LOGIN
“Apa yang kamu mau? Kompensasi atas kecelakaanmu?”
Suara Darian Lancaster terdengar berat dan dingin, memenuhi ruangan rumah sakit yang hening. Amara tercekat. Untuknya, masih hidup saja sudah syukur. Tapi satu penyesalan besar terus menghantui: ia tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak. Ia menelan ludah, lalu berbisik pelan, “Kamu mau jadi ayah anakku… atau hanya sekadar pria yang memberiku anak? Aku mau jadi ibu.” Darian membeku di tempat. Senyum sinis yang biasa menghiasi wajahnya memudar seketika, tergantikan kebingungan. Mata abu-abunya yang tajam menatap Amara intens, seolah hendak menembus pikirannya. Ia berdiri di dekat jendela; bayangan malam membingkai sosok tinggi tegapnya. Kemeja putih yang digulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Aura dominan yang biasa ia pancarkan terasa berlipat ganda, memenuhi ruangan sempit itu. “Maksudnya?” suaranya rendah, menusuk. Amara memberanikan diri menatap balik. “Aku mau jadi ibu,” ulangnya lebih jelas, meski dadanya berdebar kencang. Darian melangkah mendekat, setiap gerakannya terukur. Suara beratnya yang biasanya tajam kini terdengar serak, “Kamu tidak takut bicara begitu padaku?” Amara hanya menelan ludah, hatinya memukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Nafas Darian terasa di atas kepalanya. Tensi di antara mereka begitu pekat hingga seolah bisa disentuh. Kecelakaan itu masih jelas di ingatan Amara. Sore itu Darian memerintahkannya hadir di rapat perusahaan kompetitor. Semuanya berjalan lancar sampai ia pulang dan menyeberang jalan sambil bicara lewat ponsel. “Apa lagi ini?” suara Darian di telepon terdengar tajam. “Kamu pikir aku punya waktu membaca laporan bodohmu?” “T-tapi Tuan Lancaster, kalau Anda lihat data di halaman tujuh...” “Aku tidak peduli halaman tujuh, delapan, atau berapa pun!” bentaknya. “Aku hanya peduli hasil, dan laporanmu tidak pernah memberikan hasil. Dengar, kamu adalah salah satu staf paling payah yang pernah aku rekrut. Aku tidak tahu kenapa aku membiarkanmu bekerja di perusahaanku.” Kata-kata itu seperti pukulan ke ulu hati. Amara menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba suara klakson mobil melengking memecah udara. Sebuah mobil melaju kencang, terlalu cepat. Ia bahkan tidak sempat berteriak. BRAK! Suara benturan terdengar jelas di telepon. Jeritan orang-orang, lalu hening. Darian membeku di seberang telepon, wajah dinginnya diliputi kepanikan yang tak ia kenali. “Amara!” ia berteriak. “Amara, kau dengar aku? Amara…” Yang Amara ingat kemudian hanya gelap. Di ambang maut, ketakutan itu datang: bagaimana jika ia mati tanpa pernah punya keluarga? Tanpa pernah menjadi ibu? Itulah mengapa sekarang, dengan tubuh penuh rasa sakit dan mata penuh tekad, ia berani menyampaikan permintaan gila itu pada Darian Lancaster. Darian menunduk sedikit, matanya menyapu wajah Amara yang pucat. Rambut cokelat tua Amara tergerai di atas bantal, bibir penuh kemerahan kontras dengan kulitnya yang putih. Mata besar itu memancarkan kepolosan yang membuat Darian muak sekaligus penasaran. “Lalu, apa yang kamu minta?” tanyanya lagi. Nada suaranya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang lain di sana. “Aku… aku hanya ingin menjadi ibu.” Amara meraih tangan Darian yang terkepal di sisinya. Sentuhannya lembut, tapi Darian langsung menarik tangannya, seolah