“Ini bukan soal mau atau tidak mau,” Afgan mencoba menahan nada suaranya agar tidak terdengar memaksa. “Ini soal keselamatanmu. Kita membutuhkan semua peralatan medis ini. Tekanan darahmu masih labil. Kau bisa—”
“Aku bisa mati di sini lebih cepat, atau di luar sana, Afgan, aku tahu... dan apa pun pilihannya, aku tetap akan mati!” sela Jannah lagi, kali ini matanya menatap lurus ke arah pria itu. “Tapi aku tidak mau mati dalam keadaan seperti ini. Aku ingin berada di tempat yang membuatku tenang.”
Naila menahan napasnya dengan berat dan mengenggam sebelah tangan Jannah kuat-kuat, seolah-olah memberi dorongan kekuatan bagi sahabatnya yang sudah sangat terpuruk itu.
Afgan menghela napas panjang. Sebagai dokter, dia tahu pasien memang memiliki hak penuh untuk menolak perawatan. Tapi melihat Jannah dalam kondisi seperti ini, wajah pucat, tubuh lemah, hati yang jelas sedang hancur... membuatnya sulit melepaskan.
Bella hanya berdiri di tepi bak, pura-pura tersenyum sambil menunggu, padahal dalam hati ia sudah menyusun rencana. Tubuh kecil itu tidak akan tahan air dingin dengan cuaca hujan seperti itu. Bella bahkan sengaja membiarkan jendela terbuka sehingga ruangan kamar mandi menjadi semakin dingin.Kini, di kamar Alfie, Bella sengaja tidak menutup pintu kamar dengan rapat rapat. Cahaya dari lorong masuk samar, membiarkan ruangan tetap sedikit terbuka pada pandangan siapa saja atau pendengaran siapa saja, terutama Jannah.Deon duduk di sisi ranjang, lalu meletakkan telapak tangannya ke dahi Alfie. "Sudah makan obat demam?" tanyanya lembut.Mata Alfie yang sayu sedikit berbinar. "Papa… kamu datang." Senyum kecil tersungging di wajah pucatnya. "Tidurlah bersama Alfie," pintanya lirih.Tanpa banyak berpikir, tangan mungil Alfie menarik lengan Deon, memaksanya berbaring di sisi kirinya. Deon menurut, walau terlihat agak canggung.Namun tidak berhenti di
Kata-kata itu membuat Naila menutup mata sejenak. Ia tahu, sejak awal, Deon bukan pria yang mudah dihadapi. Namun ia juga tahu, ada kebenaran dalam ucapan Afgan. Jannah terlalu rapuh untuk terus berada di bawah tekanan seperti ini. Wanita itu akan dipaksa sehingga meninggal lebih cepat daripada perkiraan dunia medis.Naila membuka mata, menatap Afgan kembali. “Baiklah. Tapi kita harus hati-hati. Sangat hati-hati.”Sekilas, senyum tipis muncul di bibir Afgan, meski sorot matanya masih penuh kekhawatiran. “Terima kasih, Naila. Kita akan mulai rencananya segera. Aku mendapatkan high-five?"Afgan menaikkan sebelah tangannya dan Naila menyambut dengan senyum kecut, menempelkan telapak tangannya ke tangan Afgan tanda perjanjian kerjasama telah disepakati bersama.Tidak ada yang menyadari bahwa ponsel yang dipegang Dokter Amalia tetap menyala. Merekam dengan detaik setiap detik. Semua isi pembicaraan walau sebagian mungkin hilang karena k
Di luar, langkah Deon bergema di lorong sempit rumah singgah. Nafas Jannah semakin tak beraturan, bukan hanya karena digendong begitu saja, tapi juga karena rasa sakit yang datang dari perut dan punggungnya.“Deon… ini membuatku nyeri… turunkan aku,” desisnya, namun Deon tak menjawab.Dia membuka pintu depan rumah dengan kaki, keluar menuju mobil yang diparkir di halaman.Dengan gerakan cepat, Deon membuka pintu penumpang dan menurunkan Jannah dengan hati-hati ke kursi. Namun nada suaranya tetap keras saat berkata, “Kau pikir aku akan membiarkanmu di tempat ini? Dengan orang-orang itu? Apalagi dengan pria yang memelukmu seperti itu?” Deon menghentikan kalimatnya, giginya terkatup rapat, jelas menahan kata-kata yang lebih kasar.Jannah menghela napas panjang, mencoba meraih sabuk pengaman. “Afgan hanya membantuku karena aku kesakitan. Tidak lebih. Kau salah paham, Deon”Deon memandangnya lama, sorot
