LOGINSeminggu setelah keluar dari rumah sakit, Amara kembali ke apartemen mungilnya. Hari-hari yang seharusnya diisi dengan istirahat, kini terasa penuh bayangan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi apartemennya yang sederhana. Perban di dahi dan beberapa memar di lengan dan kakinya menjadi saksi bisu kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Wajahnya masih terlihat pucat dan lelah, jauh dari gambaran Amara yang biasa, yang selalu berusaha tersenyum meski batinnya dipenuhi cemoohan.
Ia menghela napas, bayangan Darian Lancaster kembali terlintas. Senyum sinisnya, tatapan mata abu-abunya yang dingin, dan kata-kata tajam yang menembus pertahanan dirinya. "Kamu bahkan tidak takut bicara begitu padaku?" dan "Kamu bahkan tahu apa yang baru saja kamu minta dariku?" Amara memejamkan mata, memegang erat pinggiran wastafel. Ia tahu permintaannya gila, tapi bukan itu yang membuatnya terusik. Pikirannya dipenuhi pertanyaan lain: mengapa Darian menolaknya seolah permintaan itu menyinggung egonya sebagai pria? Mengapa ia berkata seolah-olah ia sendiri tidak mampu memenuhi permintaan itu, padahal semua orang tahu ia adalah pria sempurna. "Sialan," gumam Amara pelan. Perkataan Darian seolah menantangnya, membuatnya semakin penasaran. Ia harus membuang pikiran itu. Hidupnya harus terus berjalan. Ia harus kembali bekerja, meskipun tubuhnya masih terasa sakit. Sesampainya, di kantor. Ia jadi sorot perhatian karena masih banyak perban menyelimuti tubuhnya. "Sudah keluar dari rumah sakit, rupanya. Aku pikir kamu akan mengambil cuti panjang dan menuntut ganti rugi.” ucap Andhika, kepala devisi tempat ia bekerja. Amara terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Saya... saya baik-baik saja, Pak. Saya hanya ingin kembali bekerja," jawabnya pelan. Baru saja ia duduk dimeja kerjanya. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Darian Lancaster muncul di layar. Suara dinginnya terdengar begitu saja di telinga Amara. "Hallo Pak..." "Kalau aku memenuhi permintaanmu," kata Darian diujung telpon, suaranya lebih dalam dan serius. "Apa kau siap menanggung konsekuensinya?" Amara membeku. Jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak pernah mengira Darian akan benar-benar mempertimbangkannya. "Apakah kau... siap menanggung semuanya, Amara?" tanya Darian lagi, kali ini dengan menekankan nama Amara. "Bukan hanya menjadi ibu, tapi juga menjadi milikku, sesuai dengan aturanku?" Amara tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa terdiam dengan mata membelalak, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang lebih besar. Konsekuensi apa yang harus ia bayar untuk menjadi seorang ibu? Dan apakah ia benar-benar siap untuk membayarnya? “Ke ruanganku sekarang,” perintah Darian tanpa basa-basi, lalu sambungan terputus. Amara menarik napas panjang, berusaha mengendalikan degup jantungnya. Dari seberang meja, Lena, rekan satu divisi meliriknya dengan alis terangkat. “Kenapa wajahmu tiba-tiba berat begitu?” tanya Lena pelan. Amara menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa,” sahutnya, memaksakan senyum. Ia lalu berdiri, merapikan blazernya, dan melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas, ke ruangan CEO yang selalu terasa seperti medan perang baginya. Ting Menandai pintu lift terbuka. Amara melangkah keluar dengan langkah yang sedikit ragu. Lantai ini berbeda dengan lantai tempatnya bekerja; karpet tebal meredam suara sepatu, dinding kaca