tersengat listrik. “Hidupku nyaris berakhir, dan satu-satunya penyesalan yang kupikirkan adalah aku belum pernah punya kesempatan menjadi ibu.” Darian mendengus. “Kamu pikir ini semudah membeli barang di toko? Kamu pikir aku akan memberimu kompensasi omong kosong itu?” “Aku tidak meminta cinta darimu, Pak. Aku tidak meminta pernikahan,” kata Amara dengan suara bergetar. “Dokter bilang rahimku mengalami guncangan keras. Peluangku hamil normal setelah ini tipis, bahkan nyaris mustahil. Prosedurnya hanya bisa dilakukan sekali.” “Lalu kenapa tak minta kekasihmu?” Darian mendengarkan saksama. “Saya belum pernah berpacaran, Pak.” Darian menatapnya lama, seolah mencoba memahami wanita yang di matanya hanyalah staf biasa, hingga insiden ini terjadi. Sesuatu di dadanya terasa berubah.Evan menaiki tangga spiral dengan langkah yang ringan dan penuh perhitungan. Senyum tipis, yang lebih menyerupai seringai, terukir di bibirnya. Tujuan utamanya bukan berkas kerja yang ia jadikan alasan kepada Bi Ana di bawah. Tujuannya adalah misteri 'Nona' yang membuat Darian, si patung es Arcus, kehilangan ketenangan. Evan sampai di Lantai Dua. Ia menelisik sekeliling, merasakan keheningan yang berbeda dari biasanya. 'Kakak pasti menyembunyikan seseorang. Lantai Dua ini terasa terlalu... terawat untuk hanya dihuni Bi Ana.' Fokusnya mengarah ke kamar tamu yang pernah ditidurinya beberapa kali saat berkunjung ke penthouse ini. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci dengan kuat dari dalam. "Kenapa kamar ini dikunci?" gumam Evan pelan, dahinya berkerut karena penasaran. Ia mencoba gagang pintu itu lagi, memutarnya keras, tetapi kuncinya tidak bergeser sedikit pun. "Seorang pelayan tidak mungkin mengunci kamar tamu di siang hari kalau tidak ada yang disembunyikan. Ini
Darian memastikan pintu utama penthouse terkunci rapat, mengunci kembali setiap mekanisme keamanan canggih. Ia menghela napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena kelelahan emosional. Kepalanya terasa pening setelah drama adu argumen dengan Evan. Ia segera menaiki tangga spiral, langkahnya lebih berat dari biasanya. 'Kenapa Evan harus datang sekarang? Dan kenapa dia sepenasaran itu pada Amara?' Darian menggerutu dalam hati. Ia sadar, ketertarikan Evan pada wanita yang ia sembunyikan, sekecil apa pun itu, adalah racun mematikan bagi kerahasiaan kontrak ini. Darian kemudian berjalan menuju kamar Amara, mengetuknya pelan, memanggil dengan suara yang sengaja dilembutkan. "Amara, buka pintunya. Ini aku," panggil Darian, suaranya sedikit serak dan rendah, sisa dari ketegangan yang baru saja ia alami. Amara segera berjalan mendekat, kunci diputar perlahan. Ia membuka pintu setengah, wajahnya yang cantik terlihat cemas. Darian berdiri di sana, auranya yang dingin tampak sedik
Darian baru saja keluar dari kamar Amara, hatinya masih menyimpan gejolak dari sentuhan singkat saat ia memasangkan liontin. Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di ujung lorong Lantai Dua. Tiba-tiba, suara bel pintu yang nyaring di Lantai Satu terdengar memecah keheningan penthouse. Darian, yang bersiap masuk ke ruang kerja, mengerutkan kening. Siapa yang berani mengganggu di hari Minggu malam? Tak lama, suara langkah kaki Bi Ana yang tergesa menaiki tangga spiral terdengar. Bi Ana langsung menuju kantor Darian dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka. "Tuan Darian! Tuan Evan datang berkunjung!" lapor Bi Ana. Darian terkejut, ekspresinya langsung mengeras. Ia tahu ini adalah ancaman besar. "Evan?" gumamnya, suaranya mengandung bahaya. Ia mengangguk cepat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku akan menemuinya, Bi," kata Darian, suaranya rendah dan tajam. Ia memberi peringatan kepada Bi Ana di dalam kantornya. "Ingat, Bi. Jangan bilang soal Amara. Aku tida
