Deon duduk diam di balik kemudi. Lampu jalan menyorot kaca depan mobilnya dengan bias samar, namun pikirannya jauh lebih gelap dari malam di luar sana. Kata-kata Bella masih menggema dalam benaknya:
"Jannah sebenarnya tidak pernah mencintaimu..."
Ia menatap kosong ke depan, tanpa benar-benar melihat. Dadanya sesak. Ia ingin menepis semuanya, tapi benaknya terlanjur penuh.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nada sambung itu terdengar nyaring dalam keheningan.
Deon melirik layar. "Ibu."
Dengan enggan, ia menekan tombol hijau.
"Deon, kamu di mana, Nak? Hari sudah malam. Kami sudah makan malam, tapi kamu belum juga muncul..."
Suara ibunya terdengar lembut, tapi jelas ada nada khawatir di sana.
Deon menutup mata sejenak, lalu bertanya pelan, "Di mana Jannah?"
"Dia sudah kembali di kamarnya. Wajahnya lelah sekali tadi. Sepertinya dia menunggu kamu, tapi tak sanggup menahan kantuk... mungkin juga dia sudah tidur."
Senyum tipis terukir di wajah Kakek Robert. “Bagus. Itu baru cucu yang bisa kubanggakan.”“Tapi,” Deon menambahkan cepat, tatapannya tajam, “Jannah harus ikut denganku. Aku tidak akan meninggalkannya.”Untuk pertama kalinya malam itu, Kakek Robert tertawa. Tawa rendah dan getir, membuat bulu kuduk Deon berdiri, menatap sang Kakek dengan wajah penuh kecurigaan."Kenapa kamu tidak tanyakan, apakah dia mau ikut bersamamu?"Deon berdiri dengan canggung lalu melangkah pergi seraya berkata ketus, "dia akan ikut. Aku tidak memberikan pilihan kepadanya. Pembicaraan ini kita akhiri di sini."Kakek Robert mengelus kepala tongkatnya dengan tenang sambil menatap kepergian Deon.“Kau pikir aku tidak tahu isi kepalamu, Deon?” katanya akhirnya dalam keheningan. “Sebelum kau sempat meminta, aku sudah melangkah lebih dulu. Aku sudah menemui Jannah. Aku sudah mengatakan padanya apa yang seharusnya ia denga
Jannah menunduk, air matanya jatuh tanpa henti. “Jangan salahkan dirimu, Naila… ini semua bukan salahmu. Aku masih hidup, itu sudah cukup. Aku… sudah belajar menerima, meskipun sakit. Kamu juga baik-baik saja dan kita masih bertemu, itu adalah lebih dari cukup.”Naila segera memeluk sahabatnya lagi, "aku sungguh merindukanmu, Jannah.""Aku juga..."Isak tangis haru mewarnai ruangan itu dan dua laki-laki pendamping mereka hanya menyaksikannya dengan rasa haru bercampur gembira.Afgan, yang berdiri di dekat ranjang, menatap mereka dengan tatapan tenang. Ada ketulusan di sorot matanya saat melihat Jannah berusaha menguatkan diri di hadapan Naila. Dan entah bagaimana, keberadaan pria itu membuat Jannah merasa sedikit lebih baik. Ia merasa tidak sendirian.Naila menggenggam tangan Jannah erat. “Kamu tidak akan sendirian lagi, Jannah. Aku di sini, dan aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Kita tetap akan bersama-sama.”