Namun Deon tak mengindahkannya. Tatapannya membara, terfokus penuh pada Afgan yang kini berhasil memukul dagunya sehingga bibirnya robek.Deon berdesis, menahan nyeri."Afgan, Deon! Berhenti!" pekik Jannah namun tidak didengar oleh kedua pria yang sudah diselimuti amarah itu."Jauhkan tanganmu dari istriku!" Suara Deon meninggi tapi penuh ancaman."Deon! Jangan kau pukuli lagi Dokter Afgan!""Kau membelanya?" geram Deon seraya menghapus tetesan darah dari bibirnya yang sobek.Jannah menatapnya dengan shock, wajahnya pucat, matanya bergetar antara marah, malu, dan… entah, ada sedikit rasa bersalah."Deon, hentikan! Dia tidak melakukan apa-apa!" seru Jannah, mencoba bangkit, namun terapis menahannya agar tidak memaksakan diri.Naila berhasil meleraikan mereka dengan berdiri di antara keduanya sebagai benteng pemisah."Kalian, diam dan tenangkan dirimu dulu!"Afgan menarik napas panjang, mencoba
Afgan membawa Jannah menuju kamar. Setiap langkahnya mantap, seolah berat tubuh perempuan itu bukanlah beban. Jannah berusaha memalingkan wajahnya, tidak ingin menatap mata pria itu terlalu lama, juga tidak berani menatap Naila maupun Dokter Amalia. Namun, ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri mulai tak beraturan.Sesampainya di kamar, Afgan menurunkan Jannah perlahan di tepi ranjang, memastikan punggungnya bersandar nyaman. "Duduklah yang tenang," ucapnya, suaranya kembali tenang dan profesional, meski tadi ada nada berbeda saat di ruang tamu."Silakan dimulai, Dokter," perintah Afgan kepada Dokter Amalia.Dokter Amalia mengangguk kecil lalu duduk di tepi ranjang, membuka ranselnya dan mengeluarkan beberapa peralatan terapi sederhana, bola pijat, matras kecil, dan beberapa botol minyak herbal."Kita akan mulai dari terapi pernapasan dan peregangan ringan. Tujuannya untuk mengurangi ketegangan otot yang berhubungan dengan kondisi fibromyalgiamu," jel
Afgan menggeleng lalu melepaskan tangan Deon yang masih mencengkram kerah kemejanya tadi."Lagipula... Kalau pun aku tahu, itu bukan hakku untuk memberitahu. Kalau dia ingin kamu tahu, dia sendiri yang akan menghubungimu. Kalian sudah selesai, paham?!”Afgan berbalik dan melangkah pergi usai mengatakan yang dia rasa perlu didengar Deon.Deon menatapnya tajam punggung Afgan, lalu berbalik dan berjalan pergi. Tangannya meremas ponsel di saku. Ia mencoba menelepon Jannah, tapi hanya nada sambung tanpa jawaban. Pesan yang ia kirim pun hanya centang satu.Di parkiran, ia berdiri di samping mobil, menatap terik matahari yang menyilaukan matanya. Suara Alfie yang tertawa bersama Bella di restoran tadi berputar di kepalanya. Disusul suara kakeknya yang memerintah. Dan kini… Jannah hilang dari genggamannya. Perutnya kosong dan rasa haus mulai mengerogoti kesadarannya."Jannah, kau ke mana lagi?" gumamnya dengan kesadaran yang mulai terganggu ak