memantulkan bayangan dirinya yang tampak pucat. Udara di sini lebih dingin, lebih kaku, seolah ikut menegangkan suasana. Tidak ada orang di sana kecuali Marco, asisten Darian, yang mengangguk padanya. Marco mempersilakan Amara masuk ke ruangan Darian. Pintu berat itu menutup pelan di belakangnya. Aroma kayu mahal dan kopi yang baru diseduh menyambut Amara, bercampur dengan udara dingin dari AC. Darian berdiri di dekat jendela besar dengan punggung menghadapnya, siluetnya tegap dengan jas gelap sempurna. “Duduk,” suaranya terdengar datar, nyaris tanpa intonasi. Amara menuruti tanpa banyak kata. Ia meletakkan map di pangkuannya, berusaha menjaga ekspresi tetap netral meskipun jantungnya berdebar cepat. Darian berbalik, matanya tajam. “Jadi,” ia memulai, langkahnya tenang menuju meja. “Aku sudah memikirkan permintaanmu.” Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah map tebal berwarna krem, lalu meletakkannya di depan Amara. “Ini. Perjanjian yang akan mengikat kita.” Amara terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil map itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada beberapa lembar dokumen legal. Ia melihat judulnya. Kontrak Pernikahan. Amara mengerutkan keningnya, "Apakah ini pernikahan rahasia?" batin Amara, ia menatap Darian, merasa aneh dengan kontrak pernikahan yang sebelumnya tak ia harapkan.. "Aku akan memberikan apa yang kamu inginkan," kata Darian, suaranya kini terdengar seperti seorang hakim yang menjatuhkan vonis. "Aku akan memberikanmu anak. Tapi dengan syarat-syarat tertentu." Amara terdiam, matanya dipenuhi pertanyaan. "Syarat apa?" Darian menyandarkan kedua tangannya di tepi meja, tubuhnya condong ke depan. Sorot matanya menusuk. "Seperti yang sudah tertulis. Pertama, tidak ada keterikatan emosional. Aku akan memberikan spermaku." Amara menelan ludah. Bagian ini ia sudah duga. Tapi mendengar Darian mengatakannya secara langsung, tanpa emosi, terasa menyakitkan. "Kedua, semua akan berjalan sesuai aturanku. Jika proses pembuahan tidak berhasil maka akan ada cara vegetatif. Kamu akan menyerahkan dirimu sepenuhnya padaku selama proses ini." "Menyerahkan diri?" Amara mengulang, suaranya bergetar. "Maksud Anda, saya akan menjadi... milik Anda?" "Untuk sementara," Darian tersenyum miring. "Hanya sampai kamu hamil. Setelah itu, kamu bebas. Tapi sampai saat itu, kamu harus melakukan semua yang aku minta. Tanpa pertanyaan." "Ketiga, tidak ada klaim kepemilikan. Setelah anak itu lahir, aku tidak akan pernah mengklaimnya sebagai anakku, dan kamu tidak akan pernah membiarkan orang tahu bahwa aku adalah ayahnya. Dan satu lagi... pernikahan ini rahasia, tak boleh ada publik yang tahu mengenai ini. Ingat kau masih bawahanku, tak lebih." Amara memejamkan mata, memproses semua kata-kata Darian. Ia merasakan gelombang kengerian, seolah Darian sedang membuat kontrak dengan jiwanya. Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. Kontrak ini bukan hanya tentang memiliki anak. Ini tentang menjual dirinya, tubuhnya, dan haknya untuk sementara waktu, untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Amara merasa terpukul, seolah dihantam oleh kenyataan yang kejam. "Kenapa..." Amara mencoba bertanya, "Kenapa Anda melakukan ini?" "Karena aku bisa," jawab Darian, matanya dingin. "Ini adalah caraku membayar ganti rugi, Amara. Aku bertanggung jawab atas apa yang terjadi, tapi caraku berbeda. Aku tidak memberimu uang atau barang, aku memberimu apa yang kamu