Di lorong gelap, Deon menahan diri dengan kedua tangannya menekan dinding. Dia mendengar dengan jelas kalimat yang dikatakan Alfie, namun dia tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki hubungan antara ibu dan anak tersebut.Selama ini, Jannah memang selalu sakit-sakitan dan Deon merasa, bukan kesalahan Alfie bila memilih Bella yang selalu berada di sisinya.Bayangan mimpi buruknya kembali terlintas, bercampur dengan kenyataan pahit yang baru saja ia lihat. Ia merasa, sedikit demi sedikit, dirinya mulai terpinggirkan dari “keluarga” yang seharusnya ia lindungi.Deon menghubungi Cahyo dan Cahyo menerangkan bahwa yang memberikan akses masuk adalah Kakek Robert.Tidak ada yang bisa melakukan apa pun, termasuk Deon.***Keesokan harinya, hari masih pagi dan matahari baru saja menampakkan sinarnya. Di kamar yang sunyi, Naila perlahan membuka mata. Pandangannya sempat kabur, tubuhnya masih terasa lemah, namun setidaknya kesadaran tel
Bella mengeluh tubuhnya sangat sakit, wajahnya dibuat semanis mungkin, seolah sedang menahan rasa tidak nyaman.“Deon…” suaranya melengking manja, “…tolong pijitin aku ya, badanku benar-benar pegal. Kamu kan paling tahu bagian mana yang harus ditekan.”Deon yang duduk di samping sofa hanya menoleh sekilas. Tangannya masih mengusap kepala Alfie yang bersandar di pangkuannya. Anak itu tampak tenang, tak bersuara, hanya memeluk pinggang ayahnya erat-erat, seakan mencari perlindungan tanpa berkata apa-apa.Melihat diamnya laki-laki itu, Bella cemberut dan masih berusaha, "Deon, tanganku dibungkus perban dan kaki juga patah, aku tidak mungkin menyuruh tukang kusuk untuk memijit tubuhku yang terasa remuk ini."Deon mengembuskan napasnya lalu melangkah dengan malas menuju ke ranjang. Memijit bahu Bella perlahan.Di sudut ruangan, Kakek Robert duduk di sofa panjang, sejak tadi menyaksikan semuanya dan han
Dokter Afgan masuk dengan stelan jas rapi. Wibawanya langsung menguasai ruangan, langkahnya mantap seolah setiap lantai yang ia injak tunduk pada kehadirannya. Matanya menatap lurus ke arah Jannah atau lebih tepatnya, ke perut Jannah.“Anakku,” ulangnya lagi dengan nada penuh kepastian. “Kau tidak akan menyangkalnya, Jannah.”Deon berdiri dari kursinya, wajahnya memucat bercampur amarah. “Apa maksudmu?” suaranya berat, hampir seperti geraman. "Bagaimana kau bisa masuk?"Dokter Afgan tersenyum tipis, meski sorot matanya tajam. “Maksudku jelas. Anak itu… darah dagingku.”Jannah tercekat, tubuhnya bergetar hebat. Ia tak pernah bisa kembali bertemu dengan Afgan dengan cara seperti ini.“Diam!” Deon melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Dokter Afgan. “Jangan main-main di depanku. Anak itu Jannah kandung dari rahimnya sebagai istriku. Kau tidak berhak mengaku seenaknya!”
Jannah menunduk, wajahnya kaku. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi dadanya terasa sesak. Seolah-olah dinding kamar menyempit, menekan tubuhnya tanpa ampun.“Baiklah, sudah selesai. Infusnya sudah lancar. Tensi Nyonya juga bagus. Detak janin juga normal. Perban di wajah sudah diganti. Nyonya istirahat saja, jangan banyak pikiran.” Perawat itu menepuk pelan punggung tangan Jannah sebelum keluar, meninggalkan kamar sementara satu perawat lainnya masih membersihkan sisa perban yang dibuka tadi."Jangan terlalu dipikirkan apa kata orang. Mereka tidak mengalami apa yang Nyonya alami saat ini. Saya bisa mengerti, semua itu tidak mudah. Nyonya pasti sudah pergi bila tidak memikirkan situasi tanpa pendapatan tetap. Bagaimana wanita bisa bertahan hidup, bukan? Oh ya, sarapan akan diantar sebentar lagi, permisi," ucap perawat yang terakhir pergi seraya memberikan senyum dengan ramah dan menepuk kecil bahu Jannah seolah-olah sedang memberi kekuatan.Begitu p