Darian tiba di penthouse megah di Solterra sebelum matahari terbit. Udara subuh kota itu terasa dingin, tetapi Darian segera mandi dan berganti pakaian, menyingkirkan aroma lelah perjalanan. Meskipun jetlagnya menusuk, ia tidak bisa menunggu lama. Kebutuhan untuk melihat Amara dan menepati janjinya lebih mendesak. Tepat pukul 08.00, setelah Amara menyelesaikan ritual suntikan paginya, Darian mengetuk pintu. "Masuk," jawab Amara, yang sedang sarapan di sofa kecil di kamarnya. Amara segera meletakkan sendoknya, terkejut melihat Darian. Pria itu berdiri di ambang pintu, tampak rapi dengan kemeja oxford berwarna charcoal dan celana kain yang santai. Namun, kelelahan akibat perjalanan lintas benua terlihat jelas di bawah matanya. "Pagi, Amara. Aku kembali," sapa Darian. Suaranya rendah dan serak, tetapi kelembutan yang ia tunjukkan belakangan ini tetap terasa. "Bagaimana tidurmu setelah panggilan tadi malam?"
Pagi hari, Amara terbangun setelah tidur yang gelisah. Rasa lelahnya berbeda, bukan lagi lelah fisik akibat obat, melainkan lelah mental yang menumpuk. Di kota metropolitan Solterra yang selalu bergerak cepat, Amara terperangkap dalam keheningan penthouse mewah itu. Hari keenam Two Week Wait (TWW) adalah titik kritis. Secara teori, ini adalah masa puncak implantasi janin. Dan secara emosional, ini adalah masa puncak kecemasan. Amara merasakan mual yang lebih kuat hari ini. Sensasi itu datang seperti gelombang, membuatnya harus segera duduk tegak di tempat tidur. 'Mual ini...' Amara memejamkan mata. 'Apakah ini mual kehamilan? Atau hanya efek Progesteron yang mencekik tubuhku?' Ia tahu ia tidak boleh mencari gejala. Ia tahu obsesi ini hanya akan menyakitinya. Namun, otak biologisnya terus menerus mencatat setiap sensasi. "Aku tidak boleh berharap. Jika aku terlalu berharap, dan ternyata aku gagal... Pak Darian akan kecewa. Dia sudah berkorban begitu banyak, mengatur segalany
Pagi hari tiba, menandai hari kelima dalam masa Two Week Wait yang terasa tak berujung. Amara terbangun bukan karena alarm, melainkan karena rasa nyeri yang menjalar di punggung bawah. 'Punggungku sakit sekali. apakah ini kram lagi?' Amara segera meraih ponsel, siap memanggil Suster Dewi, tetapi rasa sakit itu mereda secepat kedatangannya. Ia menarik napas lega. 'Hanya ilusi. Hanya otot yang tegang karena terlalu banyak istirahat,' Amara mencoba menenangkan pikirannya. Progesteron memang sering menyebabkan nyeri punggung, tetapi rasa cemas selalu menyertai setiap sensasi baru. Pukul 08.00, Suster Dewi datang dengan senyum cerah. "Pagi, Bu Amara. Bagaimana hari ini? Ada keluhan baru?" tanya Suster Dewi sambil menyiapkan ampul PIO. "Punggung bawah saya terasa sakit sebentar tadi, Suster. Apakah itu normal?" tanya Amara, nada suaranya sedikit ragu. Suster Dewi memeriksa denyut nadinya dengan teliti. "Sangat normal, Bu. Progesteron membuat ligamen dan otot di sekitar pa