inginkan. Tapi kamu harus bayar harganya." Amara membuka lembar pertama. Matanya membaca cepat, jantungnya berdegup lebih kencang. “Ini… ini seperti yang dia katakan di rumah sakit,” batinnya. Tiga syarat utama itu tertulis jelas, hanya sekarang berbentuk kalimat hukum yang dingin. Di bawahnya ada tambahan pasal-pasal baru: larangan menggunakan nama Darian dan perusahaan untuk keuntungan pribadi, prosedur medis yang harus ia jalani sesuai jadwal Darian, dan klausul pernikahan rahasia. "Saya... mengerti," bisik Amara, suaranya serak. Ia mengangkat kepalanya, menatap Darian dengan tatapan yang penuh tekad, meskipun matanya berkaca-kaca. "Kalau begitu," kata Darian, "tanda tangani." Amara menatap kontrak itu, lalu menatap Darian. Ia tahu ini gila, tetapi ia juga tahu ini adalah satu-satunya cara baginya untuk meninggalkan jejak di dunia ini. Ia mengambil pulpen, menarik napas dalam, dan menandatangani nama Amara Aurelia di bawah garis yang disediakan, menjual dirinya demi sebuah kehidupan yang akan datang.Evan menaiki tangga spiral dengan langkah yang ringan dan penuh perhitungan. Senyum tipis, yang lebih menyerupai seringai, terukir di bibirnya. Tujuan utamanya bukan berkas kerja yang ia jadikan alasan kepada Bi Ana di bawah. Tujuannya adalah misteri 'Nona' yang membuat Darian, si patung es Arcus, kehilangan ketenangan. Evan sampai di Lantai Dua. Ia menelisik sekeliling, merasakan keheningan yang berbeda dari biasanya. 'Kakak pasti menyembunyikan seseorang. Lantai Dua ini terasa terlalu... terawat untuk hanya dihuni Bi Ana.' Fokusnya mengarah ke kamar tamu yang pernah ditidurinya beberapa kali saat berkunjung ke penthouse ini. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci dengan kuat dari dalam. "Kenapa kamar ini dikunci?" gumam Evan pelan, dahinya berkerut karena penasaran. Ia mencoba gagang pintu itu lagi, memutarnya keras, tetapi kuncinya tidak bergeser sedikit pun. "Seorang pelayan tidak mungkin mengunci kamar tamu di siang hari kalau tidak ada yang disembunyikan. Ini
Darian memastikan pintu utama penthouse terkunci rapat, mengunci kembali setiap mekanisme keamanan canggih. Ia menghela napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena kelelahan emosional. Kepalanya terasa pening setelah drama adu argumen dengan Evan. Ia segera menaiki tangga spiral, langkahnya lebih berat dari biasanya. 'Kenapa Evan harus datang sekarang? Dan kenapa dia sepenasaran itu pada Amara?' Darian menggerutu dalam hati. Ia sadar, ketertarikan Evan pada wanita yang ia sembunyikan, sekecil apa pun itu, adalah racun mematikan bagi kerahasiaan kontrak ini. Darian kemudian berjalan menuju kamar Amara, mengetuknya pelan, memanggil dengan suara yang sengaja dilembutkan. "Amara, buka pintunya. Ini aku," panggil Darian, suaranya sedikit serak dan rendah, sisa dari ketegangan yang baru saja ia alami. Amara segera berjalan mendekat, kunci diputar perlahan. Ia membuka pintu setengah, wajahnya yang cantik terlihat cemas. Darian berdiri di sana, auranya yang dingin tampak sedik
