep obat hormon untuk menyiapkan tubuh Anda,” lanjut Dr. Anton. “Ada vitamin, ada injeksi harian, juga beberapa pembatasan pola makan. Semua agar proses IVF nanti memiliki peluang lebih tinggi.”

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 4: Prosedur Kehamilan.

    Amara mengamati Darian mengambil map berisi kontrak itu. Pria itu menyimpannya di laci dengan gerakan cepat, seolah itu hanya selembar kertas tak berarti. ​"Sudah selesai," kata Darian, suaranya dingin dan lugas. "Kembali bekerja." Amara tidak menoleh, ia hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar dari ruangan itu. ​ Di luar ruangan, tatapan karyawan seolah mengikuti langkahnya. Beberapa berbisik. “Dia lagi…” “Bahkan setelah kecelakaan, dia masih bisa bekerja.” "Apa dia dimarahi lagi?" "Mungkin..." Amara pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa. Di mejanya, tumpukan berkas menunggu. Ia menarik napas panjang, lalu duduk. Lina, rekan satu divisi, mendekat. “Kau baik-baik saja? Mukamu pucat.” “Aku baik. Cuma kurang tidur,” jawab Amara pendek. “Masih sempat analisis data tender yang kemarin?” “Sudah aku kerjakan, tinggal validasi,” kata Amara. Lina tersenyum kecil. “Kau memang mesin.” Amara tidak menanggapi, matanya sudah fokus pada tabel angka dan grafik. Ja

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 3: Pertemuan Tak Terduga

    Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, Amara kembali ke apartemen mungilnya. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan istirahat, kini terasa penuh bayangan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi apartemennya yang sederhana. Perban di dahi dan beberapa memar di lengan dan kakinya menjadi saksi bisu kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Wajahnya masih terlihat pucat dan lelah, jauh dari gambaran Amara yang biasa, yang selalu berusaha tersenyum meski batinnya dipenuhi cemoohan. Ia menghela napas, bayangan Darian Lancaster kembali terlintas. Senyum sinisnya, tatapan mata abu-abunya yang dingin, dan kata-kata tajam yang menembus pertahanan dirinya. "Kamu bahkan tidak takut bicara begitu padaku?" dan "Kamu bahkan tahu apa yang baru saja kamu minta dariku?" ​Amara memejamkan mata, memegang erat pinggiran wastafel. Ia tahu permintaannya gila, tapi bukan itu yang membuatnya terusik. Pikirannya dipenuhi pertanyaan lain: mengapa Darian menolaknya seolah permintaan itu menyi

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   ​Bab 2: Kesepakatan yang Tidak Terduga

    ​Amara Aurelia menatap langit-langit putih kamar rawat inapnya. Udara pagi yang sejuk masuk dari celah jendela, tapi tidak mampu mengusir gejolak di dadanya. Kata-kata yang ia ucapkan pada Darian Lancaster semalam terus bergema di kepalanya. Seorang staf biasa berani meminta hal segila itu kepada CEO dingin nan arogan? Memalukan.Namun di balik rasa malu itu, ada penyesalan yang lebih dalam. Nyaris mati karena kecelakaan, membuatnya sadar: ia benar-benar sebatang kara. Seumur hidup ia tidak pernah memikirkan pernikahan, apalagi keluarga. Tapi sekarang, satu-satunya hal yang terlintas justru “bagaimana jika aku menghilang tanpa meninggalkan apa-apa?” Tekad itu lebih kuat daripada rasa takutnya kepada Darian. ​Pintu terbuka. Darian masuk tanpa mengetuk, langkahnya tenang dan terukur, tetapi auranya yang menekan langsung memenuhi ruangan. Ia terlihat sempurna seperti biasa. Setelan jas hitam mahal membalut tubuhnya yang atletis, menambah kesan dominan. Tatapan mata abu-abunya yang taja

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 1: Sebuah Kesepakatan Berani

    “Apa yang kamu mau? Kompensasi atas kecelakaanmu?” Suara Darian Lancaster terdengar berat dan dingin, memenuhi ruangan rumah sakit yang hening. Amara tercekat. Untuknya, masih hidup saja sudah syukur. Tapi satu penyesalan besar terus menghantui: ia tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak. Ia menelan ludah, lalu berbisik pelan, “Kamu mau jadi ayah anakku… atau hanya sekadar pria yang memberiku anak? Aku mau jadi ibu.” Darian membeku di tempat. Senyum sinis yang biasa menghiasi wajahnya memudar seketika, tergantikan kebingungan. Mata abu-abunya yang tajam menatap Amara intens, seolah hendak menembus pikirannya. Ia berdiri di dekat jendela; bayangan malam membingkai sosok tinggi tegapnya. Kemeja putih yang digulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Aura dominan yang biasa ia pancarkan terasa berlipat ganda, memenuhi ruangan sempit itu. “Maksudnya?” suaranya rendah, menusuk. Amara memberanikan diri menatap balik. “Aku mau jadi ibu,” ulangnya le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status