Darian baru saja keluar dari kamar Amara, hatinya masih menyimpan gejolak dari sentuhan singkat saat ia memasangkan liontin. Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di ujung lorong Lantai Dua. Tiba-tiba, suara bel pintu yang nyaring di Lantai Satu terdengar memecah keheningan penthouse. Darian, yang bersiap masuk ke ruang kerja, mengerutkan kening. Siapa yang berani mengganggu di hari Minggu malam? Tak lama, suara langkah kaki Bi Ana yang tergesa menaiki tangga spiral terdengar. Bi Ana langsung menuju kantor Darian dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Tuan Darian! Tuan Evan datang berkunjung!" lapor Bi Ana. Darian terkejut, ekspresinya langsung mengeras. Ia tahu ini adalah ancaman besar. "Evan?" gumamnya, suaranya mengandung bahaya. Ia mengangguk cepat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku akan menemuinya, Bi," kata Darian, suaranya rendah dan tajam. Ia memberi peringatan kepada Bi Ana di dalam kantornya. "Ingat, Bi. Jangan bilang soal Amara. Aku tida
Darian tiba di penthouse megah di Solterra sebelum matahari terbit. Udara subuh kota itu terasa dingin, tetapi Darian segera mandi dan berganti pakaian, menyingkirkan aroma lelah perjalanan. Meskipun jetlagnya menusuk, ia tidak bisa menunggu lama. Kebutuhan untuk melihat Amara dan menepati janjinya lebih mendesak. Tepat pukul 08.00, setelah Amara menyelesaikan ritual suntikan paginya, Darian mengetuk pintu. "Masuk," jawab Amara, yang sedang sarapan di sofa kecil di kamarnya. Amara segera meletakkan sendoknya, terkejut melihat Darian. Pria itu berdiri di ambang pintu, tampak rapi dengan kemeja oxford berwarna charcoal dan celana kain yang santai. Namun, kelelahan akibat perjalanan lintas benua terlihat jelas di bawah matanya. "Pagi, Amara. Aku kembali," sapa Darian. Suaranya rendah dan serak, tetapi kelembutan yang ia tunjukkan belakangan ini tetap terasa. "Bagaimana tidurmu setelah panggilan tadi malam?"
Pagi hari, Amara terbangun setelah tidur yang gelisah. Rasa lelahnya berbeda, bukan lagi lelah fisik akibat obat, melainkan lelah mental yang menumpuk. Di kota metropolitan Solterra yang selalu bergerak cepat, Amara terperangkap dalam keheningan penthouse mewah itu. Hari keenam Two Week Wait (TWW) adalah titik kritis. Secara teori, ini adalah masa puncak implantasi janin. Dan secara emosional, ini adalah masa puncak kecemasan. Amara merasakan mual yang lebih kuat hari ini. Sensasi itu datang seperti gelombang, membuatnya harus segera duduk tegak di tempat tidur. 'Mual ini...' Amara memejamkan mata. 'Apakah ini mual kehamilan? Atau hanya efek Progesteron yang mencekik tubuhku?' Ia tahu ia tidak boleh mencari gejala. Ia tahu obsesi ini hanya akan menyakitinya. Namun, otak biologisnya terus menerus mencatat setiap sensasi. "Aku tidak boleh berharap. Jika aku terlalu berharap, dan ternyata aku gagal... Pak Darian akan kecewa. Dia sudah berkorban begitu banyak, mengatur segalany
Pagi hari tiba, menandai hari kelima dalam masa Two Week Wait yang terasa tak berujung. Amara terbangun bukan karena alarm, melainkan karena rasa nyeri yang menjalar di punggung bawah. 'Punggungku sakit sekali. apakah ini kram lagi?' Amara segera meraih ponsel, siap memanggil Suster Dewi, tetapi rasa sakit itu mereda secepat kedatangannya. Ia menarik napas lega. 'Hanya ilusi. Hanya otot yang tegang karena terlalu banyak istirahat,' Amara mencoba menenangkan pikirannya. Progesteron memang sering menyebabkan nyeri punggung, tetapi rasa cemas selalu menyertai setiap sensasi baru. Pukul 08.00, Suster Dewi datang dengan senyum cerah. "Pagi, Bu Amara. Bagaimana hari ini? Ada keluhan baru?" tanya Suster Dewi sambil menyiapkan ampul PIO. "Punggung bawah saya terasa sakit sebentar tadi, Suster. Apakah itu normal?" tanya Amara, nada suaranya sedikit ragu. Suster Dewi memeriksa denyut nadinya dengan teliti. "Sangat normal, Bu. Progesteron membuat ligamen dan otot di sekitar pa







